Mitos “Orang Sakti, Kaki, dan Mego” dalam Perspektif Feminitas-Kosmologis Suku Sara, Ngada
Bumi ini merupakan warisan Mego yang senantiasa menjaga dan memelihara alam.
Upaya menyelamatkan bumi kembali didengungkan setelah Pandemi Covid-19 merusak tatanan dunia. Berdasarkan hasil penelitian di laboratorium, pandemi ini rupanya dipicu oleh virus SARS-CoV-2 yang berasal dari kelelawar hutan. Fakta ini membuktikan bahwa kerakusan manusia modern untuk mengeksploitasi alam dengan semena-mena bisa menjadi pedang makan tuan. Praktik kapitalisme yang merambah hutan dan satwa liar secara masif dapat memberi kemungkinan akan penularan virus yang baru.
Baca: Kepala Desa Ruwuk, Bene Bir Beri Apresiasi Terkait Pelaksanaan Vaksinasi Covid-19 Tahap II
Sekretaris
Jendral Perserikatan Bangsa-Bangsa, Antonio Guterres, mengingatkan semua negara
untuk mengatur ulang ekonominya dengan mempertimbangkan aksi-aksi proiklim.
Tidak ada yang lebih penting dilakukan sekarang ini selain menangani krisis
iklim seiring dengan mengatasi Pandemi Covid-19. Indonesia dengan hutan hujan
tropis terbesar ketiga dunia bisa menjadi aktor utama mewujudkan visi pro-iklim
ini. Dengan meratifikasi perjanjian Paris pada 2016 silam, Indonesia telah
berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen secara
swadaya hingga 41 persen dengan bantuan internasional pada 2030 (Tempo, 2020).
Kesadaran akan
urgensinya pemeliharaan lingkungan hidup sebenarnya sudah menjadi bagian dari
kehidupan masyarakat Indonesia. Jauh sebelum konferensi tingkat internasional
berseru tentang aksi pro-iklim, masyarakat Indonesia sudah memiliki konsep-konsep kosmologis Salah satunya ialah mitologi “Orang Sakti, Kaki, dan
Mego” dari Suku Sara, Ngada, Flores yang mengingatkan mereka akan tanah sebagai
ibu yang memberi kehidupan (Dua, 2015).
Baca: Internalisasi Keutamaan dalam Aktus Dodo Masyarakat Manggarai
Dikisahkan
bahwa Orang Sakti mempunyai dua orang anak yang bernama Kaki (laki-laki berumur
25 tahun) dan Mego (perempuan berumur 23 tahun). Pada suatu hari, sang ayah
hendak meninggalkan bumi dan memercayakan segalanya kepada salah satu dari
kedua orang anaknya. Syaratnya mereka harus menunjukkan kepada sang ayah cara
memelihara bumi dengan menanam padi selama tujuh hari. Sebagai laki-laki, Kaki
menerima persyaratan sang ayah dengan bangga karena merasa diri mampu mengolah
tanah. Ia menebang pohon dan membajak tanah untuk dijadikan lahan pertanian.
Sebaliknya, Mego merasa tidak sanggup menerima persyaratan tersebut karena
waktunya terlalu singkat. Akhirnya, ia memutuskan untuk menanam padi di antara
pohon-pohon tanpa harus merusak hutan. Ia percaya tanah sebagai pemberi
kehidupan akan menumbuhkan padinya.
Pada hari yang ditentukan, mereka hendak melaporkan hasil kerja mereka kepada sang ayah. Ternyata, sang ayah sudah meninggalkan bumi. Mego merasa aman karena masih memiliki tanah, padi, dan hutan sebagai sumber kehidupannya. Sebaliknya, Kaki hanya bisa bergantung pada Mego sebab tidak ada lagi yang tumbuh di atas tanahnya karena sepeninggal sang ayah, tidak ada lagi penciptaan baru (Dua, 2015). Demikianlah, tanah milik Mego menjadi sumber kehidupan di bumi.
Mikhael Dua dalam artikel berjudul “Orang Sakti Itu Sudah Tiada: Diskusi Mengenai Cinta Tanah Air dan Lingkungan” menjelaskan kosmologi Suku Sara yang terdiri atas langit (dunia transenden yang tak terjangkau), dunia kehidupan manusia sehari-hari, dan dunia nenek moyang yang memiliki hubungan dengan dunia kehidupan manusia (Dua, 2015). Berdasarkan mitos di atas, Kaki dan Mego merupakan nenek moyang Suku Sara yang dekat dengan manusia dan menjadi penghubung kepada dunia langit.
Menurut mitos
tersebut, Mego merepresentasikan manusia yang sangat menghargai tanah sebagai
ibu yang melahirkan segala sesuatu. Tanah menjadi ibu yang senantiasa
melahirkan dan merawat kehidupan. Sebaliknya, Kaki menggambarkan ciri manusia
modern yang ambisius menguasai alam. Bagi mereka alam tidak lebih dari sumber
ekonomi yang layak dieksploitasi demi kesejahteraan manusia. Padahal manusia
tidak dapat berkuasa sepenuhnya atas alam, sebagaimana tokoh Kaki yang gagal
dalam mitos Suku Sara.
Baca: Ingat! Perempuan, Bukan Barang Kepunyaan Laki-Laki (Feminisme)
Konsep feminitas-kosmologis di atas pada hemat saya memberi dasar bagi masyarakat Suku Sara dalam memandang alam semesta. Menurut kaca mata budaya mereka, bumi ini merupakan warisan Mego yang senantiasa menjaga dan memelihara alam. Sebagai ibu, tanah harus dijaga sehingga terus memberi kehidupan bagi segala sesuatu. Konsekuensi logisnya ialah segala macam bentuk tindakan yang merusak lingkungan hidup merupakan tindakan yang salah. Penebangan hutan, penambangan liar dan berbagai aktivitas destruktif lainnya tidak dapat dibenarkan. Manusia tidak memiliki hak mutlak atas tanah yang diinjaknya. Tumbuh-tumbuhan dan binatang juga mempunyai kebutuhan yang sama atas tanah.
Menurut
pandangan biosentrisme, manusia hanyalah salah satu entitas di antara entitas
yang lain di muka bumi sehingga maniscayakan suatu relasionalitas di antaranya.
Dasarnya ialah semua organisme mempunyai tujuannya sendiri. Dengan demikian,
manusia pada dirinya sendiri tidak lebih unggul dari organisme yang lain. Hal
ini disimbolkan oleh Mego yang memilih menanam padi di antara pepohonan karena
pohon juga mempunyai nilai di dalam dirinya sendiri.
Namun pada kenyataannya, ambisi manusia modern untuk mengeruk kekayaan alam sudah sangat sulit untuk dibendung lagi. Mengatasnamakan manusia sebagai entitas tertinggi, alam pun disubordinasikan pada nomor yang kesekian (Sardono, dkk, 2021). Di Indonesia, hal ini sungguh nyata dalam ratifikasi undang-undang yang mengaburkan prinsip pemeliharaan lingkuangan hidup. Pengesahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menjadi indikasi kekeliruan arah yang dipilih pemerintah. Undang-undang sapu jagat alias omnibus law ini memudahkan konversi hutan untuk kepentingan industrialisasi. Pasal-pasal yang mengancam hutan itu jelas mengabaikan fakta bahwa deforestasi adalah penyumbang utama kerusakan bumi ini (Tempo, 2020). Pada tahun 2019 misalnya menjadi tahun terparah kerusakan lingkungan hidup akibat ulah manusia. Kebakaran hutan, penambangan liar, dan banjir terjadi di banyak tempat di wilayah Indonesia (Sardono, dkk, 2021).
Oleh karena
itu, program ekonomi hijau yang dicanangkan oleh pemerintah harus
direalisasikan dengan baik. Pengeksploitasian secara masif atas lingkungan hidup harus dihentikan karena dapat membawa dampak yang merugikan manusia.
Dalam mitologi Suku Sara, hal tersebut disimbolkan oleh kerakusan Kaki yang
menanam padi dengan mengabaikan kehidupan organisme yang lainnya. Di dunia
nyata, Pandemi Covid-19 adalah contohnya. Penggundulan hutan memperbesar
peluang interaksi manusia dengan hewan liar sehingga memungkinkan bagi virus
zoonasi seperti SARS-CoV-2 melompat lintas spesies dan berbagai kuman kepada
manusia (Tempo, 2020).
Baca: Pemerintah Daerah Se-Sumba Segera Menetapkan Tanjung Sasar Sebagai Cagar Budaya Sumba
Akhirnya,
tanah adalah ibu yang melahirkan, memelihara, dan menumbuhkan kehidupan. Alam
hendaknya terus dipelihara dan dijaga agar tetap memberikan kehidupan kepada
manusia. Tindakan Mego yang menanam padi di antara pepohonan tanpa harus
merusak hutan memberikan beberapa nilai penting. Pertama, tanah sebagai ibu mempunyai cara tersendiri untuk memberi
kehidupan kepada seluruh organisme yang ada di bumi. Kedua, selain manusia, bumi juga didiami oleh organisme lain
sehingga harus saling memelihara. Ketiga,
kerakusan manusia modern dalam mengeskploitasi alam hanya akan merusak
dirinya, sebagaimana Kaki dalam mitologi Suku Sara dan Pandemi Covid-19 dalam
kehidupan nyata.