Mengapa Konflik Pembangunan di Taman Nasional Komodo (𝐓𝐍𝐊) Terus Saja Terjadi? |
Setelah kurang lebih empat tahun intens terlibat, tampaknya saya makin percaya diri untuk kemukakan dua tesis penting yang bisa menjelaskan konflik pembangunan berkepanjangan di Taman Nasional Komodo (TNK) yang memperhadapkan Pemerintah dengan segala imajinasi pembangunannya pada satu sisi dengan awetnya gelombang perlawanan dari elemen sipil pada sisi yang lain.
Baca: Ritual Unik Manggarai! Mobil Baru Injak Telur, Kok Bisa? Simak Penjelasannya
𝑷𝒆𝒓𝒕𝒂𝒎𝒂, cara Pemerintah menggarap pembangunan di TNK dan di Flores daratan merupakan satu dari sekian contoh terbaik soal bagaimana pembangunan digarap per-sektor atau per isu di Indonesia. Ini berlaku dari Sabang sampai Merauke, dari Pusat hingga Daerah. Warga negara sebagai target pembangunan dibuat kesan seolah-olah sektor yang satu tak berhubungan dengan sektor yang lain.
Di TNK ini tercermin dari bagaimana cara berpikir Pemerintah yang memisahkan antara isu konservasi dan pariwisata. Dua isu ini seolah-olah bak dua garis lurus-sejajar, yang tak akan pernah bersinggungan satu sama lain. Gejala ini makin kentara dalam tiga tahun terakhir, sejak Labuan Bajo ditetapkan sebagai salah satu dari 10 Kawasan Strategis Pariwisata di Indonesia. Padahal selama bertahun-tahun sejak pariwisata menjadi bagian penting dari dinamika di TNK, sebelum sekarang banyak intervensi dari Pemerintah, kenyataan secara terang-benderang menunjukkan bahwa konservasi TNK merupakan garansi utama di balik positifnya perkembangan pariwisata di Manggarai Barat secara khusus dan Indonesia secara umum dalam beberapa tahun belakangan ini. Sederhananya atraksi atau magnet utama pariwisata NTT adalah keaslian alam TNK.
Baca: Wajah Itu (Cerpen Alkuinus Ison Babo SMM)
Namun hal yang sangat mendasar ini sama sekali tidak tercermin dalam beragam intervensi pembangunan TNK dan sekitar TNK belakangan ini. Kendati pada satu sisi KLHK terus beretorika tentang konservasi, namun institusi yang sama ini juga tetap ngotot untuk terus membawa masuk perusahaan ke dalam wilayah TNK. Di tempat lain Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif melalui Badan Pelaksana Otorita Pariwisata Labuan Bajo-Flores terus sibuk dengan berbagai program untuk mempercepat investasi pariwisata di Flores. Bagi kementrian ini, yang penting digarap dari pariwisata di Flores adalah mendorong investasi di Flores daratan dengan mempromosikan sebanyak mungkin destinasi wisata baru serta mendorong program pemberdayaan masyarakat. Sementara protes keras para pelaku wisata untuk mempertahankan masa depan TNK sebagai jantung utama destinasi tak dipandang sebagai isu strategis.
Baca: Pengaruh Sosial Media Bagi Remaja
Di mana letak kewarasan logikanya? Investasi pariwisata di Kota Labuan Bajo dan Flores terus didorong, desa wisata terus dibangun, sementara TNK sebagai jantung utama destinasi terus dibiarkan porak-poranda oleh pembangunan resort-resort perusahaan swasta. Ini ibaratnya orang yang mati karena terkena serangan jantung. Mestinya Kementerian Pariwisata mengeritik keras kebijakan KLHK. Idealnya keduanya mesti sudah saling tahu bahwa konservasi dan pariwisata di TNK merupakan dua isu yang terpaut erat satu sama lain.
Baca: Sebuah Pengharapan (Cerpen Mario Alexander Betu)
𝑲𝒆𝒅𝒖𝒂, penjelasan panjang lebar dalam point pertama di atas, dengan sendirinya terbatalkan, ketika memang negara ini didefinisikan oleh segelintir orang yang mau berkuasa atas segala sumber daya alam dari Sabang sampai Merauke. Dalam situasi seperti itu, maka segerombol perampok kekayaan atas negara ini akan terus saja bersikap tidak mau tahu bahwa konservasi dan pariwisata di TNK itu saling menopang satu sama lain. Yang terpenting untuk mereka adalah “cuan”. Celakanya korbannya tetap sama yaitu masa depan konservasi di TNK dan pariwisata Flores yang berkelanjutan.
Oleh: Venan Haryanto
Mau Memuat tulisan di BernasINDO.id?
Silahkan kirim ke email redaksi:
redaksibernasindo.id@gmail.com