Permenungan Silvester Joni Soal "Mencetak Insan Berkompeten", Apa Maknanya, Simak Ulasannya |
Oleh: Sil Joni
Silvester Joni melakukan Permenungan Soal "Mencetak Insan Berkompeten". Pusat refleksinya seputar SMK Stella Maris. Untuk mengetahui lebih dalam makna permenungannya, silahkan baca artikel di bawah ini hingga selesai.
Misi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) berbeda dengan Sekolah Menangah Atas (SMA). Intensi utama kehadiran SMK adalah membantu sebanyak mungkin individu (remaja) untuk ‘langsung bekerja’ di dunia usaha dan industri (Dudi). Itu berarti SMK merupakan tempat yang tepat untuk mengasah potensi teknis-praktis siswa dalam bidang keahlian tertentu.
Baca: Mereguk Dari Sumber Sendiri: Pancasila sebagai Local Wisdom di Tengah Kemelut Modernitas
SMK tidak hanya mengarahkan peserta didik untuk cakap berteori, beretorika atau memproduksi konsep, tetapi yang paling penting adalah ‘memfasilitasi siswa’ untuk terampil menghasilkan sesuatu. Dalam Bahasa Kepala SMK Stella Maris, Rm. Kornelis Hardin, Pr, SMK mesti mampu menjawab pertanyaan “apa yang bisa dibuat oleh para siswa”. Kapasitas untuk ‘memproduksi sesuatu (sesuai bidang keahlian) menjadi indikator seorang peserta didik ‘lulus’ dari SMK atau tidak.
Dengan kemapuan ‘berproduksi’ semacam itu, maka tamatan SMK langsung ‘terserap’ di dunia kerja. Mereka tidak kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan dan atau ‘menciptakan’ lapangan pekerjaan untuk mereka sendiri. Oleh sebab itu, proses pembelajaran di SMK didesain dan dieksekusi dalam terang cita-cita ‘mencetak insan yang berkompeten’. Para siswa mesti menguasai bidangnya baik secara teoretis maupun secara praktis. Bahkan, kalau mau jujur, sebetulnya, sisi praktek (keterampilan teknis) inilah yang menjadi ‘unsur pembeda’ antara SMK dan SMA.
Sekadar untuk diketahui bahwa skema implementasi kurikulum SMK adalah 70% praktek dan hanya 30% teori. Dari skema ini, bisa disimpulkan bahwa proses pembelajaran di SMK lebih berbasis praktek ketimbang teori. Kecakapan akademik-intelektual peserta didik, tidak hanya diukur dari ‘penguasaan aspek teoretis’, tetapi yang paling dominan adalah ‘kecakapan teknis-praktis’. Peserta didik ‘harus’ cerdas dan terampil menghasilkan sesuatu berdasarkan bidang keahlian yang ditekuninya.
Baca: Melampaui Kenangan (Tanggapan Atas Opini Silvester Joni)
Tetapi, bagaimana kita bisa mengetahui atau menentukan secara pasti ‘level kecakapan teknis praktis’ itu? Apa ‘alat ukur yang valid dan kredibel’ untuk memastikan bahwa seorang siswa benar-benar berkompeten dan berhak ‘mendapat sertifikat kompetensi keahlian’? Apakah penentuan tingkat kompetensi siswa itu hanya berdasarkan ‘keterlibatan siswa’ dalam proses pembelajaran sehari-hari?
Tanpa mengabaikan sesi asesmen dalam setiap proses pembelajaran dan tidak mengurangi respek kita terhadap ‘niat mulia’ para guru dalam proses pembelajaran itu, saya berpikir ‘pelaksanaan Ujian Kompetensi Keahlian (UKK)’, menjadi opsi yang tidak bisa ditawar lagi. Setidaknya, dalam dan melalui UKK itu, para siswa bisa ‘mendemonstraskikan’ pelbagai kecakapan teknis-praktis di depan dewan penguji. Kita bisa mengetahui dan memastikan seberapa jauh ‘tingkat kompetensi’ yang diperlihatkan oleh seorang peserta didik.
Dengan peragaan yang terukur itu, lembaga mempunyai ‘cukup alasan’ untuk ‘meluluskan’ dan memberikan sertifikat kepada seorang siswa. Sertifikat itu menjadi semacam ‘garansi’ bagi pihak Dudi dalam merekruit tamatan SMK. Para ‘output’ SMK diharapkan ‘bisa mempertanggungjawabkan sertifikat’ itu melalui performa yang menguntungkan Dudi. Kita tidak ingin, isi sertifikat itu ‘tidak konek’ dengan penampilan sang ‘tamatan’ ketika bekerja di Dudi.
Hari ini, Senin (27/3/2022) UKK tingkat SMK Stella Maris mulai digelar. Mereka yang bertindak sebagai ‘Dewan Penguji’ tidak hanya berasal dari sekolah (guru-guru produktif), tetapi juga berasal dari Dudi. Para penguji eksternal itu, tentu saja mereka yang sudah ‘kenyang pengalaman’ di dunia usaha yang sesuai dengan program keahlian yang ada di SMK Stella Maris. Untuk diketahui bahwa sampai detik ini, lembaga ini memiliki 4 program keahlian, yaitu Nautika Kapal Penangkap Ikan (NKPI), Teknik Kendaraan Ringan Otomotif (TKRO), Usaha Perjalanan Wisata (UPW), dan Akomodasi Perhotelan (APH).
Baca: Mencintai Almamaterku: “SMPK Rosamistika Waerana“
UKK adalah 'jembatan terakhir' untuk mewujudkan misi SMK 'mencetak insan berkompeten' itu. Potensi kompetensi teknis-praktis peserta didik akan 'digenjot' secara optimal oleh para penguji. Mereka 'ditodong sedemikuan' untuk mengeluarkan kemampuan terbaiknya.
Hemat saya, UKK itu tidak sekadar 'ritual tahunan' sesuai dengan kalender akademik, tetapi mesti dimaknai sebagai 'momentum' untuk menstimulasi kapasitas siswa dalam urusan 'memproduksi sesuatu'. UKK itu mesti bermuara pada 'penguasaan keterampilan tertentu' dan secara meyakinkan bisa menghasilkan produk tertentu.
Ketika UKK berhasil 'memaksa' peserta didik untuk berkreasi dan berproduksi, maka saya kira pihak Dudi tanpa ragu, siap mengakomodasi mereka sebagai 'tenaga kerja'. Dengan itu, sertifikat kompetensi keahlian tidak dianggap 'sebuah stempel legalitas' yang tak sejalan dengan kenyataan.
Akhirnya, anggapan SMK sebagai lembaga 'pencetak penganggur terbanyak', perlahan-lahan ditepis. SMK sudah bertransformasi, dari pusat studi akademik ke 'pusat keunggulan' (center of Excellent). Spirit dunia usha dan ethos kewirausahaan coba diintegrasikan dalam sistem pembelajaran SMK. Dengan itu, siswa SMK sudah 'terbiasa' bekerja dalam lingkungan yang sejalan dengan iklim dunia usaha dan industri.
*Penulis adalah staf pengajar SMK Stella Maris Labuan Bajo.