Menunggu, Pengemis Suara, Suara Gemuruh Terdengar Syahdu (Fr. Cosmas M. Buru) |
Oleh: Fr. Cosmas M. Buru
Menunggu
Andai kau tahu Aku masih di sini
Di tempat yang sama di moment yang berbeda
Andai kau tahu Aku masih di sini
Di gubuk tua beratap langit biru, di lebur sinar mentari
Berdinding tembok batu, berlantai tanah kerikil tajam
Aku masih di sini
Baca: Pengamat Politik; Pariwisata Labuan Bajo Perlu Mengutamakan Masyarakat Lokal
Andai kau tahu Aku masih di sini
PerjalananKu belum selesai
Aku masih terus menata langkah demi langkah
Sampai waktuKu, aku belum selesai
Aku masih di sini
Andai kau tahu Aku masih di sini
Aku masih muda, masih berdiri tegak
Aku masih di sini
Aku bertambah tua
Kulit menua keriput tak seindah masa mudaKu
Aku masih di sini, masih berdiri tegar di puncak Kalvari
Andai kau tahu Aku masih di sini
Adakah engakau tahu diriKu dirajam? Tubuhku dicambuki?
Adakah engkau tahu tubuhKu digantung di atas kayu palang?
Adakah engkau tahu kedua tangan dan kakiKu ditembusi paku?
Adakah engkau tahu lambungKu ditusuk dengan tombak?
Andai kau tahu Aku masih di sini
Bermandikan keringat darah
Aku masih di sini, di bilik hatimu
Aku masih di sini, di puncak Kalvari, di pusat kehidupanmu
Adakah kau ingat?
Aku masih di sini, masih menunggumu
Baca: Surat Yang Terdampar (Cerpen Fr. Adryan Naja)
Pengemis Suara
Berhati ramah
Bermulut manis
Bernuansa merayu
Demi status dan jabatan
Pengemis suara
Muka munafik
Seni beretorika
Tanpa realita
Kuat berargumentasi
Tanpa mentalitas dan moralitas
Seni bermanipulasi
Tuntut aristokrasi
Kodrat dan martabat manusia dikorbankan
Eksistensi manusia dirampas
Demi reputasi
Demi keakuan diri
Bukan untuk revolusi khayalak umum
Untuk masyarakat dikalkulasi
Demi publik semua dieksploitasi
Demi mengikat pinggang sendiri
Kapankah nuansa ini berubah?
Baca: Membuka Lembaran Baru (Cerpen Sherly Sherena)
Suara Gemuruh Terdengar Syahdu
Serpihan demi serpihan kusatukan dan menjadi kumpulan
Kugenggam sebatang sapu
Dan kurayu lembar demi lembar yang bertebaran di atas tanah yang kelabu
Bunyinya bergemuruh di bawah naungan yang teduh
Riuh, riuh,dan riuh
Memecahkan kesunyian datang mampir di awal hari itu
Dalam kesendirian di bawah deretan pepohonan itu
Kumulai merangkai kata dan berkhayal walau tak bertepi
Mencoba tuk bermimpi meski tak seindah alam ini
Menatap lembaran kering yang mulai lapuk
Merebahkan badanku dan menunduk
Bukan sial apa yang maksud
Namun dengan ini diriku dapat bersujud
Hay, pemilik senyum yang tak pernah sirnah
Keluguan akan ekspresimu menghantar aku untuk beranjak dari kesendirian ini
Terhanyut ragaku menatap bibir tipismu
Merah merona, membuat darahku seakan membeku
Ingin kusentuh, namun jari-jemariku terasa sungkan tuk meluncur
Aku berpaling dan mengarahkan mataku ke bulan
Tetapi si lentera purnama itu seakan-akan tak menerima tatapanku
Dan segera bersembunyi di balik gumpalan awan
Kepada bintang-bintang kumerayu
Tiba-tiba gerimis malam datang menghapus dan satu per satu mulai berlalu
Kau, pemilik senyuman yang tak kunjung sirnah
Kisah tentang dirimu belum berahir dalam episode hidupku
Kujadikan rasa sebagai sutradara
Serta rindu yang menggebu penghapus pilu
Engkau mugkin tak berminat tuk mengisi kekosongan kisah ini
Tak begitu tertarik untuk melakoni sandiwara cinta yang kusukai
Sandiwara cinta yang membuatku terhempas lewat cerita yang kian using
Kubiarkan tenggelam dalam sukma lara
Biarlah senyummu kujadikan motivasi bila rindu datang menghampir