Celana Dalam Robek (Cerpen Fransiska Aurelia Susana) |
Oleh: Fransiska Aurelia Susana
Celana Dalam Robek-Waktu telah berputar menghadap Barat, ketika Timur bukan lagi menjadi harapan menyambut hari dan berpaling melarikan diri untuk melepas segala jerih payah menemui mimpi.
Di sebuah gubuk tua, malam mencekam hening. Sementara nyala lampu pelita mengusir kegelapan. ibu berdiam diri sembari menjahit celana dalam milikku. Kerlingan manja mata ibu membuat aku terpaku bisu bagai batu di pinggir kali.
“Mengapa celana dalammu sobek, ibu baru beli dua hari yang lalu dari hasil panen kemiri”?
Ibu bertanya dalam kesunyian hidup berharap sanggup mengatup doa-doa yang terlantar.
“Aku bermain bersama temanku dan meloncat dari atas pohon jambu sehingga celana dalam baru itu sobek, tetapi aku tak sengaja melakukan itu”.
Lantas jawabanku hanya mengheningkan cipta seolah sedang memperingati kematian para pahlawan.
“Sudah selesai”.
Ibu memberikan celana dalam itu setelah selesai dijahit untuk dipakai kembali. Ibu berjalan dan menepi di sudut gubuk, memangku tubuh sendiri seperti sedang dilanda duka. Aku tak mampu berbicara dan tak tahu bagaimana memulai percakapan dengannya. Namun dengan segala keberanian aku bertanya.
“Apakah ibu marah? Bukankah sejak aku bayi, ibu tak pernah memakaikan aku celana dalam? Tetapi mengapa sekarang ibu sangat khawatir dengan celana dalam itu”?
Sepertinya aku telah mengekang senyap di ruangan tua itu.
“Seorang ibu akan menasihati kesalahan anaknya namun setiap ibu terus merasa takut jika anaknya selalu melakukan kesalahan”, Ibu menyahut dengan sedihnya, lalu melanjutkan,
“ Aku tak memiliki seorang suami dan kau tidak memiliki ayah, kau telah dilahirkan tanpa sosok seorang pria yang seharusnya diciptakan untuk melindungi dan mengayomi kita”.
Ibu seperti terpuruk dalam kata-katanya, aku pun tak sanggup melihatnya memikul beban cinta seorang diri.
“Mariam, kau harus tahu bahwa aku adalah seorang perempuan yang telah kehilangan celana dalam pada suatu malam di atas ranjang sial”. Ibu bergumam lalu mengusap air matanya sendiri.
“Apa maksud ibu, aku sungguh tak mengerti”. Ibu menatapku dengan begitu malangnya. Air matanya menjelaskan semua rasa sakit yang pernah ia alami .
“Kau harus menjaga martabat dan harga dirimu sebagai perempuan di balik celana dalam itu, tak boleh disentuh oleh tangan-tangan kurang ajar, kau adalah pualam yang tak boleh tergores agar tetap berharga”, tegas ibu di kesunyian malam itu.
“Ibu, ini hanya masalah kecil. Bukankah ibu telah menjahitnya kembali, aku akan merawat celana dalam itu”, ucapku memecahkan keheningan.
“Enu momang, kau tak tahu bahwa aku telah berelegi pada sunyi yang tak inginku ungkit lagi, tentang suatu malam panjang ketika celana dalam milikku sobek dan dengan brutalnya penis-penis serakah itu menghunus rahimku sehingga selaputku pecah, darah bercecer di mana-mana, ibu blingsatan menahan rasa sakit yang hari ini masih membekas pada ingatan”.
Tangis ibu menggambarkan kemarahan yang membuat pesona kecantikannya terbakar sampai menjadi abu. Aku telah mengetahui semua yang diceritakan ibu dari mulut-mulut tetangga. Mereka mengatakan bahwa sebenarnya aku memiliki ayah, aku bukan anak dari sebuah pernikahan yang suci atas dasar cinta melainkan sebuah nafsu birahi seorang lelaki.
Namun untuk mengetahui kebenarannya, aku tak sedikit pun bertanya kepada ibu, ia hanya akan mengatakan bahwa aku tidak memiliki seorang ayah. Aku juga sebenarnya tak sanggup melihat ibu begitu malang dalam pendiriannya selama ini, dukanya masih segar dan selalu menjadi belati setiap kali ia akan mengingat peristiwa keji itu.
“Ende geong, tak akan ada hal buruk yang akan terjadi, kita akan tetap baik-baik saja selama kita bersama”. Aku mencoba menenangkan ibu bahwa aku akan baik-baik saja.
Tuhan, entah bagaimana ibu hidup dari kekejaman itu, aku tak tahu pasti. Ibu tidak mendapatkan keadilan sebagai perempuan yang telah dilecehkan oleh seorang lelaki bajingan, sebagian orang menganggap kejadian yang menimpanya adalah sebuah aib tetapi mereka tidak pernah paham bagaimana ibu merasa jijik dengan tubuhnya sendiri, merasa berdosa dan trauma.
Bahkan parahnya ketika ibu hamil, ia di kucilkan dari banyak orang karena mengandung bayi hasil pemerkosaan, ia harus mendekam diri di dalam kamar tetapi meskipun demikian Ibu begitu tegar dengan segala beban yang ia pikul seorang diri dan dengan ketulusannya, ibu merawat aku dan membesarkan aku seperti saat ini. Sungguh aku tidak mampu membayangkan bagaimana menderitanya ibu pada saat itu.
Hukum dan adat istiadat seolah bungkam bagi kasus pelecehan terhadap perempuan, mereka lebih memikirkan kehormatan keluarga dibandingkan dengan tindakan kekerasan yang mungkin suatu saat akan terus terjadi di lingkungan itu. Masyarakat juga seperti menganakemaskan patriarki dan menganaktirikan kaum perempuan.
Sangat miris, seharusnya lingkungan masyarakat menjadi garda terdepan terhadap penyimpangan sosial seperti ini untuk melindungi kaum perempuan.
“Enu, seperti duri dalam daging, orang-orang baik di sekitarmu akan bermetamorfosis menjadi gila pada tubuh. Mereka seperti singa buas yang mampu merobek celana dalammu, entah pada suatu hari dia adalah kekasihmu, teman, paman, rekan kerja, kakek, saudara, ayahmu atau bahkan orang asing. Sebab pada suatu waktu ketika memiliki kesempatan, manusia mampu bernaluri seperti binatang”, jelas ibu agar aku selalu waspada. Aku mengangguk pada ucapan ibu.
Dengan sangat tegar, ia telah membuktikan bahwa ia adalah perempuan yang hebat, perempuan yang bisa melakukan apa saja tanpa seorang lelaki, perempuan yang telah menerima dan berdamai dengan luka di masa lalu dan seorang ibu yang kuat.
Ibu telah mengajarkan kepada semua perempuan di luar sana bahwa mereka harus tetap hidup karena masih ada orang-orang yang mencintai dengan tulus , masih banyak orang yang akan memperjuangkan keadilan untuk mereka, melindungi dan menghargai keberadaan perempuan sekalipun mereka telah hina.
Aku melangkah ke tempat ibu duduk. Memeluknya, mencium sepasang mata yang berlinang kemudian mengusapnya dengan lembut. Sementara ibu terdiam dan tersenyum.
“Ibu, kita akan tetap hidup bahagia”. Aku meyakinkan ibu di malam paling sepi itu.