Foto penulis (ist.) |
Oleh: Efrem Danggur
Sesabit senyum tersungging, suara tawa menggelepar menyusup hingga ke sudut-sudut Mbaru Gendang (rumah adat Manggarai). Sementara suara alunan gendang dan gong beradu harmonis. Mengiringi gerakan tarian para pemain caci. Tarian caci dengan iringan alunan gendang dan gong menjadi tontonan yang memanjakan mata.
Baca: Cara Paling Jitu Menangkap Ribuan Katak dalam Waktu Singkat
Itulah sebuah pentasan yang biasanya ditampilkan setiap kali ada penti dan acara besar lainnya di kampung Juita, seperti syukuran tahbisan imam baru, perkawinan, wagal (acara perkawinanan adat Manggarai)
Sepasang tubuh sedang bersua dalam canda dan tawa. Berbagi kisah dan cerita di tengah riuh dentuman musik dan sorakan penonton tarian caci. Awal perjumpaan yang mengesankan bagi keduanya. Juita adalah seorang gadis asal nucalale yang sedang berlibur dikampung halamannya.
Baca: Desa Mata Air dan Keindahan Pantai Sulamanda
“Berapa lama lagi kamu disini”? Tanya Juita.
“Kenapa?” Jawab Riko singkat. “Tidak apa-apa sekedar Tanya” lanjut Juita.
Yah, Sebetulnya aku kemari diajak Aris untuk mengikuti acara penti bersama keluarganya. Aku sangat senang, lebih lagi bisa menyaksikan tarian caci yang menurutku sangat indah dan sekaligus unik.
Dulu aku hanya mendengar cerita dari Aris tentang suasana ramai ketika ada acara penti dan taraian caci. Dan memang benar apa yang pernah ia katakan itu.
“Lantas, bagaimana dengannmu? Adakah engkau satu-satunya gadis dari kampung ini yang betah berada dihadapan wajah asing di tengah situasi yang riang ini seperti saya?”
Baca: Alam Manggarai dan Ngkiong
“Entahlah Riko, awalnya saya hanya penasaran menyasikan wajah asingngmu itu, lama-lama tampang keasinganmu justru membuatku tak asing lagi dengan rupamu yang rupawan. Kalau boleh jujur sebetulnya batinku kagum saat menatapmu dihari pertama. Walau aku hanya menatapmu dari jauh namun wajahmu tertampak begitu jelas. Kagumku penuh seluruh”.
Bagai disambar petir di siang bolong Riko terbelalak antara percaya dan tidak mengenai apa yang baru saja didengarnya. Mengucap kesan sekaligus dengan sarat makna. Puitis.
Riko sesekali mencubit tangannya sendiri sekedar memastikan ia tidak sedang bermimpi bertemu dengan gadis yang dengan polos mengutarakan rasa kagum dan pesona. Wajahnya memerah.
“Ah, bisa aja kamu”. Respon Riko.
“sebenarnya aku juga mengalami hal serupa”, lanjutnya.
****
Perjumpaan itu pun berlalu. Namun tidak untuk sebuah kenangan indah. Walau itu sebentar dan berlalu, tapi rasanya masih sedang terjadi. Juita masih tersipu mengenang hari-hari terakhir bersendagurau dengan Riko kala itu.
Baca: Arti Hidup, Misteri Hari Esok, Hidup Bahagia, Cinta Abadi (Antologi Puisi Nasarius Fidin)
Masih tergambar jelas sesungging senyum itu. Kata terucap penuh wibawa dan sarat kesan. Mungkin itulah alasan mengapa Juita betah bercengkerama sejak jumpa pertama. Hari-hari selanjutnya ketika Riko kembali dari liburannya bersama Aris dan keluarga, jejak Riko masih tersisih rapi di lubuk relung.
Setiap senja menyapa bumi pikiran Juita belum lelah menebak waktu kehadiran kembali sosok Riko.
Saat malam samar sepoi Juita bergumul dengan dirinya sendiri, hanya ditemani cahaya remang lampu belajar dengan beberapa potong kertas dan buku yang masih tersusun rapih di atas meja. Diraihnya sebuah buku harian hendak menoreh keluh batinya pada sebidang lembar yang masih suci;
“Riko entah kenapa malam ini aku memikirkanmu. Rindu meliuk ragaku. Mungkinkah ini sekedar ilusiku yang terlanjur larut dalam rupamu yang membuatku memukau? Andai saja saat ini aku masih mendengar kabar darimu, mungkin gejolak rindu pasti tak separah ini. Ingin sekali rasanya waktu berputar kembali. Mengulang kisah-kisah perjumpaan singkat saat kita menonton caci bersama diacara penti itu. Ingin sekali aku mengabarimu, namun aku tak punya nomor hpmu. Aku hanya berharap menunggu kabar darimu”.
Juita bagai tegak berdiri dipersimpangan harapan dan penantian. Ragu. Dilema. Antara tetap menunggu atau lupakan saja.
****
Fajar kembali bersinar, memberi terang bagi segenap ciptaan yang menghuni semesta. Ayam jago mengusap-usap paruhnya pada tanah seraya mematuk jagung yang disuguhkan tuannya. Tampaknya lahap setelah lelah berkokok sepanjang dini hari. Sedang Juita mengucek-ngucek matanya menapat ponselnya yang bergetar dengan tampilan satu pesan baru tanpa nama kontak.
Baca: Agama, Dosa dan Ketawa
Ia mencoba menebak. “Pasti nomornya Riko. Dan kalaupun itu pesan darinya kata apa kira-kira yang disampaikannya”. Tanya Juita dalam hatinya. Dugaanya memang akurat, bidikan yang tepat.
“Hah, tepat sekali dugaanku”. Spontan Juita tanpa menghiraukan tumpukkan selimut yang berhamburan.
“Selamat pagi Juita maaf mengganggu, telat aku mengabamu, aku harap kamu tidak kecewa
ini nomor hpku”. Tulis sebuah pesan singkat dengan bagian akhir dibubuhi nama pengirim, Riko.
“Aku merindukannmu”. Balas Juita singkat dengan raut wajah tampak cerah.
Hari itu dilaluinya dalam sukacita. Lantaran sesosok yang dirindunya kini hadir dan menyapanya kembali. Bagi Juita peristiwa di pagi itu cukup mengobati rindu yang hampir meleleh. Sapaan dari Riko bagai seuntai melati yang mewarnai taman hati Juita.
Setelah melewati padang rindu yang bukan dekat hingga kerongkongan harus kering menahan haus dengan garang yang menyengat kini sejuk kembali dengan bilasan embun sapaan dan kabar dari Riko. Genaplah ungkapan yang didengung-dengungkan khalayak “panas setahun dihapus dengan hujan sehari”. Mungkinkah keduanya mengalami hal serupa? Tentang rasa siapa yang tahu. Selama beberapa waktu Juita memikul rindu di relungnya. Tanpa ia peduli apakah Riko juga mengalami hal yang sama.
“Terima kasih yah untuk kebaikamu selama di tempatmu. Aku merindukan saat-saat itu ketika sedang sendiri, bahkan aku sempat berkayal suatu saat nanti bila waktu mengijinkan aku akan ke sana. Ooh iya, aku harap kamu baik-baik saja di sana. Tetap semangat yah dalam kuliahnya”. Sederetan kata terungkap dalam lembaran pesan singkat. Juita tersenyum kecil, kata-kata Riko seperti menyapa hatinya.
****
Senja tegak berdiri menyilaukan terang dari bumi. Bias sang surya semakin memudar sekaligus menjadi pengingat bagi penghuni semesta untuk beristirahat dari lelahnya pekerjaan. Saat-saat di mana para petani pulang dari kerjanya, demikian juga anak-anak ayam sibuk mencari hangat dalam kepak sayap induknya. Sedang Juita sepi sendiri. Batinya ketika itu tampil berbeda dari sebelumnya. Ia seolah sedang bergulat dengan keraguannya sendiri, bahwa sudah sejauh ini Riko tidak memberikan harapan cinta kepadanya.
Baca: Membongkar Kebohongan Klarifikasi Edy Mulyadi
Juita merasa ada yang kurang dari relasinya dengan Riko. Jangan-jangan Riko tidak seperti yang ia duga terutama soal rasa cinta. Dalam beberapa kesempatan chatingan Riko tidak menyinggung soal perasaan cinta untuknya. Batin Juita mengadu.
Diraihnya handphone yang sejak tadi tergeletak di atas meja untuk memastikan adakah Riko mencintainya. “Riko, maaf bila aku lancang untuk berbicara denganmu, ini tentang rasa cinta yang lama kubendung. Jujur aku jatuh cinta padamu sejak awal kita berjumpa. Hanya saja aku menahan diri agar jangan aku yang memulai. Untuk itu saat ini aku ingin bertanya apakah engkau mencintaiku”?
Mata Riko tampak kaku seakan tidak mau berpaling dari layar kaca menatap pesan Juita. Ia tidak menyangka setelah menjalin relasi saling menyapa dan memberi kabar dan pada akhirnya seperti ini. Hati dan rasa menjadi taruhan. Apalagi harus menyentuh soal cinta. Hangatnya sapaan, indahnya senyum ternyata lahir dari rasa yang terselubung dalam hati. Cinta asmara. Rasa cinta adalah alasannya. Tiada terduga.
Hufftt,, Riko menarik nafas panjang lalu menghembus pelan berharap menenangkan ketokan batinnya yang melaju tidak seperti biasanya. Sesekali ia menengadah ke arah langit biru lalu kembali pandangannya mengarah pada ponsel yang masih digenggamannya.
“Juita aku mengagumimu, terutama kepribadianmu yang begitu polos, keramahan yang kadang membuatku berkesan denganmu.
Aku amat mengahargai perasaanmu saat ini, tentang cintamu. Namun perlu kamu ketahui cinta tak selamanya harus memiliki. Akupun mengalami hal serupa denganmu tentang rasa yang terbendung dalam sukmaku. Cinta yang tertahan. Ingin aku mengatakannya tapi aku tak dapat. Agar jangan engkau terluka karena terjebak dalam penantian yang tak berujung.
Juita, kabar ini mungkin mengejutkanmu atau bahkan membuatmu merasa tersakiti. Tetapi demi kebahagiaan dan kejelasan untuk kamu dan juga aku bahwa sebenarnya aku ini seorang seminaris.
Kamu tahukan tentang jalan hidup yang saya pilih ini. Juita ijinkan aku tuk mencintai Dia yang tidak hanya mencintaiku tapi mencintaimu juga”.
Bagai tertikam sebilah belati, hati Juita terasa perih. Terasa sakit. Tak ada suara terucap. Angin seolah mati, tak menghembuskan tiupannya. Panas dan membara membakar amarah. Mukanya berubah sembab. Bibir suci Juita bergetar kaku serasa sulit untuk berkata apalagi untuk bertanya. Cintanya seakan bertepuk sebelah tangan. Yah, itulah yang dirasakannya saat ini. Rasa cinta yang pernah ia tabur dan sempat menunjuk tunas kini harus lenyap tanpa bekas. Sulit untuk dicerna dengan logika tentang rasa yang hambar.
Baca: Koruptor Termuda di Indonesia, Nur Afifah Balqis, Punya Koleksi Mobil Mewah, Harganya bikin Melongo
Dalam duka yang dalam Ia bergumam, “Bila saja aku tahu sebenarnya sejak awal tentu aku tak mungkin memaksamu. Aku tahu itu. Hanya saja mengapa harus menunggu lama hingga sejauh ini.” Dan kini, perasaan Juita yang pernah berkobar-kobar kepada Riko rela dipadamkan dalam sekejap demi meluruskan cintanya kepada Tuhan.
*****
Pesona senja kembali merangkul semesta. Kemolekan sunset kala itu sukses memikat hati kawula muda. Waktu seakan terus melangkah melewati lorong pagi dan siang. Sesayup suara jangkrik mulai bersorak seakan mengucapkan terima kasih pada pagi dan siang.
Tampak langit masih biru. Juita sejenak merenung, seperti terjaga dari mimpi panjang. Ia pun sadar dan mengiklaskan sesosok yang selalu hadir dalam hari-hari hidupnya selama ini pada Sang Cinta. Ia yakin bahwa cinta yang sesungguhnya bukanlah sekedar pilihan melainkan anugerah.
Setiap orang telah dianugerahi perasaan cinta, serta kepada siapa cinta itu layak dicurahkan. Setiap orang berhak memilih siapa sebagai teman, sahabat, kenalan, tapi tak kuasa menentukkan cintanya untuk siapa. Batin Juita yakin.
Malang, 2022.
Penulis sedang menjalani study Strata satu di STFT Widya Sasana Malang.