Revitalisasi Nilai Pendidikan Karakter Era Milenial di Indonesia (Sebuah Tinjauan Historis) |
Oleh: Guidella Arisona
Pendidikan karakter merupakan bentuk kegiatan manusia berupa tindakan mengajar dan mendidik seorang atau sekelompok orang, demi menciptakan karakter yang berkualitas baik dan berfaedah, serta diperuntukkan bagi generasi selanjutnya. Pendidikan karakter pada umumnya diartikan sebagai sebuah bantuan sosial agar individu itu bisa bertumbuh dalam menghayati kebebasannya dalam hidup bersama dengan orang lain dalam dunia. Tujuannya membentuk setiap pribadi menjadi insan berkeutamaan. Karena itu bergema kembali persoalan dasar yang telah lama menjadi pertanyaan Plato,”apakah keutamaan itu dapat diajarkan?”. Plato, bahkan Aristoteles pun menyuarakan keutamaan sebagai hakekat seorang manusia yang berkarakter etis.
Baca: Hampa Tanpa Aksara, Peraduan Kumal (Karya Guidella)
Bagi Plato dan Aristoteles, manusia harus melakukan hal yang baik. "Baik" dalam hal ini memiliki ciri ontologis. Karena baik itu sesungguhnya ada dalam dirinya sendiri. Oleh karena itu mereka menekankan prinsip keutamaan, demi mencapai kodrat diri seorang manusia. Lalu, muncul pertanyaan refleksi baru yakni, apakah karakter buruk adalah bukan kodrat manusia?
Secara esensial, tindakan baik-buruk manusia adalah kodrat manusia itu sendiri. Hanya persoalan yang dibahas disini ialah, bagaimana cara manusia untuk beretika dan berkarakter etis. Problematika tersebut cukup tampak jelas di era milenial sekarang. Karakter anak bangsa saat ini sangat paradoks dengan penanaman nilai-nilai secara historis.
Dalam konteks historis Istilah karakter pada dasarnya dipakai secara khusus dalam konteks pendidikan baru muncul pada abab ke-18. Istilah ini mengacu pada sebuah pendekatan idealis-spritualis dalam pendidikan yang juga dikenal dengan teori normatif. yang menjadi prioritas adalah nilai-nilai trasenden yang dipercaya sebagi motor penggerak sejarah, baik bagi individu maupun bagi sebuah perubahan sosial. Pendekatan yang menekankan nilai-nilai transendental ini bersifat konstruktif dalam membangun karakter seseorang dan masyarakat. Akan tetapi, penerapan nilai-nilai tersebut hanya bisa terwujud sesuai dengan kata hati nurani manusia. Artinya, kita boleh memiliki banyak konsep dan teori tentang pendidikan karakter, namun semuanya itu dapat terwujud sesuai dengan cara manusia menanamkan, melahirkan, dan merevitalisasi nilai, konsep, dan konsep pendidikan karakter tersebut.
Baca: Menunggumu Sampai Pulang (Cerpen Pius Kanelmut)
Salah satu revitalisasi atau melahirkan kembali nilai-nilai kebaikan atau berkenaan dengan humanisme dan karakter manusia adalah peristiwa Renaisans. Renaisans mengusung kembali nilai-nilai humanisme dan mengembalikan identitas manusia pada keseimbangannya yang sempat hilang diterjang oleh badai positifisme.
Gerakan positifisme melalui pengalaman eksperimentalnya telah mencabut manusia dari roh yang menghidupinya. Roh yang tercabut dari manusia modern ini, menimbulkan banyak ambiguitas dan optisme palsu yang ditawarkan modernitas melalui daya nalar dan prilaku manusia semata. kegagalan-kegagalan modernitas dan dampak absurd rasionalitas manusia yang meredusir manusia sekadar pada kemampuan “cogito” ala Descartes membuat para pendidik ingin kembali meletakkan trasendentalitas manusia dalam kerangka pendidikan. Peristiwa ini menjadi salah satu fundasi dan teladan bagi bangsa Indonesia dalam merevitalisasi nilai-nilai pendidikan yang pernah ditanam oleh pejuang pendidikan di Indonesia. Hal ini menjadi sebuah kewajiban mengingat pendidikan karakter mengalami demoralisasi.
Baca: Tiga Jalan Menunda Pemilu, Simak Penjelasan Lengkapnya
Jika kita menilik kembali pengalaman sejarah bangsa Indonesia, pendidikan karakter sebenarnya bukan hal baru dalam tradisi pendidikan bangsa Indonesia. Bahkan sebelum kemerdekaan pun pendidikan karakter juga pernah dibicarakan, terutama melalui budaya-budaya yang ada.
Beberapa pendidik Indonesia yang kita kenal, seperti R.A Kartini, Ki Hajar Dewantara, Soekarno, Hatta, Tan Malaka, dan beberapa tokoh lainnya, telah mencoba menerapkan semangat pendidikan karakter sebagai pembentuk kepribadian dan identitas bangsa sesuai dengan konteks dan situasi yang mereka alami. Dengan caranya masing-masing, mereka mencoba menggagas dan membayangkan sebuah bangsa yang memiliki identitas. Hal ini dilakukan dengan penanaman nilai-nilai moral dan pendidikan karakter di Indonesia. Perjuangan ini dilakukan karena membentuk wajah bangsa merupakan keprihatinan pokok mereka saat itu.
Kita lihat bagaimana munculnya kebangkitan Nasional, sebenarnya bukan atas dasar praksis perjuangan melawan penjajah yang tersebar secara poradis di seluruh tanah air saat itu. Itu semua berawal dari pendidikan terutama pendidikan karakter. Kemerdekaan kita berawal dari ide dan gagasan. Ide dan gagasan ini dimulai dari hasil “perantuan mental” para pemikir dan cendikiawan kita. Dari pemikiran dan gagasan ini, muncullah keindonesian yang mesti kita perjuangakan dengan kerja keras, melalui perjuangan sengit. Dari sinilah jelas terlihat bagaimana praksis membentuk wajah bangsa terjadi ketika ada pemikiran bersama tentang sebuah bangsa yang mandiri.
Setelah memahami konteks historis, kita melihat pendidikan karakter era milenial di Indonesia. Masalah pendidikan karakter merupakan problematika yang sering mengemuka dan menjadi sorotan masyarakat sosial dan media. Problem ini semakin sengit sehingga membuat presiden Jokowi menyuarakan Revolusi Mental dan Pendidikan Karakter. Hal ini dilatarbelakangi karena perilaku pelajar sekarang yang amat paradoks dengan nilai-nilai moral pendidikan yang pernah diperjuangkan oleh tokoh-tokoh pendidikan di Indonesia.
Di era milenial, masalah seperti tawuran antar pelajar, perkelahian sesama pelajar dan dengan guru, bolos, nyontek, pencurian, dan lain sebagainya bukan menjadi sesuatu yang asing bagi media dan telinga masyarakat sosial. Apalagi saat ini, banyak pelajar membentuk sebuah kelompok dan sekutu yang mana, tujuannya menyimpang dari nilai-nilai moral. Yang jelas ini sangat bertentangan dengan konsep keutamaan Plato tentang kebaikan dan menyimpang dari nilai-nilai pendidikan karakter secara historis baik nasional maupun internasional seperti peristiwa Renaisans. Ini semua terjadi karena ketidakstabilan penerapan dan revitalisasi nilai-nilai pendidikan karakter yang pernah ditanam sebelumnya.
Baca: Di Bawah Kepak Sayap-Mu, Harmoni Karmel, Nada Sabda Bahagia, Yesus Sahabat Seperjalanan
Krisis pendidikan karakter dan etika ini mengharuskan para pelajar dan pejuang pendidikan untuk melawan keterlupaan. Artinya, pendidikan era milenial sekarang harus berlandaskan nilai-nilai pendidikan karakter secara historis. Perjuangan tokoh-tokoh pendidikan mesti selalu dibawa dan diterapkan secara intensif mungkin demi menangkal lahirnya dekadensi moral dan demoralisasi yang kian membengkak di zaman sekarang. Sehingga, dalam hal ini, pendidikan karakter dalam konteks historis mempunyai peranan penting dalam membentuk kepribadian yang berkarakter etis bagi pelajar dan masyarakat di zaman sekarang.
Selain itu, bagi para tenaga pendidik, proses pendidikan mesti dilakukan secara praktis dan efisien, agar suasana canggung dalam “pendidikan” sebagai wadah pengekspresian diri peserta didik tak begitu menonjol. Kita dituntut untuk betul-betul mampu menguasai setiap kemampuan yang dimiliki peserta didik. Jika belum bisa demikian, paling tidak kita mengenali apa yang mereka inginkan sebagai keutamaan yang menjadi agen perubahan dalam dirinya.
Pendidikan harus melibatkan banyak pihak baik orangtua, guru, maupun peserta didik itu sendiri. mengingat banyak sekali kejahatan moral, yang menyimpang dari kaidah utama dari pendidikan karakter itu sendiri. Selain itu penanaman nilai-nilai moral serta teladan perjuangan dalam peristiwa Renaisans perlu disampaikan sebaik mungkin agar terciptanya revitalisasi nilai-nilai pendidikan karakter yang substansial. Hal itu juga ditekankan dalam Perpres. Penanaman integritas moral pun perlu dilakukan sebagai penguatan pendidikan karakter sebagaimana diatur dalam Perpers No 15 Tahun 2017 sebagai nilai-nilai dasar yang membuat individu selalu dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan memiliki komitmen.
Proses pendidikan karakter bukanlah suatu hal yang instan. Namun perlu proses panjang dan kontinuitas supaya menjadi sebuah kebiasaan. Bukan pula sekedar peraturan, lebih dari itu perlu penghayatan makna dan nilai yang terkandung di dalamnya hingga harus kembali ke zaman sejarah. Sejak sebelum kemerdekaan. Karakter setiap bangsa tidak akan muncul jika prasyarat yang menjadi pokoknya, yaitu kemerdekaan, tidak ada. tidak ada sebuah bangsa yang bertanggung jawab jika tidak memiliki kemerdekaan. Tidak ada kemerdekaan jika dalam mentalitas bangsa jika tidak ada semangat merdeka atau kemauan merdeka. Kemauan merdeka ini pun tidak akan muncul kalau tidak adanya rasa kepercayaan dalam diri sendiri. Jelas, dalam hal ini karakter menjadi tumpuan dan fundasi demi mencapai kemerdekaan baik bangsa maupun personal. Oleh Karena itu, pendidikan masa kini perlu dikemas dengan kreatif dan inovatif dengan menghadirkan kembali nilai-nilai pendidikan karakter zaman dulu demi tercapainya pendidikan karakter yang menjadi cita-cita bersama.