Sakramen Rindu (Puisi Fransiska Aurelia) |
Puisi Sakramen Rindu merupakan dedikasi bagi perempuan-perempuan terkucil. Buah permenungannya sangat kontekstual, dan itu bisa membantu untuk pencerahan. Baca puisi ini hingga selesai agar kamu menemukan maknanya.
Oleh: Fransiska Aurelia Susana
Sakramen Rindu
Kemarin , kita telanjang berselimut sepotong kafan
setelah engkau menjamah tubuhku erat
Menahan perih sebak di rongga dada
Engkau nodai sakramen rinduku yang kukuh
Engkau sulam lemahku dengan pucuk-pucuk asmara
Sedang aku terbengkalai tanpa busana
Yang kau tatap penuh pesona
Kau tanggalkan tubuhku benar-benar kosong tanpa tertutup
Baca: Kultur Literasi dalam Terang Visi Politik Pemda Mabar
Inikah temu yang kita rindukan dahulu?
Menindih tubuh legit tergigit
Masih menggeliat seperti cacing kepanasan
Menahan nafas tersengal penggal
Kelamin-kelamin kita berduka
Ampas-ampas rasa tidak mampu kita daur ulang seperti sampah!
Inikah hina yang seranjang semalam?
Engkau remas lemas payudaraku!
Engkau jamah bibir merah jambuku
Sampai puncak klimaks rindu kita menjadi tabu
Baca: Literasi dan Pariwisata (Catatan ‘Orasi Literasi’ dari Bunda Baca NTT)
Engkau memeluk tubuhku dengan aroma kamboja kuburan
Bahkan tak kau sadari perihku seperti lelehan lilin di atas batu nisan moyangku
lalu engkau beri tujuh kembang menutup busuk kita?!
Setelah kita pincang malam itu.
Kau masih menghujam kata cinta yang bahkan tak pantas engkau ucapkan lagi!
Setelah kita bersanding setubuh
Erat tanpa lepas sebaju ikat!
Selepas halu engkau tinggalkan aku merana menghamili buah dari dosa kita bersama..
Adilkah itu?
Sementara tanah tempatku berpijak mengasingkan aku seorang diri
Tatapan sebelah mata mengecam aku tak pandai menjaga rohani
Bagaimana dengan engkau?
Yang santai mengisap sebatang rokok di tempat liarmu!
Aku tak cukup kuat!
Hidup dari setengah kematian memikul cinta dari birahi kita!
Sakramen rindu kita tidak lagi suci!
Seketika dunia menghujatku seorang diri dan sepihak dosa!
Tanpa peduli engkau adalah biang keladi dari titisan dosa kita!
Aku takut.
Aku gelisah.
Harus kuapakan tubuh nanah ini
Setelah engkau renggut di nestapa ranjang kotormu..
Suaraku tak lantang
Namun aku perempuan
Mulutku bisa menjadi api
Tanganku bisa menjadi baja
Jangan menghina insan diriku
Sebab engkau tak pernah benar-benar paham dukaku!
Manggarai, 10 Maret 2022
Penulis telah menerbitkan dua buah buku kumpulan puisi.
Mau Muat tulisan di BernasINDO.id?
Silahkan kirim ke redaksibernasindo.id@gmail.com