Sebuah Pengharapan (Cerpen Mario Alexander Betu) |
Oleh: Mario Alexander Betu, SMM
Ibu, kurasakan betapa aku sungguh berada dalam waktu. Waktu berlalu begitu cepat, angin malam terus berlanjut dan daun yang berguguran seakan-akan memutarkan saya pada waktu kala itu. Saat-saat kebahagiaan, saat aku jauh dari situasi saat ini, ya bukankah begitu waktu ku? Aku pun sadar bahwa waktu mengajarkan kepadaku akan arti sebuah kenyataan. Oh... sungguh tak terbayangkan bukan, berlalu dan terus berlalu, mungkinkah waktu cepat berlalu dan aku sudah tiada lagi? Aku terseduh dalam pelukan malam yang amat dingin ini. Namun perlahan-lahan kuingat pada ibu.
Saat ayah meninggal, setetes air mata tak kulihat di wajahmu. Bahkan senyum wajahmu menusuk hatiku untuk kembali pada waktu, bukan waktu di masa lalu namun waktu yang tak kupahami dalam langkah hidupku. Padahal aku masih melihat beban dalam dirimu, engkau kuat dan menguatkanku. Aku tak pernah membayangkan ini semua, namun berlalu dan kau lalui semua ini. Sendiri, tanpa ayah.
Aku pun termenung. Tak ada yang ingin aku kerjakan. Bahkan aku ingin hanya aku bersama bulan yang beredar di malam yang mencekam ini. Kembali pada waku yang mengingatku pada situasi ibu kala itu dan saat ini. Pengharapanku seakan hilang lenyap pada dia di masa yang akan datang. Aku membisu dalam keheningan, berharap waktu cepat berlalu. Namun ini kenyataannya. Aku seorang anak yang cukup pintar, namaku Andi dan tentunya aku sering mendapat juara kelas di SMA ku.
Ah!.. tapi itu soal masalahku dan sekarang aku bukanlah orang yang berakal pintar tapi aku justru bermental baja, mengapa? Ya, sejak munculnya virus corona semuanya terasa cepat berlalu.
“Andi, kamu belum tidur, sayang?” tanya ibuku,
“Tentu” jawabku singkat sambil memandang ibuku. Aku kaget dan tak kubayangkan kenapa kata-kata ini keluar begitu saja. Mungkinkah aku bermental baja?
“Maaf, bu” kataku.
“Iya, iya, ibu tahu kamu pasti lagi memikirkan sekolahmu.”
Aku pun hanya mengangguk. Sejak situasi dunia yang mencekam, aku semakin berimajinasi tentang dunia. Sampai kapankah situasi dunia ini berakhir? Terlalu kejam aku berpikir demikian. Tapi aku sadar bahwa ibuku sudah dua tahun termenung dan aku tahu ia berusaha memikirkan masa depanku.
Suasana pagi ini tampaknya mulai sepi, ya sejak munculnya virus corona di Indonesia, banyak kegiatan di rumah saja, semuanya diliburkan. Udarapun berembus menghangatkan kulitku. Aku pun mulai berimajinasi. Mungkinkah ini waktu bagi alam memulihkan dunia? sebab dalam berita dikatakan bahwa kualitas udara semakin membaik. Ah! Kalau begitu kapankah kualitas diriku semakin membaik. Padahal aku ingin masa depanku berjalan dalam irama kecerdasanku. Aku terlalu berada dalam bayangan diriku. Kemudian aku pun berkata dalam hatiku kalau begitu kapankah kualitas diriku semakin membaik, padahal aku ingin masa depanku berjalan dalam irama kecerdasanku. Namun bukan hanya itu aku justru ingin secepatnya membahagiakan ibuku.
“Andi.. ” suara teriakan ibuku kembali menggemakan telingaku.
“Kenapa bu,” jawabku.
“Ibu hanya memastikan kamu baik-baik saja atau tidak, ibu lihat kamu terus saja termenung.” kata ibuku.
Suasana kembali tenang aku pun beranjak pada duniaku, sampai kapankah semuanya akan berlalu. Waktu libur kian diperpanjang dan waktu begitu capat berlalu dan saat-saat inilah aku kembali membisu.
“Anakku, ayo bantu ibu,” seru ibuku. Aku pun bergegas dan menjalankan tugas keseharianku, karena aku tahu apa yang mesti aku lakukan setiap pagi di masa covid ini. Ibuku adalah sosok ibu yang begitu setia dalam mengajarkanku akan arti sebuah kehidupan. Ia berusaha membiayai sekolahku dengan membuat dan menjual keripik singkong. Ah...sekali lagi waktu saat ini berbeda dengan waktu di masa lalu. Semuanya terasa berat untuk dilukiskan, tapi aku berusaha menyadari dan mulai untuk menerima semua kisah ini.
“Kaks, aku beli lima bungkus, ”kata Tina, sembari memberikan uang Rp 25.000.
“Makasih, “ jawabku singkat, untung saja masih ada orang yang mau membeli daganganku, seruku dalam hati. Eh...mala Tina bertanya “Andi kenapa keripikmu masih banyak padahal sudah hampir malam?”.
Aku tertunduk dan mulai menyadari bahwa bukankah ini terjadi oleh karena adanya covid. Semua orang tak seenaknya lagi untuk berjualan keliling, di sisi lain orang pun enggan membeli sesuatu termasuk keripikku, mungkin mereka takut kalau-kalau terpapar virus.
Ketakutan orang zaman ini, itu sama halnya dengan ketakutanku. Aku takut bahwa tak ada perubahan dari hari ke hari dan aku pun masih dengan ketakutanku. Masakah aku terus terpuruk seperti ini? inikah kehidupanku tapi aku berusaha agar segalanya terasa punya makna. Kembali aku mengambil daganganku dan beranjak menuju rumahku.
“Bu, maafkan aku, hanya ini yang aku peroleh dari hasil jualan hari ini” kataku sambil menundukkan kepala. Ibuku langsung memelukku sambil berbisik di telingaku: “Kamu sudah memberikan yang terbaik untuk ibu, cukup dengan kehadiranmu.”
Ibu pun langsung pergi dan menuju kamar tidurnya dan aku masih memikirkan ucapan ibu tadi ”cukup dengan kehadiranmu”. Aku tahu bahwa sejak kegelapan malam, kala itu aku masih bermain dengan teman-temanku dan aku lupa bahwa ayahku di rumah telah pergi untuk dan demi kami semua.Tentunya ia pergi untuk tidak membebankan kami dan demi masa depanku. Aku tahu kenapa alasan ini mesti aku utarakan. Aku pun terus berusaha untuk dan demi ibuku.
Ah...waktuku, andai saja ia dapat berputar lagi, kan kupastikan aku mampu mempersiapkan segala yang aku harapkan di hari ini. Namun semuanya kembali kepada waktu, berharap bahwa yang kupastikan nyata dan terbaik bagi masa depanku. Hari pun terus berlalu dan malam seakan-akan mengajarkanku bahwa waktu berlalu begitu cepat, tapi situasi yang dulu saat waktu malam itu masih juga sama dengan situasi sekarang ini. Sampai kapankah semuanya akan berakhir? Jawabannya ada pada dia yang sedang mengendalikan negaraku, tapi aku sadar bahwa bukan hanya mereka saja melainkan aku juga berperan di dalamnya. Ah... andai saja waktu ini cepat berlalu pasti aku mampu untuk memulai yang baru, ya tentunya dengan kesungguhan. Aku sungguh berharap.
Ketika aku kembali pada waktu, aku baru sadar bahwa aku terlalu berimajinasi, dan malam ini aku memutuskan untuk bertemu orang yang masih ada dalam hatiku, ya.. itu adalah ibuku. “Bu, maafkan aku yang belum membelikan obat untuk ibu, padahal aku selalu mendengar ibu merintih kesakitan”, seruku sambil menatap matanya. Ibu pun memandangku dan perlahan-lahan berusaha untuk berdiri dan memelukku, air matanya mulai menetes seakan-akan memberi tanda bahwa aku mesti secepatnya membawa ia pada sang dokter penyembuh. Oh..bukan. Ini lagi-lagi imajinasiku, tapi aku takut pada khayalanku yang terlalu berlebihan. “Anakku, kamu pasti bisa, kamu punya harapan yang lebih baik lagi” seru ibuku.
Mau Memuat tulisan di BernasINDO.id?
Silahkan kirim ke email redaksi: redaksibernasindo.id@gmail.com