Silvester Joni: Perempuan Juga Bisa (Kisah Perempuan Ketua OSIS di Loyola Tempo Doeloe) |
Oleh: Sil Joni*
Mantan Seminari St. Yohanes Paulus II (Semyopal), Silvester Joni, S.Fil, memberikan komentar soal kemampuan kaum perempuan sebagai ketua OSIS di Loyola. Perempuan juga bisa. Simak ulasan berikut ini.
Dalam tulisan sebelumnya (Fajartimur.com, 15/3/2022), saya mengulas dengan amat ringkas soal kisah ‘kemesrahan’ antara Sekolah Menengah Atas Katolik (SMAK) St. Ignatius Loyola (untuk selajutnya Loyola saja) dan Seminari Menengah St. Yohanes Paulus II (Semyopal). Intinya, Loyola dan Semyopal tempo doeloe itu, berjalan di atas motto “dua tetapi satu, satu tetapi dua”. Para siswa yang belajar di Semyopal, dengan sendirinya merupakan ‘anggota komunitas Loyola’. Atas dasar itulah, Semyopal dikenal luas dengan sebutan ‘Seminari Gabungan’. Anak-anak seminari itu ‘sekolah bersama’ dengan para siswa/I di Loyola.
Baca: Pena Malam Terakhir (Cerpen Afri Ampur)
Oleh karena itu, rasanya tidak terlalu ‘mengherankan’ ketika ‘jumlah siswa (laki-laki)’ lebih banyak dari siswi (perempuan) dari tahun ke tahun. Sekadar contoh, siswa seminari angkatan kami (1996) berjumlah 170-an orang. Belum lagi ditambah dengan remaja laki-laki yang mendaftar sebagai ‘siswa Loyola saja’, maka jumlahnya menjadi 200-an. Sementara perempuan, tidak lebih dari 40 orang. Jadi, jumlah laki-laki dan perempuan kala itu sangat tidak sebanding.
Selain itu, jangan lupa bahwa sebelum resmi menjadi ‘seminaris’, seorang harus mengikuti ‘tes kecakapan akademik’ yang berisfat fair dan obyektif. Tentu ada banyak yang ‘mengikuti tes’ itu, tetapi siswa dengan kemampuan intelektual yang bagus, (setidaknya berdasarkan hasil tes itu) dinyatakan ‘lulus’ masuk seminari. Itu berarti, secara logis, mereka yang studi di seminari, umumnya memiliki kemampuan intelektual di atas rata-rata.
Dengan jumlah sebanyak itu dan penggunaan ‘metode tes masuk’ yang ketat, maka rasanya tidak terlalu mengejutkan jika ‘siswa seminari (baca: laki-laki) relatif ‘lebih superior’ ketimbang teman-teman putri baik dalam bidang akademik maupun dalam urusan kegiatan ekstra-kurikuler yang diinisisasi dan difasilitasi oleh Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS).
Baca: Analisis Perencanaan Audit Laporan Keuangan Pada Kap Thoufan dan Rasyid
Tetapi, rupanya kesimpulan semacam itu, ‘tidak berlaku’ pada angkatan kami. Itu hanya berlaku pada taraf ‘penalaran logis’, sementara dalam kenyataannya, teman-teman putri juga tidak kalah hebat. Masih kuat dalam layar memori saya, bagaimana seorang teman perempuan menorehkan prestasi akademik yang sangat mengagumkan kala itu. Beliau berhasil ‘mengungguli’ sederetan seminaris yang digadang-gadang bakal ‘mengusai podium kejuaraan di akhir semester.
Ermilinda Sripurnawati, seorang siswi Loyola periode 1996-1999 berhasil menyodok ke ‘posisi pertama’, mengalahkan anak seminari, termasuk penulis artikel ini. Tidak hanya itu, bermodalkan prestasi akdemik yang cemerlang itu, Ermi, demikian sapaan akrabnya kala itu, dengan sangat meyakinkan ‘terpilih sebagai Ketua OSIS Loyola’. Dalam kontestasi pemilihan Ketua OSIS, beliau berhasil ‘menyingkirkan’ sejumlah kandidat top dari seminari, termasuk penulis artikel kontroversial di Majalah Dinding (Mading) Loyola, Fransiskus Jehoda.
Perwakilan dari seminari, Kornelis Karmon harus mengakui keunggulan Ermi dan puas sebagai pemenang kedua (runner-up) atau wakil ketua. Gaya kepemimpinan Ermi tentu saja berbeda dengan para pendahulunya yang umumnya laki-laki itu. OSIS Loyola yang ‘dinahkodai’ oleh Ermi benar-benar ‘tampil beda’. Cita rasa ‘keperempuanan’ (feminisme) begitu terasa.
Saya kira, mungkin teman Ermi ini sebagai perempuan Ketua Osis Pertama dalam sejarah Loyola waktu itu. Tentu, dugaan ini sangat terbuka untuk ‘dikoreksi’ jika dari penelusuran sejarah lembaga, menunjukkan data yang sebaliknya. Lepas dari benar tidaknya anggapan itu, saya mau tegaskan bahwa di Loyola (tempo doeloe) perempuan juga bisa berjaya. Cerita Ermi bisa menjadi salah satu contoh untuk memperkuat kesimpulan itu.
Kendati hanya ‘sekawanan kecil’, para siswi (teman-teman putri di Loyola), telah memberikan ‘warna’ khas yang membuat kisah Loyola semakin bervariasi. Cerita tentang ‘keunggulan’ siswa seminari, tidak selamanya benar untuk tidak dibilang ‘mitos belaka’. Bahwa secara umum, mungkin prestasi anak-anak Semyopal lebih baik dari para srikandi Loyola, tetapi itu tidak bisa dijadikan tolok ukur untuk ‘megabaikan’ prestasi yang diraih oleh teman-teman putri itu.
Kembali ke teman Ermi di atas. Dengan kecakapan intelektual yang bagus itu, Ermi relatif tidak mengalami kesulitan dalam urusan studi baik pada jenjang SMA maupun pada tingkat Perguruan Tinggi (PT). Bahkan setelah lulus kuliah, tidak butuh waktu lama baginya untuk bekerja sebagai ‘Aparatur Sipil Negara (ASN)’ di Kabupaten Manggarai Barat (Mabar). Saat ini, beliau menjabat sebagai Kepala Bidang (Kabid) pada salah satu unit di Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Mabar.
*Penulis adalah alumnus Loyola tahun 1999.