Wajah Itu (Cerpen Alkuinus Ison Babo SMM) |
Oleh: Alkuinus Ison Babo, SMM
Wajah Itu - Langit tak menampakkan keindahan malam sebab sang rembulan ataupun ribuan bintang menyembunyikan diri di balik awan. Rasanya sang raja malam tak mengijinkan aku tuk menikmati keindahan malam ini.
Aku bergegas ke kamar dan duduk di kursi sembari memandang langit-langit kamar bercat biru. Aku belum bisa memejamkan mata sedangkan jam sudah menunjukkan pukul 23.54 WITA. Dalam lamunanku, aku berkisah pada senja yang datang dan pergi, tentang kesedihan yang kualami sebagai gembala terhadap umatku yang tertimpa ironi sebuah virus mematikan. Corona, demikian kaum medis menamai virus tersebut. Virus yang sangat berbahaya, melumpuhkan setiap manusia yang dijumpainya hanya dalam semenit. Virus ini menyerang manusia tanpa memandang anak-anak, pemuda bahkan orang-orang yang telah lanjut usia pun menjadi sasaran empuk virus yang mematikan ini.
Baca: Pengaruh Sosial Media Bagi Remaja
Salah seorang umatku, namanya kakek Cupi pergi menghadap Sang pemilik kehidupan begitu cepat. Sosok yang ramah dan murah hati itu sempat kujumpai kemarin sore ketika saya dan Boces mengantar komuni bagi salah satu pemuda di kampung Lui. Dengan energi yang masih ada, ia memikul seikat kayu yang beralaskan kain lusuh. Gambaran wajahnya selalu terngiang dalam benakku. Ia begitu polos dan sederhana namun mengandung pesan yang sarat makna. Ia meninggal setelah didiagnosa virus korona oleh pihak rumah sakit. Namun perjumpaan itu, seakan memberi tanda perpisahan bagiku dan dirinya. Sudah beberapa tahun ia tinggal sendirian sebab kedua anaknya pergi mengadu nasib di negeri Jiran.
Dengan kejadian itu, tak heran umatku cemas, takut, dan gelisah. Bayang-bayang virus Corona selalu memperparah ketakutan dan kegelisahan mereka. Mereka takut karena mereka juga bisa terinfeksi virus yang mematikan ini. Aku tidak bisa diam. Aku perlu melakukan sesuatu bagi umatku. Itulah komitmen yang sejenak tumbuh dalam benak kecilku yang serentak menyadarkanku bahwa hari telah malam. Gelap pun menyelimuti aku yang sedang mondar-mandir sambil merenung di depan pastoran.
Emmm..... Aku segera menghidupkan listrik, gumam lirih dalam hati kecilku sembari memasuki rumah pastoran dan menghidupkan stop-contact di setiap lorong rumah pastoran yang serentak menjadikan rumah pastoranku terang benderang menghalau pekatnya malam yang mengaburkan mata.
Baca: Sebuah Pengharapan (Cerpen Mario Alexander Betu)
***
“Romo, ada tamu nih!” Aku pun tersentak dalam keasyikanku menonton TV di ruang rekreasi pastoran. Kedengarannya suara itu berasal dari dapur. Hmm.... Itu karyawati di pastoran. Tanta Rin, begitu orang se-paroki memanggilnya. Aku pun segera beranjak dari tempatku menuju ruang tamu pastoran dengan penuh tanya dalam benakku tentang siapa yang datang menemuiku malam-malam begini.
”Ohhh.... ternyata kamu, Supi,” kataku sambil duduk. Dia adalah ketua dewan di paroki ini.
“Iya, Romo. Saya minta maaf karena harus datang malam-malam begini menemui Romo.” Gumamnya sambil mereguk kopi yang telah disuguhkan Tanta Rin di atas meja.
”Tidak apa-apa. Tetapi mengapa harus datang malam-malam? Adakah sesuatu yang penting?”
Mendengar apa yang kukatakan, ia langsung merebahkan dirinya ke sandaran sofa, tempat duduknya.
”Benar, Romo. Memang ada yang perlu saya sampaikan kepada Romo. Ini menyangkut kondisi umat di paroki kita akibat pandemi Covid-19. Sebagian dari mereka kehilangan pekerjaannya. Khususnya para pedagang. Hal ini saya ketahui beberapa hari lalu ketika saya mengikuti doa rosario bersama di salah satu rumah umat. Dalam kesempatan itu, mereka menyampaikan keluhan mereka akibat Covid-19 ini. Sebagian dari mereka mengalami kekurangan pendapatan akibat krisis pekerjaan selama masa pandemi. Hemat saya, tentunya ini menjadi keprihatinan tersendiri bagi kita”.
Mendengar segala yang disampaikan Supi, aku pun tertegun serentak merenung. Covid-19 telah membawa musibah bagi umatku. Ohh... Apa yang perlu saya lakukan untuk meringankan kesulitan yang sedang dihadapi oleh umatku ini selama pandemi Covid-19.
“Aku turut prihatin dengan kondisi umat kita sekarang ini. Sebagai gembala, aku tentu merasakannya. Namun berhadapan dengan situasi ini, apa yang perlu kita lakukan? Kita tidak perlu mengatasi masalah yang sedang terjadi. Kita hanya mampu meringankan kesulitan yang terjadi. Namun, Kita tidak memiliki pendapatan untuk itu. Haruskah kita mendonasikan kas paroki untuk meringankan masalah ini?”
Baca: "Jumpa Media Bernasindo" Dihadiri Puluhan Mahasiswa: Simak Hasil Diskusi di Sini
Diam. Hanya itulah jawaban sementara. Kami bisu terhadap masalah yang terjadi. Ya, masalah yang kami hadapi ini terlampau berat. “Romo, mungkin ada benarnya juga yang Romo katakan!” Suara Supi memecahkan keheningan di antara kami. “Ada baiknya kalau kita mendonasikan sedikit dari kas paroki untuk umat yang mengalami kekurangan tersebut”. Mendengar tanggapan Supi, hatiku dipenuhi sukacita. Ya. Aku memiliki harapan di balik masalah yang sedang kuhadapi. ”Aku setuju dengan pendapatmu, Sup. Kalau begitu, besok pagi kita persiapkan dana yang akan kita alokasikan kepada umat yang berdampak langsung akibat virus Corona ini”.
***
Bias mentari menembus menerpa mataku yang masih lelap tertidur. Aku dibuat kaget olehnya. Namun serentak membangunkanku dari tidur malam yang panjang. Ya, aku bangun dengan sukacita yang melimpah karena aku tidak kehilangan harapan untuk membantu umatku yang mengalami kekurangan akibat Covid-19 ini. Aku menikmati akan pemenuhan harapanku hari ini. Aku menikmati semuanya. Aku perlu memulainya dengan menikmati kopi khas buatan umatku sendiri yang kuterima kemarin. Kebetulan Pak Supi yang membawanya untukku.
Hari ini, umatku akan menikmati sentuhan kasih dari gembalanya, sahutku dalam hati. “Selamat pagi, Romo”. Suara itu familiar di telingaku. Dan sesuai dugaanku, suara itu adalah Pak Supi. Ia melangkah menuju ruang makan pastoran.
”Bagaimana persiapannya?”, tanyaku kepadanya.
“Semuanya sudah selesai diurus, Romo. Sekarang tinggal dibagikan kepada umat”, gumamnya sambil duduk.
Baca: Menggenjot Kreativitas Bermedia (Sosial) Para siswa SMK Stella Maris
Aku bahagia bahwa persiapanya telah usai.” Kalau begitu, apa lagi yang kita tunggu. Ayo, kita bagikan kepada umat”. Kami memberikan donasi tersebut kepada umat KUB di sekitar pastoran paroki. Jumlah umat yang menjadi target penerimaan bantuan ini ada 100 kepala keluarga, dengan dana mencapai Rp.65.000.000,- Bagiku, dana sebesar ini tidak ada artinya dibandingkan dengan biasan kebahagian di wajah umatku karena mereka merasa diperhatikan dalam situasi sulit akibat pandemi Corona. Meskipun social distancing dianjurkan oleh aparat pemerintah, toh aku tetap mengabaikannya. Mengabaikan bukan berarti tidak mengikuti protokol kesehatan. Aku mengikutinya. Namun satu hal yang membuatku bahagia yakni aku telah menemukan jawabannya di wajah sang kakek itu. Wajah yang mengundangku untuk cepat bergegas dan melakukan hal yang bermakna bagi umatku. Ia pergi tetapi bayang-bayang wajahnya terus merngikutiku tatkala aku bejumpa dengan umatku yang lain. aku pun menulis tentang wajah itu di jurnal harianku.
“Kepadamu aku berterima kasih, darimu aku mengerti bagaimana arti kasih, pengorbanan dan cinta. Kasih yang tanpa batas, pengorbanan yang total dan cinta yang universal. Ingin kupajangkan wajahmu di setiap langit kamarku, sebab mengingatmu aku selalu terkesima”.
Mau Memuat tulisan di BernasINDO.id? Silahkan kirim ke email redaksi:
redaksibernasindo.id@gmail.com