Foto ist. (Eugen Sardono) |
Eugen Sardono
Konon, taman eden adalah “the place of laugh”. Di sebuah taman Eden ketawa mendapat tempat terhormat. Ketawa adalah simbol kebahagiaan. Kini, ketawa hilang ketika dosa menutup mulut memuji kemuliaan Tuhan.
Baca: Membongkar Kebohongan Klarifikasi Edy Mulyadi
Agama de facto memberi energi kebahagiaan. Agama memproduksi ketawa “pada apa yang sempurna”. Agama sebagai tempat bersemayam benih ketawa. Ia tertular ke banyak aspek. Lambat-laun, agama mengalami defisit ketawa. Agama menegangkan. Agama seperti vampir yang haus darah. Agama serem dan menakutkan. Agama berwajah beringas. Setiap orang mengakui dengan mulut menganut agama A sambil menundukkan kepala. Setiap orang meneriakkan di ruang publik dan bangga dengan agama tertentu. Kembali ke dalam diri sambil merintih dan menangis. Ada mulut yang mau bersuara dan menampik pekikan lantang: bohong. Namun, itu hanya suara hati yang tak bisa diexpose ke luar. Sebab itu berbahaya. Hanya mungkin tunggu waktu. Kalau cukup banyak mulut dan pada waktu yang tepat akan ada sebuah pemberontakan. Pada hakikatnya sudah ada. Hanya bunyinya kecil. Itu hanya pemberontakan hati nurani. Sebab setiap dentuman kecil lama-lama akan menumpuk dan menjadi sebuah kekuatan besar untuk menghancurkan.
Baca: Koruptor Termuda di Indonesia, Nur Afifah Balqis, Punya Koleksi Mobil Mewah, Harganya bikin Melongo
Akan ada suatu waktu ketika ketawa sudah kabur dan terkubur maka akan muncul wajah-wajah yang malu-malu menampilkan wajah cemberut. Itu tidak boleh – agama tak merestui apalagi meridhoi. Ledakkan yang diwaspadai dan ditakuti di kemudian hari oleh agama adalah pemberontakan yang deras dari pemeluk beriman yang datang dari dalam diri. Ledakan ini yang sebentar lagi akan siap ditanggung agama. Agama seperti sudah tak berdaya. Ia kehilangan katam makna. Agama hanya sebuah “tempat persembunyian” dari lakon petak umpat.
Baca: Rahasia Mata Uang Kripto Bangkit Sepanjang Pekan
Ketawa Energi Pembebas
Coba Anda perhatikan di cermin jika Anda menunjukkan wajah cemberut. Rasanya semesta sedang berduka. Kekosongan tertawa adalah simbol redupnya hidup. Agama kehilangan energi ketawa. Semua mulut membuka. Takut demi loyalitas.
Kekosongan tertawa adalah simbol redupnya nilai keilahian dalam diri manusia. Sebuah masa teralienasi jiwa dari Sang Pemilik-Nya. Jiwa yang ringkus dan kering. Jiwa yang kaku dan kerontang. Sebuah keadaan dosa. Dosa yang membuat mulut enggan membuka untuk memuji Allah. Sebuah situasi titik nadir dan batas.
Manusia tak mampu menyelamatkan diri sendiri. Manusia adalah makhluk terbatas dan membutuhkan makhluk yang tidak terbatas. Dia adalah Emanuel – Allah yang menjadi manusia.
Situasi dosa ibarat manusia yang berada dalam ruangan gelap. Ruangan yang memenjarakan jiwa menuju Allah. Ruangan terbelenggu oleh dosa sendiri. Kenyamanan dalam dosa bisa menciptakan jarak dengan Allah. Jarak itu diretas oleh Sang Almasih, Allah yang Menjadi Manusia – Yesus Kristus.
Baca: Kunci Kesuksesan Sultan Gustaf Al Ghazali mendadak tenar
Natal: Momen Tuhan Hadir
“Melepaskan keilahian,” bagi saya, “ketika Allah keluar dari medan kemahakuasaan dan keilahian”. Allah menghadirkan misteri yang hilang, yaitu manusia bisa ketawa, selayaknya di Kebun Eden, sebelum manusia jatuh dalam dosa.
Allah harus menjadi manusia agar manusia bisa diangkat ke Takhta Surgawi. Sebuah momen Allah yang turun agar manusia bisa naik ke kehadiran-Nya. Ada sebuah adagium klasik, “luka hanya bisa disembuhkan oleh lembing yang menusuk luka itu sendiri”. Yang menyebabkan manusia terluka dan didera oleh dosa adalah manusia, maka harus ada Allah yang menjadi manusia untuk menebus kembali luka itu. Seorang Ustad dari Pondok Kebijaksanaan memaknainya: “sebuah momen pemutusan keterpisahan manusia dan Allah.
Radikalisme Iman dan Moderat Relasi
“Radikalisme Iman,” hemat saya, “adalah sebuah qonditio sine qua non bagi para pemeluk agama.” Radikalisme iman yang dimaksud adalah radikalisme ke dalam. Radikalisme relasi manusia dan Allah. Buah dari radikalisme iman adalah moderat relasi. Pemeluk agama Katolik mesti radikal dalam hal iman. Ia serentak diutus untuk moderat dalam relasi kemanusiaan. Buah dari iman adalah melihat “Allah yang inkarnasi dalam diri sesama”. Jika tidak iman itu mati. Eksklusivisme iman menular ke inklusif relasi.
Baca: Kepala Desa Ruwuk, Bene Bir Beri Apresiasi Terkait Pelaksanaan Vaksinasi Covid-19 Tahap II
Dengan demikian (Armada Riyanto, 2018) dalam buku Relasionalitas menjadi sebuah referensi yang kuat bagi pemaknaan agama. Agama tidak saja soal hubungan Aku – Teks Suci. Aku dan Kitab Suci adalah sebuah relasi eksklusif. Sebuah relasi kebenaran absolut. Agama juga menyoal relasi Aku – Liyan. Buah dari relasi dengan Teks Suci adalah solidaritas kepada sesama. Manusia adalah pancaran kekudusan Allah. Manusia tidak bisa dibenarkan (oleh alasan apa pun) menafikan sesama. Agama juga memuat panggilan relasi: Aku – Tuhan. Perutusan ketiga ini bersifat subjektif. Tak ada satu pun yang bisa mengukur kedalaman relasi manusia dan Allah. Itu adalah nilai subjektif. Tugas manusia adalah merawat relasi itu dan memupukinya dengan relasi dengan Teks Suci dan Liyan.
Jika natal ini dimaknai dengan melihat kembali relasi itu, maka akan menciptakan lagi suasana: tertawa bersama sebagai saudara.
Jangan sampai ketawa bersama hanya berhenti di ruang publik demi status quo. Tertawa adalah aktivitas psikologi yang terpancar oleh karena energi kimia bahagia tubuh tersalur ke otak. Dan, otak merangsang tubuh agar bisa mengekspresikan tertawa dalam agama. Semoga tertawa yang diekspresikan bukan sindiran atau tindakan yang tidak lucu oleh karena dipaksa.
Mari kita tertawa bersama Yesus: “Sumber tertawa dalam agama Kristen”.