Dua Tetapi Satu, Satu Tetapi Dua” (Semyopal dan SMAK St. Ignatius Loyola Tempo Doeloe) |
Oleh: Sil Joni
Dua Tetapi Satu, Satu Tetapi Dua - Seminari St. Yohanes Paulus II (Semyopal) dan SMAK. St Ignatius Loyola Labuan Bajo tempo doeloe, ibarat ‘sepasang kekasih’ yang selalu ‘tampil mesrah’ dalam mengayuh bahtera pendidikan. Secara lahiriah keduanya ‘beda’, tetapi dalam urusan ‘mencetak kader pemimpin Negara dan Gereja’, keduanya berkolaborasi dengan solid.
Saya masuk Semyopal dan SMAK St. Ignatius Loyola tahun 1996. Rektor SMAK kala itu adalah almarhum Pater Martinus Toke, SVD. Saya masih ingat, kepada kami (kumpulan) remaja ingusan, Pater Tinus (demikian sapaan akrabnya) selalu ‘menyisipkan’ semacam ‘motto’ yang menjadi panduan bagi segenap civitas akademika di kedua lembaga itu dalam setiap sambutan resminya. Kita yang hidup di kompleks ini (Semyopal dan SMAK St Ignatius), demikian Pater Tinus, memiliki semboyan ‘Dua Tetapi Satu, Satu Tetapi Dua’.
Baca: Celana Dalam Robek (Cerpen Fransiska Aurelia Susana)
Sebagai anak ‘orang kampung’ dan tamat SMP di kampung, awalnya saya terkesan amat lugu dan agak bingung menangkap maksud dari semboyan itu. Tetapi, setelah sekian sering mendegar ‘pidato’ dari sang Rektor, saya mulai paham. Bahwasannya, saya, selain sebagai seorang ‘seminaris’ di Semyopal, juga sebagai siswa SMAK St. Ignatius Loyola.
Kenyataan dua tetapi satu, satu tetapi dua’ itu, semakin tak ‘terbantahkan’ ketika para siswa seminari mengikuti proses pembelajaran formal di SMAK Loyola. Mungkin atas dasar itu, Semyopal tempo doeloe, disebut juga ‘Seminari Gabungan’. Siswa seminari ‘sekolah gabung’ dengan siswa/i SMAK. Jadi, menjadi ‘siswa seminari Semyopal’ secara otomatis siswa SMAK juga, tetapi siwa/i yang terdaftar sebagai siswa/i SMAK saja, bukan termasuk siswa Semyopal.
Baca: Catatan Perjalanan Literasi dan Ekologi
Saya kira, dari sekian seminari yang ada di Flores saat itu, hanya Semyopal yang bisa ‘belajar bersama’ dengan siswa/i non seminari. Kita tahu bahwa seminari (menengah) adalah sebuah lembaga khusus untuk mendidik ‘remaja putra’ yang mau menjadi ‘pastor Katolik’. Umunnya, proses pembelajaran di seminari itu bersifat ‘eksklusif’, dipisahkan dari siswa non-seminari, apalagi ‘remaja putri’.
Status sebagai ‘Seminari Gabungan’, memungkinkan siswa Semyopal ‘bisa menyalurkan’ perasaan ketertarikan dengan lawan jenis (remaja putri) secara lebih dekat dan nyata. Mereka tidak hidup dalam ‘dunia mimpi belaka’. Pelbagai cerita ‘romantika’ bercinta ala anak SMA, terpahat indah dalam pigura memori setiap seminaris yang ‘cukup beruntung’ bisa merebut aura cinta monyet dari para siswi SMAK.
Saya dan mungkin sebagaian besar angkatan kami, tak masuk dalam barisan ‘the lucky guy’ itu. Mengapa? Selain jumlah ‘anak putri’ yang sekolah di SMAK sangat sedikit, boleh jadi, anggapan bahwa ‘anak seminari dilarang berpacaran’, tertancap kuat dalam alam bawah sadar kami. Pasalnya, seminaris adalah calon pastor Katolik yang menghayati hidup sebagai selibat, atau tidak kawin semur hidup.
Baca: Soal Kunjungan Duta Baca Nasional di Ruteng, Bupati Hery Singgung Pondok Baca Di Pedesaan
Karena itu, sejak dini ‘para calon pastor itu’ dibiasakan untuk tidak mengekspresikan secara vulgar rasa ‘keterpikatan’ mereka kepada remaja putri. Dalam bahasa yang lebih santun, anak seminari mesti bisa ‘mengontrol atau mengelola’ secara kreatif gejolak rasa yang berkecamuk dalam batin mereka. Beruntung bahwa masih ada di antara kami yang bisa ‘menjebol’ doktrin suci itu sehingga bisa mengukir kisah manis ‘di seputaran’ kompleks Semyopal dan SMAK Loyola. Sedangkan kami yang lain, hanya bisa ‘gigit jari’ dan sesekali meratap mengapa ‘masa SMA yang indah itu’, lewat begitu saja, tanpa digenangi dengan kenangan manis.
Umumnya, jebolan Semyopal tempo doeloe itu, relatif tampil ‘tidak kaku dan kikuk’ ketika berkomunikasi dan berelasi dengan lawan jenis (perempuan). Tentu, kenyataan ‘terkendali’ semacam itu, hemat saya, salah satunya adalah efek positif dari ‘sekolah bersama’ dengan remaja putri itu. Setidaknya, sisi afeksional seorang siswa Semyopal sudah ‘teruji’ sebab sudah terbiasa ‘bergaul’ dengan para siswi yang cantik-cantik itu. Mungkin itu bisa dinilai sebagai ‘nilai plus’ dari ‘Seminari Gabungan’.
Kesempatan dan tempat untuk ‘bersua’ dengan lawan jenis, cukup luas dan terbuka. Hampir setiap hari, siswa Semyopal ‘berjumpa’ dan bercanda dengan anak putri pada berbagai tempat dan momen di kompleks nan indah itu. Kegiatan kesiswan yang diinisiasi oleh Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) membuat frekwensi dan intensitas pertemuan, semakin tinggi. Semua siswa Semyopal adalah anggota OSIS SMAK St. Ignatius Loyola. Tidak jarang juga siswa Semyopal menjadi ‘pengurus inti’ OSIS, entah sebagai Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris, Bendahara dan ketua-ketua seksi.
Selain itu, jangan lupa bahwa dulu hanya ada ‘satu kapela’. Baik siswa Semyopal maupun siswa/i SMAK ‘berdoa bersama’ dalam kapela itu. Tidak ada perbedaan yang berarti antara siswa Semyopal dan siswa non seminari dalam melaksanakan aturan dalam bidang rohani ini. Semua wajib mengikuti Misa yang diawali dengan ‘doa pagi’ dan mengikuti ‘doa malam’ menjelang tidur. Sayang, kapela itu sudah nampak tua dan lusuh saat ini. Padahal, itu adalah ‘ruang bersejarah’ yang amat menentukan perkembangan kehidupan spiritual dan mental siswa Semyopal dan Loyola kala itu.
Terus terang, saya merasa beruntung bisa ‘sekolah’ di dua lembaga pada waktu yang sama. Ada banyak hal positif yang bisa ditimba. Selain mendapat ‘pelajaran rutin’ sesuai kurikulum Negara, siswa Semyopal mendapat ‘pelajaran tambahan’ sebagai semacam ‘bekal’ untuk menghayati spiritualitas sebagai seorang ‘kandidat pastor’. Dengan jadwal yang begitu ‘padat’, maka kita dituntut untuk berdisiplin dalam menjaga ‘stamina’. Mengapa?
Asal tahu saja, selain penekanan pada aspek akademik, di seminari juga, kita dilatih untuk menekuni aneka ‘karya tangan’ sesuai dengan minat masing-masing. Belum lagi ‘krisis air minum’ dan kayu bakar yang terjadi waktu itu, membuat siswa Semyopal hampir setiap hari ‘pergi timba air’ sehabis santap malam. Seingat saya, dua kali dalam se-minggu, kami pergi ‘cari kayu api’ di seputaran Sernaru, Golo Koe, Lancang, Wae Nahi, area Kantor Bupati, Polres Mabar, Batu Cermin dan lain-lain.
Kisah kemesrahan antara Semyopal dan SMAK itu, mungkin tidak terasa lagi saat ini. Kedua lembaga itu sudah ‘pisah ranjang’. Semyopal sudah menjadi lembaga ‘otonom’ yang tidak lagi bergabung dengan SMAK St. Ignatius Loyola. Itu berarti, sulit sekali rasanya untuk ‘mengulang kembali’ kenangan lama yang sempat kami nikmati ketika keduanya masih ‘satu tetapi dua, dua tetapi satu’. Era ‘satu daging’ itu sudah berlalu. Kini, keduanya memiliki ‘daging’ yang berbeda dengan orientasi dan intensi yang berbeda juga.
Sebagai siswa SMAK St. Ignatius Loyola, saya tamat pada tahun 1999. Sedangkan sebagai siswa Semyopal, saya tamat pada tahun 2000. Setelah tamat SMA, sesuai dengan ‘program di seminari waktu itu’, bagi mereka yang mau menjadi pastor, harus sekolah satu tahun lagi di seminari. Fokus perhatian di kelas akhir ini (kami menyebutnya Kelas IV) adalah ‘memperkenalkan’ pelbagai ilmu pengantar yang bakal digeluti di fase pendidikan selanjutnya. Mata pelajaran seperti ‘logika, metodologi Penulisan Ilmiah, Bahasa Indonesia, Sejarah Gereja, Ilmu Kitab Suci, Liturgi, Bahasa Inggris dan bahasa Latin diberikan secara reguler oleh para staf formator di Semyopal.
*Penulis adalah alumnus SMAK St. Ignatius Loyola tahun 1999 dan Semyopal tahun 2000.