Foto diambil dari fb |
Kasus pembunuhan yang dilakukan Randy terhadap mantan pacar, Astrid dan anaknya Lael menyita perhatian publik. Kronologinya sudah diberitakan oleh pelbagai media.
Motif pembunuhan itu belum diketahui secara menyeluruh. Pasalnya pelaku bersembunyi di balik ketertutupan dirinya. Banyak orang merasakan duka mendalam dengan kematian ibu dan anak tersebut.
Kematian ibu dan anak merupakan korban ketidakadilan dan nir cintakasih yang ditunjukkan pelaku. Wajah ketidakadilan dan ketiadaan cintakasih menjadi momok yang menakutkan di era tehnologi. Di jaman serba terbuka ini, orang justru berani melakukan tindakan amoral. Hal ini menjadi sesuatu yang sangat ironi. Dunia sudah semakin terbalik. Manusia salah memanfaatkan kemajuan dan perubahan jaman.
Baca juga: Kematian Ibu dan Anak Sebagai Bukti Ketakberdayaan Rasionalitas dan Hatinurani
Diberitakan lewat media bahwa misteri pembunuhan ibu dan anak itu dilakukan oleh pelaku tunggal. Apakah faktanya satu orang atau lebih belum terungkap secara jelas. Namun publik memertanyakan soal fakta yang sebenarnya selain Randy. Sebab kasus pembunuhan Astrid dan Lael memiliki banyak kejanggalan jika dilogikakan terkait kronologi dan proses pembunuhan itu terjadi.
Randy sebagai pelaku ditindak secara hukum sesuai hukum yang sedang berlaku di negara Indonesia. Diharapkan, hukum tidak tumpul ke dalam dan tajam ke luar. Hukum bertindak secara adil, rasional dan edukatif. Kepastian hukum harus diterapkan secara baik dan benar.
Baca juga: 10 Cara Menulis Artikel Lengkap dan Lansung Nomor Satu di Google
Reposisi Perempuan
Pemahaman tentang reposisi perempuan dalam kasus pembunuhan ibu dan anak sangat penting diketahui oleh publik. Masyarakat perlu menyadari unsur paling fundamental dalam hidup dan kehidupan yang sifatnya universal. Laki-laki dan perempuan memang berbeda secara fisik atau lahiriah tetapi punya kesamaan dalam hal peran dan hak paling mendasar. Kedua pribadi yang berbeda jenis kelamin tersebut memiliki kesadaran sebagai manusia secitra dan semartabat.
Budaya patrilineal yang termalkan dalam pemikiran pelaku menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Pasalnya, konsep budaya laki-laki diterima dan dihayati secara mentah. kesadaran cintakasih pun tidak diwujudkan dalam kasus pembunuhan tak bertuan itu.
Kasus pembunuhan ibu dan anak bertolak belakang dengan konsep kemanusiaan. Posisi perempuan tidak sejajar dengan laki-laki. Kaum hawa dinomorduakan. Hak hidup dalam dirinya direnggut oleh wajah ketidakadilan. Ini sangat miris di negara hukum, Indonesia.
Konstruksi ketidakadilan gender berpengaruh dalam tindakan pelaku terhadap ibu dan anak. Relasi subjek-objek menjadi salah satu alasan terjadinya pembunuhan. Pertanyaannya, bagaimana reposisi kaum perempuan dalam relasi-komunikasi laki-laki dan perempuan?
Kesadaran subjektivitas harus ditanamkan sejak dini dan hal itu menjadi kultur kehidupan seperti digagas oleh seorang feminis sekaligus filsuf perempuan berkebangsaan Prancis, Luce Irigaray. Perbedaan jenis kelamin bermaksud agar keduanya semakin mewujudkan substansi relasi kemanusiaan. Bahwa laki-laki dan perempuan mengakui diri sebagai subjektivitas dalam eksistensi kehidupannya. Laki-laki memiliki aku-subjek dalam dirinya, demikian pun dalam diri perempuan, sehingga ada kesamaan dalam keberbedaan jenis kelamin.
Kehadiran perempuan sangat penting dalam dimensi sosialitas. Hidup tak akan pernah utuh jika wajah perempuan tidak disepadankan dengan kehadiran laki-laki. Wajah sosialitas perempuan bermuara dari cintakasih seorang ibu terhadap anaknya. Cintakasih menyeluruh sejak anak itu dalam rahimnya hingga lahir. Cintakasih yang sama ditunjukkannya hingga anak itu dewasa. Cintakasih seorang ibu tidak kenal syarat atau alasan apapun. Ini sesuatu yang mengagumkan dari seorang perempuan.
Baca juga: Pesan Paus Fransiskus Untuk Orang Muda Katolik: Jangan Menjadi Tahanan Ponsel
Cintakasih adalah itu yang paling utama dan pertama. Perempuan sangat menghidupi hukum tersebut. Relasi cintakasih seorang perempuan menjadi cermin hidup agar laki-laki bercermin dalam perwujudan hidupnya. Laki-laki dalam hal ini pelaku perlu bercermin dan bersolek pada cermin hidup itu agar moralitasnya dapat dijadikan contoh untuk sesama.
Di tengah situasi yang tidak mengenakkan publik terkait kasus pembunuhan ibu dan anak, relasi subjektivitas perlu dipertegaskan kembali, mengingat tindakan diskriminasi atau kasus pembunuhan terhadap perempuan seringkali terjadi di negara kita.
Relasi antar-subjek sangat menggarisbawahi relasi dialogal. Bahwa perempuan tidak dipandang sebagai liyan (yang lain) dalam konteks objektivitas. Perempuan merupakan aku yang secitra dengan Allah, sama seperti laki-laki. Oleh karena itu, persoalan diskriminasi atau apapun bentuknya perlu diselesaikan dengan cara berdialog tanpa harus menjadi harimau bagi sesama.
Oleh: Nasarius Fidin