Pesan di Atas Kertas Putih (Cerpen Yakobus Syukur SMM) |
Oleh: Yakobus Syukur, SMM (Mahasiswa Tingkat I di STFT Widya Sasana, Malang)
Rinsa, suatu daerah yang letaknya di penggunungan. Daerah ini diapiti oleh berbagai bukit yang indah nan permai. Orang-orang di sana pun begitu ramah dan bersahabat. Tak ada yang hidup dalam kesepian atau kesendiriannya. Mereka selalu bersama dalam asa, suka, duka, cita dan cinta. Kebersamaan mereka bagaikan ribuan bintang di langit yang berada dalam kegelapan malam, yang memberi cahaya bagi bumi. Bagi orang lain yang berkunjung ke daerah ini, mereka pasti menemukan suatu kebahagiaan yang tak dirasakan di daerah manapun, bahkan di daerah mereka sendiri.
###
Udara cerah menyelimuti diriku. Sinar mentari muncul di sela-sela rumah yang hanya didindingi bambu. Namun, sinar itu memberi kehangatan bagi tubuhku. Tubuhku yang beku dicairkan kembali. Aku pun menjalani hariku dengan sukacita dan bahagia, sebab udara menyegarkan diriku. Aku tidak lagi seperti es yang beku, melainkan air yang melepas dahaga.
Saat itu, aku memutuskan untuk berangkat dari daerah yang indah itu. Aku terpaksa melepaskannya, karena aku ingin melanjutkan pendidikan di sebuah kota yang jauh. Kini hatiku tergores kesedihan, ketika mengucapkan kata perpisahan dengannya. Namun, apalah dayaku. Aku hanyalah seekor binatang yang menunggu belaskasihan dari manusia.
Aku pun berpisah dengannya. Berpisah dengan mereka yang aku cintai. Aku pergi ke suatu daerah yang tak seindah dengan daerah kelahiranku. Di sini, aku memperoleh pendidikan yang memadai, yang membantu pertumbuhan diriku. Tetapi, aku tidak memandang keindahan yang dulu aku nikmati. Aku seperti seekor kura-kura yang lamban, yang tidak memiliki semangat hidup. Namun, aku mencoba untuk bersahabat dengan matahari dan bulan agar aku memiliki semangat lagi.
Bertahun-tahun, aku tidak menikmati pemandangan alam yang indah. Sebab, aku jarang pulang ke kampung halamanku. Dan kini, aku telah menyelesaikan pendidikanku. Aku kembali merasa sukacita, sebab aku akan kembali ke kampung dengan membawa benih yang berarti bagi orang yang aku cintai. Aku kembali bagaikan benih yang akan bertumbuh dalam tanah yang subur. Wow, perjuangan tidak sia-sia. Keberanian untuk pergi ke negeri yang jauh menjadi mutiara yang berharga dalam diriku dan tidak dapat dibeli dengan uang atau yang lainnya. Kini, aku akan kembali membawa mutiara itu dan kembali menikmati indahnya alam negeri kelahiranku.
Baca: Soal MPP yang Dipimpin Wapres RI, Ma’ruf Amin di Labuan Bajo, Begini Kata Bupati Hery Nabit
###
Sebelum aku mengikuti ujian, aku menerima pesan dari ayah. “Nak, jika engkau telah mengikuti ujian, engkau segera kembali. Sebab aku ingin memberi sesuatu untukmu.” Baik ayah, jawabku dengan semangat.
“Aku akan membahagiakan orang yang aku cintai”, kataku dalam hati. Aku kembali ke negeri dengan membawa benih yang berharga, sehingga mereka tidak kecewa dengan perjuanganku. Kini, hari terakhir ujian. Aku telah menyelesaikan ujianku. Hari itu, aku merasa senang, sebab aku dipilih menjadi salah seorang peserta menerima beasiswa. Usai itu, aku mengabarkan kepada ayah. “Ayah aku belum bisa pulang karena aku menerima beasiswa”, kataku dengan sukacita. Baiklah nak, jawab ayah dengan lesu. “Jika engkau telah menerima beasiswa itu, engkau segera pulang,” kata ayah. “Baik ayah, aku akan segera pulang jika aku telah menerima beasiswa itu,” jawabku dengan pelan.
Keesokkan harinya, penerimaan beasiswa itu ditunda. Karena ada kendala dengan nomor rekening. Ayah pun menelpon, “Nak, engkau di mana sekarang. Aku sedang menunggu engkau di sini”. Aku tersontak dan kaget. “Ayah, aku belum bisa pulang, karena penerimaan beasiswanya ditunda,” kataku dengan sedih. “Anakku, engkau mesti pulang sekarang,” kata ayah dengan lembut. Ayah, aku tidak memiliki uang untuk membayar kendaraan dan tidak ada kendaraan yang menghantar aku. Hari itupun, aku tak bisa pulang.
Waktu demi waktu ayah memberi pesan bagiku, namun aku tetap mengabaikan pesannya. Ayah pun tak memberi kabar lagi kepadaku. Aku berusaha menelponnya, tetapi aku tidak mendapat jawaban. “Lebih baik aku pulang sekarang,” keluhku dalam hati. Tetapi aku tidak memiliki uang. Aku berada dalam keadaan yang sulit dan tidak tahu mesti berbuat apa. Ketika itu, aku menerima telpon dari ayah. “Nak, kamu di mana? Segeralah pulang, aku ingin memberikan sesuatu untukmu. Jika kamu tidak memiliki uang, biar ayah yang membayarnya. Yang penting, engkau segera berada di sampingku saat ini,” ayah mendesak. Kelihatannya aku begitu sukacita. Aku seperti berada di tepi pantai, menikmati pemandangan alam yang indah.
Aku tidak diizinkan untuk pulang oleh kakakku. Aku menelpon ayah untuk mengabarkan itu kepadanya. Namun, aku tidak mendapat jawaban darinya. Ternyata, sejak saat itu, ayah jatuh sakit. Aku kembali berada dalam kegelapan diriku. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku tetap berada di negeri yang jauh itu.
Hari itu, hari minggu. Aku menikmati hari itu dengan perasaan senang. Aku seperti berada di tengah ribuan mariposa kehidupan. Ketika, aku menikmati hari itu, aku terkejut melihat pesan yang ada di hpku. “Nak, ayah sakit,” pesan ibuku. Aku panik dan ingin segera pulang. Aku mengizinkan kepada kakakku, namun aku tidak diizinkan untuk pulang. Aku memberitahukan alasannya, tetapi aku mendapat jawaban yang sama. Aku menangis. Kini hatiku tergores kesedihan, bagaikan berada di tengah kawanan singa. Aku menelpon dengan ibu, aku mendapat pesan yang sama yaitu, “Nak, sekarang engkau harus pulang. Ayahmu selalu menyebut namamu. Ibu juga binggung kenapa ayah seperti ini.” Ketika aku berada dalam kesedihan itu, saudaraku datang dengan menangis tersedu-sedu. “Siaplah pakaianmu, sekarang. Kita harus pulang sekarang,” desak saudaraku. Aku mendapat berita bahwa ayah sedang berada dalam situasi kritis. Sakitnya semakin parah.
Aku dan saudaraku berangkat ke kampung pada malam hari. Aku berperang dengan rasa dingin, lapar dan perasaan takut. Kami tiba di sana tepat pukul 23.00. Perasaan takut dan rasa lapar berubah menjadi perasaan sedih. Aku langsung memeluk ayah dan menangis serta meminta maaf padanya. Aku melihat bahwa ayahku tidak bisa berbicara, tak bisa melihat hanya bisa mendengar. Ayah menetes air mata sebagai tanda penerimaannya bagiku. Aku turut menangis, dan tak bisa berkata-kata. “Tuhan bantulah ayahku, berilah kekuatan dan kesembuhan padanya,” kataku dalam hati. Ayah adalah mutiara hidupku, sebab dia selalu berada di sampingku.
Kemudian aku makan, sebab rasa lapar melemahkan diriku. Namun, aku tak bergairah untuk makan. Aku hanya duduk di samping ayah sembari berdoa kepada Tuhan.
Baca: Sekolah Online, Nasib Anak Kelas Satu SD
###
Ketika aku dan keluargaku sedang asyik bercerita, kami dikagetkan oleh suatu peristiwa yang menusuk hati. Aku pun tak sanggup dan belum siap untuk menerima kejadian ini. Ayah telah meninggal. Aku seperti berada dalam ruang yang gelap dan tak ada orang yang datang menolong diriku. Ayah tidak memberi suatu pesan bagiku dan keluargaku. Ia pergi dengan keadaan yang sangat menderita, dalam keadaan bisu, dan tidak bisa melihat. Aku tak sanggup mengatakan ini kepada duniaku. Aku pun berada dalam suatu perasaan sepi dan galau. Ibaratnya berada dalam jurang yang sangat dalam.
Semenjak ayah pergi, aku tidak memiliki semangat untuk menjalani hidup. Aku lebih suka berada sendirian. Kepergiannya mengantar aku ke dalam lembaran hidup baru, yaitu lembaran hidup yang menyakitkan. Kini, aku tidak lagi merasakan keindahan alam yang dulu aku rasakan. Aku merasa bahwa keindahan itu telah lenyap, kebersamaan, suka, duka, cita dan cinta tidak lagi aku rasakan. Aku hanya berada dalam dunia diriku. Dunia yang tak dimiliki oleh orang lain. Untuk menghilangkan perasaan ini, aku bercerita dengan sahabat kecilku, yaitu buku harian.
Sampai jumpa ayah, kekasih dalam kehidupanku. Engkau pergi. Tiada lagi kata kembali. Selamat jalan, akan ada banyak sudut kenangan dalam hatiku yang tertanam dalam hati dan tidak akan hilang.
Itulah sebagaian catatan dan ceritaku untuk sahabatku itu. Dan di atasnya terdapat tetasan air mata kerinduan. Catatan inipun selalu terngiang dalam hidupku. Bergaung keras dalam memori dan memecahkan kerinduan yang masih menghantui hidupku. Catatan ini tersimpan baik dalam kenangan. Kenangan manis bersama ayah dan tertanam dalam memori. Itulah yang membuat aku merasa sedih dan rindu.
Kapankah ayah datang menghampiriku?Di sini, aku terperosok dalam kesendirian yang membuat aku sepi dan rindu. Kesepian yang hanya diobati oleh kehadiranmu sendiri. Kepergian ayah membuat aku diam dalam kenangan. Aku tak mau mencari sesosok pria lain selain ayah. Hanya ayah yang aku butuhkan. Kehadiranmu membuat aku kuat kembali dan tak ada lagi rasa rindu. Kesepian ini membuat aku jatuh. Aku tidak lagi merasa keindahan alam di daerah ini, aku tidak berjumpa dengan orang yang seperti dirimu. Semuanya itu telah hilang. Aku tak sanggup lagi menjalani hidup ini. Aku ingin pergi bersamamu. Ayah, datanglah menjemput diriku. Aku ingin memelukmu dan berada di dekat engkau. Jujur aku belum pernah berterus terang untuk mengatakan “Ayah, aku sayang padamu. Dari hatiku yang paling dalam aku sangat sayang padamu”. Aku minta maaf atas kesombonganku itu.
Kenangan bersamanya masih terngiang dalam perjalanan hidupku. Kenangan itu disimpan dalam memori dan hati yang dalam. Ketika aku sedang mencari kenangan itu dalam ingatanku, aku teringat dengan pesan yang pernah disampaikan oleh ayah. Aku pun berusaha mencarinya dan aku menemukannya.
Anakku, kapankah engkau kembali? Di sini, aku duduk sendiri dalam kerinduan. Aku menanti kedatanganmu. Baiklah, di atas kertas putih ini aku menyampaikan suatu pesan untukmu. Aku menulis ini dengan meneteskan air mata kerinduan. Nak, ayah memang tidak pandai menunjukkan cinta dengan kata-kata, tetapi ayah akan melakukan apapun untuk membuktikannya. Suatu hari nanti, ketika engkau tumbuh dewasa, kuharap engkau tetap masuk rumah sederhana ini tanpa mengetuk. Kuharap engkau ke dapur mencari camilan. Kuharap engkau berbaring di kasur kesukaanmu. Kuharap engkau masuk ke runah dan bisa melepaskan beban hidupmu yang berat. Karena ini rumahmu. Untukmu anakku yang tercinta, pintuku selalu terbuka untukmu. Anakku, aku memang benci kekalahan yang aku alami saat ini. Aku memang selalu dihina orang karena aku hanyalah seorang pria yang jorok dan malang. Akan tetapi, aku sungguh yakin, kelak kamu akan mengalahkan diriku dalam hal kesuksesan. Dan orang banyak akan tahu bahwa perjuangan seorang ayah yang malang terhadap anaknya akan mendatangkan kebahagiaan. Kini, aku akan pergi meninggalkanmu. Jagalah dirimu dan ibumu. Aku cinta padamu, wahai malaikat kecilku. Dari ayahmu yang malang.
Itulah sepenggal pesan di atas kertas putih yang disampaikan ayah untuk diriku. Ketika aku membaca surat in, aku menangis dalam kesedihan. Aku hanya mengatakan, “Ayah aku sayang padamu!” Kini, aku kuat kembali, sebab ayah selalu berada bersamaku dalam derap langkah hidupku. Aku kembali menikmati indahnya alam di daerahku.