"A Good Samaritan" |
Oleh: Sil Joni*
"A Good Samaritan" - Selasa, 29 Maret 2022. Pukul 19.00 atau jam 7 malam. Suasana ruang Tata Usaha dan para pengurus SMK Stella Maris tampak lengang dan sunyi. Pak Sipri, salah satu staf security lembaga sedang asyik mengusap layar telepon pintar kepunyaannya.
Sementara itu, saya duduk persis di depan teras ruang para pejabat SMK. Setelah sekian lama 'menunggu' terbitnya artikel pendek berjudul "Agar Perpustakaan (Daerah) Tidak Kesepian", oleh salah satu media dalam jaringan (daring), saya bergegas meninggalkan tempat itu.
Baca: Silvester Joni Menyoroti Perpustakaan (Daerah) Yang Sepi Dikunjungi Peminat
Terus terang, setelah saya 'tak lagi mampu' membeli pulsa data, hampir setiap hari, saya setia 'berada di lokasi wi-fi sekolah' sampai menjelang malam, untuk menuntaskan satu artikel opini pendek. Telepon pintar kesayangan saya dipakai untuk 'mengetik' pelbagai tulisan ringan tersebut.
Hanphone (Hp) itu biasanya saya simpan di saku celana atau jacket. Kebetulan, saku celana yang saya pakai pada hari itu robek, maka saya menyimpan Hp itu dalam saku jacket sebelum menghidupkan 'besi tua', untuk kembali ke rumah di Watu Langkas.
Sebelum sepeda motor dihidupkan, saya cek ulang untuk pastikan apakah saku jacket itu sudah dikancing atau belum. Hasil pengecekan itu menunjukkan bahwa 'Hp' itu sudah berada nyaman dalam saku Jacket yang menurut penglihatan, perabaan dan pikiran saya 'sudah dikancing dengan baik'.
Atas dasar itu, dengan tanpa beban, saya meninggalkan kintal sekolah menggunakan 'kendaraan sederhana' tadi. Tak ada firasat buruk atau mendengar semacam 'bunyi' aneh dalam perjalanan pulang itu.
Perjalanan ke Watu Langkas, biasanya menghabiskan waktu 20-30 menit. Sebelum tiba di rumah, saya singggah di salah satu kios di Nggorang untuk membeli 'jajan seadanya' buat kedua anak saya.
Baca: Ujian Praktek UAS Bergenre Budaya Manggarai Raya
Secara tidak sengaja, tangan kiri seolah meraba kondisi saku jaket sebelah kiri, tempat Hp itu di simpan. Betapa kaget dan hancurnya hati ini, ketika tangan itu hanya 'meraba' bagian saku yang sudah kosong. Hp itu dipastikan 'jatuh' dalam perjalanan.
Saya sangat 'shock' dan merasa tidak berdaya sama sekali. Ketika kondisi batin relatif normal, dengan energi yang tersisa, saya coba menelusuri HP itu sepanjang perjalanan. Artinya saya 'harus balik lagi' untuk mencari jejak keberadaan Hp itu. Tetapi, perjuangan itu tidak lama. Mungkin hanya berjarak 1 kilo meter, saya mulai berpikir rasional dan realistis.
Hp itu, rasanya cukup sulit untuk tidak dibilang 'mustahil' ditemukan lagi. Dengan penuh kesadaran, saya putuskan untuk 'balik' lagi ke rumah. Saya mulai membayangkan gelora amarah dari sang istri dan mempersiapkan 'jurus jitu' menghadapi amukan emosional itu.
Sudah diduga. Istri saya 'mengamuk' dengan melancarkan serangan verbal bertubi-tubi. Sebuah ekspresi kemarahan yang normal. Saya memang pantas mendapat 'perlakuan' semacam itu.
Pasalnya, hampir setiap hari sang istri mengingatkan saya agar Hp itu di simpan pada tempat yang aman. Tidak hanya itu. Sang istri juga memberikan contoh konkret bagaimana semestinya saku jacket dikancing secara benar. Tetapi, niat baik itu seolah tak mendarat dalam benak dan telinga batin saya.
Tak satu kata pun yang keluar dari mulut ini. Hanya beberapa titik air mata sebagai tanda penyesalan. Saya merebahkan diri ke kasur tanpa didahului dengan ritual 'makan malam'. Tetapi, jujur bahwa saya tidak bisa tidur 'nyenyak' malam itu.
Beberapa 'situasi buruk' tersebab oleh ketiadaan Hp, terus menghantui pikiran saya. Belum lagi, memikirkan 'betapa sulitnya membeli Hp baru' di tengah situasi ekonomi keluarga yang stagnan. Penderitaan saya terasa kian lengkap setelah mendapat 'hajaran dan omelan' sang istri yang seolah tak kehabisan ide dalam 'menceramahi' saya.
Tak terasa, hari sudah pagi. Saya bangun agak 'telat'. Sang istri kembali 'melancarkan aksinya'. Beberapa kalimat bernada ancaman dan serangan, mengalir deras dari tubuhnya. Efeknya, saya terjaga dan segera 'mempersiapkan' diri untuk berangkat ke sekolah.
Baca: Urgensitas SMK adalah Vokasional
Saya pergi 'tanpa pamit' pagi itu. Besi tua sengaja tidak digunakan. Saya menggunakan jasa moda transportasi publik (bemo) ke sekolah. Terus terang, saya menjawab seadanya setiap sapaan dan senyuman dari sesama kolega dan para siswa. Hati saya masih dikuasai perasaan sedih. Hati ini benar-benar remuk.
Hanya ada satu teman guru yang 'tahu betul' soal dalamnya duka yang saya hadapi. Beliau coba menguatkan hati saya dan berusaha mencari solusi. Namun, solusi itu tidak serta-merta muncul dalam obrolan siang itu. Ketika hari menjelang senja, ide solutif itu pun muncul dan segera dieksekusi.
Kami coba mencari dan mendatangi pribadi yang punya kemungkinan menjadi "orang Samaria yang baik hati" (A good Samaritan). Satu nama direkomendasikan oleh teman ini. Nama itu, memang tidak asing lagi, minimal dalam jagat politik lokal.
Sebelum ke rumah 'kandidat a good Samaritan' itu, teman ini terlebih dahulu mengkonfirmasi keberadaan beliau. Hasil komunikasi via telepon itu menunjukkan bahwa beliau berada di rumah. Selain itu, teman ini tidak lupa menyampaikan maksud utama kunjungan kami itu.
Dengan nada amat simpatik, A good Samaritan itu 'mengajak kami untuk segera ke rumahnya. Saya mulai bernafas lega. Dalam hati saya berpikir, setidaknya beliau bisa 'membantu' setengah dari apa yang saya butuhkan saat itu.
Namun, tak lama kemudian, A good Samaritan itu, mengontak teman tadi. Saya sempat 'menguping' isi pembicaraan mereka. Ternyata, beliau mengajak kami ke Kampung Gorontalo. Kami diminta untuk ke rumahnya terlebih dahulu untuk 'naik mobil' miliknya menuju Gorontalo.
Tanpa basa-basi, kami meluncur ke rumah beliau. A good Samaritan menyambut kami dengan penuh kehangatan. Sebelum beranjak, beliau berbisik kepada saya: "Kita singgah di salah satu Counter Hp. Kita beli yang 'darurat saja dulu". Saya sangat senang. Meski Hp standar, tetapi untuk saya yang ekonominya melarat ini, Hp semacam itu, termasuk properti istimewa.
Mesin mobil dihidupkan. Kami diminta masuk ke dalam mobil. Perjalanan ke Gorontalo dimulai. Cuaca cukup bersahabat malam itu. Di tengah perjalanan, A good Samaritan menanyakan soal 'Counter Hp'. Teman saya menjawab dengan penuh semangat: " Di depan SMAK saja Ka'e".
Mobil berhenti persis di depan kompleks SMAK St. Ignatius Loyola. Seperti biasa, mobil di parkir di sebelah kiri jalan. Kami bertiga ke luar dari mobil dan berjalan ke arah Counter Hp itu. Setelah melihat dan bertanya sekenanya kepada para penjaga, akhirnya pilihan jatuh ke salah satu Hp bermerek Vivo dengan total harga Rp1.800.000.
Hp itu 'dibungkus' setelah proses registrasi selesai. Kami bergegas kembali ke mobil untuk melanjutkan perjalanan ke Gorontalo. Suasana batin ini pun, relatif mulai tenang. Saya sudah bisa bernafas secara normal lagi dan hidup seperti sedia kala.
Saya bersyukur kepada Tuhan atas peristiwa ini. Di tegah kesusahan yang menimpa saya, A good Samaritan datang menolong. Karena itu, saya mengucapkan ganda terima kasih kepada beliau 'yang tergerak hatinya' membantu saya yang tertimpa sial.
*Penulis adalah warga Watu Langkas, Labuan Bajo, Flores.