Ketika ‘Duta Baca” Bersafari Literasi ke Manggarai Barat (foto istimewah) |
Oleh: Sil Joni*
Grup ‘Guru Mabar Menulis (GMM)’ mendapat undangan untuk menghadiri kegiatan ‘Safari Literasi Duta Baca Nasional dan Bunda Baca NTT yang akan berlangsung di Aula Sekretaris Daerah (Sekda) Manggarai Barat (Mabar), Kamis, (10/3/2022). Ketua GMM, ibu Yuliana Tati Haryatin dan saya akan mewakili GMM menghadiri undangan tersebut.
Baca: Di Manggarai, Tradisi Minum Tuak Saat Pesta Picu Penumpahan Darah, Stop Miras!
Tentu, ini sebuah momen langka dan menjadi sebuah ‘kehormatan’ mengikuti kegiatan prestisius itu. Untuk pertama kalinya, saya boleh merasakan semacam ‘aura magis’ dari pribadi yang didaulat sebagai ‘Duta Baca nasional’ itu. Saya tidak tahu persis siapa atau lembaga apa yang ‘mengangkat’ pribadi itu sebagai ‘Duta Baca’. Pun soal mekanisme serta kualifikasi yang mesti dipenuhi oleh seseorang menjadi ‘Duta Baca’, tidak ada informasi yang pasti.
Kendati demikian, saya berpikir, ketika agenda ‘pembumian kultur literasi’ menjadi substansi tunggal dalam kegiatan safari itu, maka informasi terkait pribadi, mekanisme, dan kualifikasi untuk menjadi ‘Duta Baca’, tidak terlalu penting. Latar belakang dan atribut yang melekat dalam tubuh ‘Duta Baca’ itu, tidak terlalu urgen untuk dibahas. Fokus kita adalah apa agenda yang hendak disemaikan di tanah Mabar terkait upaya menghidupkan ‘budaya literasi’ di sini.
Baca: Untuk Sebuah Nama (Puisi Sherly Sherena)
Sebetulnya, kegiatan ‘Safari Literasi’ dari sang Duta Baca’ itu ke Mabar merupakan salah satu episode dari pelaksanaan program besar Duta Baca dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (RI). Seperti yang dilansir Media Indonesia (17/1/2022) bahwa mengawali Tahun 2022, Duta Baca Indonesia Gol A Gong berkunjung ke sejumlah desa di Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Kegiatan Safari Literasi Duta Baca Indonesia dan Perpustakaan Nasional RI akan berlangsung selama tiga bulan, 18 Januari - 2 April 2022.
Dijelaskan bahwa ‘Safari Literasi’ merupakan upaya menumbuhkan budaya menulis dan membaca, serta meningkatkan Indeks Literasi Masyarakat. Tema utama kegiatan ini adalah: “Membumikan Literasi”. Gol A Gong sebagai Duta Baca Nasional mengatakan, masyarakat Indonesia masih memiliki akses yang terbatas kepada bahan bacaan. Menurut UNESCO angka ideal terhadap akses bahan bacaan adalah satu orang mengakses 3 buku per tahun. Sedang kondisi di Indonesia rasio ketersediaan buku dengan jumlah masyarakat adalah 1 buku dibaca oleh 90 orang.
Baca: Syair Kampus, Bandit-Bandit Kampus, Perihal Cinta, Bukan Selangkangmu (Antologi Puisi Arnolda Elan)
Sangat boleh jadi, rasio keterbatasan buku dengan jumlah masyarakat di Mabar melebihi angka rata-rata secara nasional. Memang belum ada data yang kredibel soal itu. Tetapi, berdarkan gejala yang tampak di permukaan, terutama soal ‘minat baca masyarakat kita’, maka asumsi di atas tentu ada benarnya. Kita mesti jujur mengakui bahwa ‘memiliki dan atau membaca buku’, bukan merupakan kebutuhan pokok.
Karena itu, kehadiran ‘Duta Baca Nasional’, semestinya bisa membangkitkan dan menstimulasi ‘spirit kita’ untuk menjadikan buku sebagai ‘nutrisi rohani’ yang wajib dikonsumsi setiap hari. Tetapi, apakah harapan semacam itu bisa terlaksana di tengah latar ‘defisit tradisi literasi’? Apakah kehadiran sang Duta Baca yang bersifat momental (hanya beberapa jam saja), bisa mengubah ‘konadisi malas baca’ yang seolah menjadi budaya tandingan terhadap kultur literasi itu?
Saya tidak menemukan ‘alasan yang cukup’ untuk membentangkan bendera optimisme perihal ‘membaiknya indeks literasi’ masyarakat melalui safari literasi dari Duta Baca itu. Namun, situasi pesimistis itu akan berbalik ketika para pemangku kepentingan (stakeholder) dalam bidang literasi di Mabar, tidak tinggal pasif pasca kegiatan safari itu. Artinya, semua komponen di Mabar, mulai dari pemerintah, Dinas Perpustakaan Daerah, Para pegiat literasi, aktivis LSM yang peduli pada isu literasi, semua satuan pendidikan dan masyarakat ‘mesti punya passion’ yang sama dalam ‘menghidupkan budaya literasi’.
Semua elemen terkait harus berkolaborasi secara sinergis dalam arti masing-masing pihak berpartisipasi secara proporsional atau sesuai dengan kapasitas. Pemerintah Daerah melalui Dinas terkait (Perpustakaan, Pendidikan, dll) mesti memfasilitasi dan mengkreasi ruang yang ideal bagi publik untuk mendapatkan akses bacaan yang berkualitas. Semua Desa di Mabar, kalau dapat, memiliki perpustakaan atau Taman Bacaan yang mendapat sokongan penuh dari pemerintah.
Selain itu, pemerintah bisa bekerja sama dengan pegiat literasi untuk mengadakan semacam ‘pelatihan menulis’ dan bedah buku yang boleh diikuti oleh masyarakat umum. Saya membayangkan jika ada ‘tim khusus’ yang bertugas menggenjot kemampuan membaca dan menulis masyarakat, maka tinggal menunggu waktu, kabupaten ini, layak dibabtis sebagai “Kabupaten Literasi’.
Baca: Catatan Harian Regina (Cerpen Videlis Gon)
Di atas semuanya itu, jangan pernah lupa bahwa ‘budaya baca-tulis’ itu sebenarnya mulai bersemi dalam keluarga dan dimatangkan dalam lembaga pendidikan. Untuk itu, perhatian pemerintah dalam mendukung lembaga pendidikan ‘merawat kultur literasi’, menjadi sebuah keharusan. Pastikan bahwa semua satuan pendidikan, mulai dari Sekolah Dasar (SD) sampai Perguruan Tinggi (PT) memiliki perpustakaan atau Taman Bacaan yang representatif. Komitmen politik Pemerintah dalam ‘membumikan budaya literasi’ di tanah pariwisata super premium ini, sangat dinantikan.
Meskipun Duta Baca Naional seribu kali mengunjungi Mabar, tetapi selagi para pemangku kepentingan di sini ‘kurang tergerak hati’ untuk melanjutkan misi yang diarak oleh sang Duta Baca, maka kunjungan itu tetap tidak ada faedahnya. Jadi, bukan soal siapa dan berapa kali ‘orang hebat’ mendatangi daerah ini dengan misi ‘membangunkan habitus literasi’ dan pada saat itu ada perubahan yang signifikan, tetapi saya kira, perubahan atau peningkatan mutu berliterasi itu sangat bergantung pada motivasi, komitmen dan kegairahan yang tersembul dari dalam diri kita sendiri.
‘Duta Baca’ itu hanya datang untuk ‘berkampanye’. Sabda literasinya hanya seputar ajakan agar kita ‘berpaling’ ke budaya yang terbukti sangat kontributif bagai kemajuan peradaban. Propaganda literasi dari sang Duta Baca, menjadi tidak ‘berdaya’ ketika kita kurang bergairah untuk ‘meneruskan’ secara kreatif wacana yang keluar dari mulut Duta Baca itu.
Memang, saya mendengar ada beberapa menu acara dalam kegiatan Safari Literasi, di antaranya orasi Literasi dari pejabat setempat tentang pentingnya membaca dan menulis, pertunjukan seni dari seniman setempat, serta dari tim Safari Literasi yakni RuDun (maskot Rumah Dunia) dan Gol A Gong yang akan membaca puisi, serta diskusi/seminar literasi: “Dari Keluarga Menuju Perpustakaan Berbasis Inklusi social”. Selain itu ada juga pelatihan menulis kisah inspiratif yang bersifat fiksi maupun yang non fiksi.
Berharap bahwa aneka item kegiatan di atas, dilaksankan juga di Labuan Bajo dalam kunjungan Duta Baca nasional kali ini. Saya mendapat informasi dari Ketua GMM bahwa salah satu mata acara yang dibuat pada kesempatan itu nanti adalah ‘bedah buku cerita anak’. Kita tidak tahu siapa penulis dan apa judul dari buku cerita anak itu.
Kendati demikian, sudah sepatutnya kita mengucapkan selamat datang kepada ‘Sang Duta Baca Nasional” dan memberikan apresiasi kepada lembaga yang memfasilitasi kedatangan Duta Baca itu. Semoga kehadiran beliau, benar-benar menyuntikkan spirit literasi yang menggairahkan di Mabar. Dengan itu, Mabar tidak hanya dikenal sebagai Kabupaten Pariwisata Super Premium tetapi juga Kabupaten Leterasi. Ketika kuntum literasi itu ‘tumbuh’, maka bukan tidak mungkin daerah ini bakan dijuluki sebagai Kabupaten Literasi Super Premium.
*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.
Mau Memuat tulisan di BernasINDO.id?
Silahkan kirim ke email redaksi:
redaksibernasindo.id@gmail.com