Keluar dari ‘Jebakan Narasi Besar Pariwisata’ (Catatan Kritis-Reflektif H.U.T ke-19 Kabupaten Mabar) - foto istimewah |
Oleh: Sil Joni*
Secara kronologis, Kabupaten Manggarai Barat (Mabar), pada hari ini, Juma’t (25/2/2022) sudah berusia 19 tahun. Jika mengikuti fase psikologi perkembangan seorang anak manusia, usia 19 itu merupakan tahap ‘remaja akhir’, sebuah periode transisi menuju ‘masa dewasa’. Secara analogis, bisa dikatakan bahwa Mabar sudah berada di ambang ‘usia kematangan’.
Sebagai Kabupaten yang bakal memasuki sesi kematangan itu, mungkin baik dalam seremoni peringatan ‘Hari Lahir’ yang ke-19 kali ini, kita coba membuat semacam ‘evaluasi kritis-introspektif’ sekaligus proyeksi soal arah perjalanan historis kabupaten ini di masa yang akan datang.
Baca: Bupati Hery Nabit Lantik 162 Kepala Sekolah dan 22 Kepala Puskesmas di Gedung Berbeda
“Berlimpah Susu dan Madu”
Rasanya, tidak perlu diperdebatkan bahwa Mabar merupakan Kabupaten yang ‘berlimpah susu dan madu’. Betapa tidak, wilayah Flores paling Barat ini ‘dianugerahi’ sumber daya alam yang sangat mengagumkan. Tentu, yang paling fenomenal adalah keberadaan pelbagai obyek wisata yang tersebar di berbagai Kecamatan. Kita semua tahu bahwa pariwisata merupakan sektor primadona atau unggulan (leading sector) yang diharapkan bisa mendongkrak ‘nilai jual’ sektor-sektor lainnya di Kabupaten ini.
Kendati demikian, secara objektif, sebetulnya Mabar tidak bergantung pada bidang pariwisata semata. Sumber daya perikanan (kelautan), pertanian (perkebunan), kehutanan, kebudayaan dan sebagainya, tidak kalah memesona dan menjanjikan dari aset kepariwisataan. Publik Mabar yang mayoritas berprofesi sebagai petani cukup beruntung, sebab ‘tanah’ kita sangat luas dan subur. Demikian pun wilayah bahari dan pantai kita, sangat kaya dengan pelbagai spesies yang bermutu dan bernilai jual tinggi. Sebenarnya, cerita tentang kemiskinan dan atau kemelaratan tidak terjadi di sini jika mengacu pada keberadaan aneka aset potensial tersebut.
Tetapi, faktanya, kenyataan paradoksal itu sulit disangkal. Angka kemiskinan di Manggarai Barat, masih relatif tinggi. Data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik Kabupaten Mabar menunjukkan bahwa angka kemiskinan kita berkisar 49.000 dalam lima tahun terakhir. Penurunanan angka kemiskinan sangat lamban yang jika dipersentasekan hanya sekitar 0,5% per tahun. Mayoritas warga miskin itu terkonsentrasi di desa-desa.
Miris. Kita ‘miskin’ di tengah melimpahnya stok kekayaan alam tersebut. Di satu sisi, kita bangga sebab ‘daerah ini’ begitu kaya. Tetapi, pada sisi yang lain, saya kira kita mesti ‘meratap’ dan berpikir serius mengapa virus kemiskinan masih menggerogoti tubuh kabupaten yang kaya raya ini.
Kekayaan alam yang potensial itu relatif gagal ‘dikonversi’ untuk meningkatkan level mutu kesejahteraan publik. Alih-alih mendatangkan berkat bagi warga lokal, justru ironisnya, ada indikasi, bahwa aneka kekayaan alam itu didominasi atau dimonopoli oleh mereka yang memiliki segalanya dalam hal pengelolaannya. Pariwisata menjadi contoh kasus yang patut dibedah secara mendalam. Kita boleh bangga dengan semua ‘harta alamiah’ di atas, tetapi yang memeras dan mengecap ‘susu dan madu’ dari wilayah ini, adalah ‘orang luar’ yang datang dengan motif ‘mengejar untung semata’.
Baca: Kumpulan Puisi Matias Patriano Vano
Jebakan Pariwisata Super Premium
Di tengah latar ‘kemiskinan yang akut’, Pemerintah Pusat (Pempus) hadir untuk memberi bobot plus pada kekayaan alam, khususnya aset wisata di tanah Mabar. Tidak tanggung-tanggung, Pempus langsung membabtis wilayah ini sebagai salah satu ‘destinasi super prioritas’ yang berstandar ‘super premium’. Sebuah pengakuan yang sejatinya tidak terlalu berlebihan jika berkaca pada ‘keunggulan komparatif’ dalam bidang turisme di Kabupaten ini.
Narasi besar (grand narrative) pariwisata super premium itu begitu menghipnotis semua stakeholder di sini. Kita bangga dengan predikat itu sebab berimplikasi pada besarnya derajat perhatian Pempus untuk kemajuan pembangunan pariwisata. Dalam beberapa tahun terakhir, intervensi Pempus dalam menata 'wajah‘ kepariwisataan Mabar, begitu massif.
Intervensi Pempus itu, tidak hanya berurusan dengan pembangunan infrastruktur, tetapi juga melalui pembentukan ‘Badan Khusus’ yang menangani sektor pariwisata, yang sekarang dikenal luas sebagai Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF). Kebijakan politik Pempus ‘terjelma seutuhnya’ dalam tubuh BPOLBF itu. Eksistensi Badan ini diperkuat secara legal melalui produk regulasi dan imajinatif melalui pendiseminasian cerita soal ‘akselerasi kemajuan pembangunan pariwisata’ yang hanya bisa termanifestasi jika BPOLBF ‘hadir di bumi Mabar’.
Pertanyaan kritis kita adalah apakah status destinasi wisata super premium itu dan kehadiran BPOLBF di Mabar, telah berkontribusi dalam ‘menakan secara signifikan’ angka pengangguran di Mabar? Faktanya, jika mengacu pada data stistik BPS Mabar di atas, rasanya kita belum melihat ‘korelasi’ antara julukan wisata super premium dan BPOLBF dengan pengurangan angka kemiskinan. Diberitakan bahwa penuruanan angka kemiskinan setiap tahun, sangat lambat, yaitu sekitar 0,5 % per tahun.
Jadi, keberadaan wisata super premium yang mendapat sentuhan kreatif dari BPOLBF, tidak dengan sendirinya berkontribusi pada target pengentasan isu kemiskinan.
Alih-alih mengenyahkan virus kemiskinan, wisata premium dan BPOLBF itu, justru bisa menjebak warga lokal untuk 'tetap berkubang' pada nestapa kemiskinan itu. Mengapa?
Masalahnya adalah term super premium itu bertendensi mengekslusi masyarakat lokal. Skema pengelolaan wisata super premium cenderung sentralistis dan elitis. Keberadaan BPOLBF, hemat saya boleh dibaca sebagai manifestasi dari tabiat elitis dan terpusat itu. Dominasi Pempus begitu kuat yang cenderung membatasi kreativitas stakeholder lokal. Semua pemangku kepentingan di sini, termasuk masyarakat kecil harus 'tunduk' pada standar yang diciptakan oleh BPOLBF.
Efeknya adalah tidak terlalu banyak warga lokal yang bisa berpartisipasi aktif dalam pasar pariwisata. Kita 'kalah segalanya' untuk bisa bersaing di lapangan yang dikendalikan oleh standar bikinan lembaga pusat itu. Tidak heran jika kehadiran wisata super premium itu relatif kurang berdampak pada upaya pengurangan angka kemiskinan.
Wisata super premium itu lebih banyak dikecap oleh 'orang luar'. BPOLBF, dengan demikian, masih cenderung menjadi jembatan bagi 'orang luar' yang umumnya pemilik modal (kapitalis) untuk menguras sumber daya pariwisata kita.
Baca: Menunggu, Pengemis Suara, Suara Gemuruh Terdengar Syahdu
Melampaui Pariwisata dan Labuan Bajo
Dari pemaparan di atas, saya kira, Kabupaten Mabar ini tidak bisa lagi dibaca dari satu sudut pandang saja. Kita tidak bisa menilai kemajuan pembangunan di Mabar hanya dari sisi pariwisata yang umumnya beroperasi di wilayah Labuan Bajo dan sekitarnya. Cara baca semacam itu, terlalu reduktif dan simplistis.
Mabar ini terlalu luas dan memiliki kompleksitas persoalan yang beragam. Karena itu, HUT ke-19 Kabupaten Mabar menjadi momentum untuk melihat secara jernih kondisi faktual Kabupaten ini.
Bahwa industri pariwisata di Labuan Bajo sudah sangat masyur dan terus menggeliat. Tetapi, potret semacam itu tentu bukan mewakili wajah Mabar secara keseluruhan. Wajah asli Kabupaten ini ada di desa-desa yang mayoritas warganya tersandera oleh problem kemiskinan kronis.
Pariwisata, saya kira tidak bisa menjadi 'resep jitu' untuk mengatasi persoalan itu. Hemat saya, optimalisasi sumber daya alam di setiap kampung, bisa menjadi opsi utama. Agar potensi alam dan budaya yang memesona ini, berdaya guna bagi warga, maka pemerintah perlu menelurkan paket kebijakan politik yang berorientasi pada upaya 'menstruasi dan memfasilitasi' kapasitas warga dalam mengelola sumber daya yang ada.
Sekali lagi, sebaiknya kita jangan 'terpesona dan terlena' dengan aura pariwisata super premium yang berwatak elitis itu. Selagi dominasi Pempus yang terejawantah dalam diri BPOLBF tak tergoyahkan, maka rasanya kita tak memiliki cukup alasan untuk mengibarkan bendera optimisme pada narasi besar di balik skema pengelolaan wisata super premium itu.