Pena Malam Terakhir (Cerpen Afri Ampur) |
Oleh : Afri Ampur
Mahasiswa STFT Widya Sasana Malang
Pena Malam Terakhir-Suara burung yang berkicau di samping kamarku diganti dengan suara jangkrik. Malam yang semakin gelap semakin sunyi. Tidak ada suara yang terdengar dari lorong kamar. Para Frater bergulat di kamar masing-masing. Malam silentium merupakan malam pergulatan bagiku. Aku bergulat dengan pilihan yang akan kupilih. Saat pertemuan tadi sore, Pater Hendrik menjelaskan panjang lebar tentang kaul kamurnian. Masih terngiang dalam telingaku sebuah pernyataannya, “Mengikrarkan kaul kekal berarti menikah dengan Kristus. Kalian tidak boleh selingkuh dengan perempuan lain. Sebab kekasih kita adalah cemburuan.”
Baca: Analisis Perencanaan Audit Laporan Keuangan Pada Kap Thoufan dan Rasyid
Surat lamaran kaul kekal masih tergeletak di atas meja belajarku. Di atas surat itu ada sebuah pena yang cantik. Pena itu pemberian dari sesosok jelita enam bulan yang lalu. Dia adalah teman lamaku. Aku berkenalan dengannya delapan tahun lalu. Dia teman dekatku sebelum aku menapaki jalan panggilan ini. Di pojok kamarku tergantung sebuah jaket Real Madrid pemberiannya. Aku teringat akan pesan yang dia kirim tiga hari yang lalu, “Frater, aku menghargai keputusan yang akan kau ambil.” Ia menghargai kebebasanku untuk memilih jalan hidupku. Tiga tahun yang lalu, ia menolak tawaran pekerjaan dari sebuah perusahan ternama di kotanya. Ia lebih memilih berkarya di lembaga sosial di Papua. Di sana ia mengajar di sebuah sekolah menengah pertama. Sebuah keputusan keliru bagi orang pada umumnya. Tetapi sebuah keputusan yang membahagiakan baginya.
Kuraih pena pemberiannya itu untuk menandatangani surat lamaranku. Tetapi bayangannya menari-nari dalam benakku. Bukan hanya paras cantiknya, tetapi juga perbuatan baiknya. Jarum pendek pada jam dinding kamarku mencium angka dua belas. Tetapi pergulatanku belum juga usai. Aku memutuskan untuk kembali ke ruang adorasi. Aku tidak berbicara banyak di depan Sakramen Maha Kudus. Aku cukup memandangnya dalam keheningan. Tiba-tiba ingatanku mendarat di kampung halamanku. Aku teringat akan umat di parokiku khususnya umat sekampungku. Aku teringat akan seorang janda yang gubuknya di persimpangan jalan. Waktu kecil, aku dan teman-temanku tidak berani mencuri buah-buahan di kebunnya. Tetapi, pada saat libur empat bulan yang lalu, setiap pagi ia datang ke rumahku untuk membawa buah-buahan.
Baca: Kedatangan Jokowi di NTT, Seharusnya Sekaligus Mengevaluasi Dampak Proyek Nasional Di NTT
Aku juga teringat akan seorang mama tua yang tinggal dengan anak perempuannya. Sejak dua tahun yang lalu, ia tidak bisa melihat. Ia begitu antusias mendengar kepulanganku empat bulan yang lalu. Setiap sore, ia memberi aku telur ayam kampung. Aku teringat akan kedua pahlawanku. Ibuku sakit-sakitan. Ia terbaring di atas sebuah tempat tidur yang beralas tikar. Ia bangkit dari tempat tidurnya, ketika melihat kedatanganku. Kehadiranku adalah obat mujarab bagi dirinya. Aku teringat akan ayahku yang diam-diam menyusup ke kamarku untuk mengusir nyamuk dan untuk memastikan aku menggunakan selimut. Aku selalu pura-pura tidur untuk tidak mengganggu rutinitasnya itu.
Empat bulan yang lalu aku membaca sebuah berita tentang saudara-saudaraku di Afrika. Mereka sangat membutuhkan para Misionaris. Aku teringat akan pernyataan dari Misionaris pertama SVD St, Yosef Freinademetz, “Anak-anak meminta roti, tetapi tidak ada yang memberikannya.” Tuhan, terima kasih untuk slide-slide yang baru saja Kau tampilkan dalam kepalaku. Mereka adalah Malaikat yang Engkau kirimkan untuk menguatkan aku pada jalan panggilan ini. Aku kembali ke kamar dan menandatangani surat lamaran itu dengan penuh bahagia. Si pemberi pena tidak lagi terlintas dalam benakku.
****
“Emas dan perak tidak ada padaku. Aku hanya memiliki rahmat tahbisan yang kuterima dari Tuhan. Maka, terimalah rahmat yang kuterima ini, Bapa… Putera… dan Roh Kudus...” Kataku di akhir misa perdana di kampung halamanku. Setelah Perayaan Ekaristi, ibuku menghampiriku di kamar dan membawa dua botol air dan dua bungkus garam. “Anak pater, tolong berkat garam dan air ini.” Garam dan air itu adalah titipan Si Janda yang gubuknya di persimpangan jalan dan si Ibu yang matanya buta.
Baca: Perjuangan Seorang Amelia
Pada saat makan siang, tiba-tiba HP-ku bergetar. Di layar Hp terpampang sebuah pesan dari sebuah nomor baru. “Selamat siang Nana Pater, profisiat untuk tahbisanmu. Jangan lupa datang ke pernikahan saya tanggal 10 Oktober nanti,” demikian isi pesan dari nomor baru itu. Aku tahu si pengirim pesan itu. Dia adalah si pemberi pena yang aku gunakan untuk menandatangani surat lamaran kaul kekal. Setelah membaca pesan itu, muncul sebuah pertanyaan dalam benakku, “bukankah tanggal 10 Oktober merupakan tanggal jadianku dengan dia delapan tahun lalu? Ah.. sudahlah…”
Aku ingin bertemu dengan calon suaminya. Aku ingin mengatakan bahwa dia adalah salah satu laki-laki beruntung di dunia ini karena mendapatkan istri yang cantik dan murni hatiya seperti Bunda Maria.