Batal Berangkat (Cerpen Afri Ampur) |
Oleh : Afri Ampur*
Batal Berangkat-Lolongan anjing dari tengah kampung membuat malam terasa mencekam. Jarum jam dinding di kamarku sudah mencium angka dua belas. Tetapi mataku masih enggan mengatup. Berbagai macam persoalan berkecamuk dalam kepalaku. Masih terngiang dalam telingaku sebuah tawaran yang menggiurkan, tapi bertentangan dengan hati nuraniku. Tadi sore, Pak Heri datang ke rumahku. Ia membawa sebuah amplop yang sangat tebal. Isinya uang dengan pecahan seratus ribu. Ia memintaku untuk mengarahkan warga agar mau diswab test antigen di rumah sakit yang dipimpinnya. Maklum, saya seorang tokoh masyarakat yang sangat disegani oleh warga. Saya selalu menjadi garda terdepan, dalam melawan ketidakadilan. Ketika masih kuliah di Malang, aku sering bolos dari Biara untuk bergabung dengan teman-teman Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) menolak RUU yang merenggut kebebasan masyarakat dalam berpendapat. Jiwa aktivis terus bergelora dalam diriku. Aku sangat tertarik dengan semboyan PMKRI yakni, “Pro ecclesia et Patria” artinya, berjuang untuk Gereja dan tanah air. Masyarakat sering memintaku untuk mencalonkan diri sebagai kepala desa dan juga calon legislatif. Tetapi, aku menolak tawaran-tawaran itu dengan baik.
Baca: Menambang Kekayaan Kearifan Lokal Manggarai
Tadi sore, Pak Heri menjelaskan kepadaku cara mainnya. Semua warga akan dinyatakan positif COVID-19. Dengan itu, pihak Rumah Sakit akan mendapat bantuan puluhan juta bahkan ratusan juta dari Pemerintah. Hal ini tergantung jumlah korban Covid-19 yang dirawat. Selama ini tidak ada warga yang mau di rapid. Warga mendengar isu yang kurang sedap. Mereka juga selalu menunggu arahanku. Aku sangat menjaga kepercayaan dari warga. Kepercayaan adalah harta berharga bagiku.
Tadi sore, aku belum mengiyakan tawaran dari Pak Heri. Dia memberi aku waktu satu minggu untuk berpikir. Aku dilema, sebab dua minggu belakangan ini, ibu merasa sakit ketika hendak membuang air kecil. Ketika diperiksa, ada dua batu kecil di saluran kencingnya. Aku belum ada uang untuk membiayai ibu operasi ginjal. Aku hanya memberinya obat tradisional. Itupun tidak memberi dampak apa-apa. tiga hari lagi, adikku akan berangkat ke Malang. Dia sedang menempuh studi di STFT. Aku cemas memikirkan uang tiketnya.
Aku menghabiskan hari-hariku di rumah, setelah dirumahkan oleh perusahan tempat aku mengabdi selama lima tahun terakhir. Setelah ayah dipanggil Tuhan, aku menjadi tulang punggung keluarga. Aku mengundurkan diri dari sebuah tarekat religius. Aku juga berkomitmen untuk tidak menikah sebelum adikku selesai kuliah. Aku beranjak dari tempat tidurku dan berlutuk di depan patung Bunda Maria yang ada di pojok kamarku. Aku memandanya sembari menyebut nama Anaknya yang kudus berkali-kali.
Baca: Menyambut Tahun 2022 sebagai Tahun Toleransi
****
“Stenli, kamu sudah chek tiket di Traveloka?” tanyaku kepada adikku setelah sarapan pagi. “Sudah bang, satu juta lima puluh ribu ke Surabaya.”
Setelah sarapan pagi, aku membongkar tabunganku. Tabunganku adalah harapan terakhir bagiku. Uang tabunganku hanya lebih dua ratus ribu dari uang tiket ke Surabaya. Aku merasa gagal menjadi kakak yang baik bagi adik semata wayangku. Aku juga merasa gagal menjadi anak yang baik bagi ibuku. Aku bingung mencari pekerjaan yang baru di tengah pandemi Covid-19 ini. Aku berusaha tegar di hadapan adikku yang akan berangkat ke Malang.
“Bagaimana Bung Ilden sudah memikirkan tawaranku minggu lalu?” tanya Pak Heri sambil meletakan sebuah amplop di hadapanku. Amplop ini lebih besar dari amplop minggu lalu. Tiba-tiba Hp yang ada di saku celanaku berdering. “Kaks, aku tidak bisa berangkat sekarang, karena uangku tidak cukup untuk test PCR, sebagai persyaratan perjalanan”. Mendengar kalimat itu, aku seperti disambar petir di siang bolong. Aku merasa sangat gagal menjadi kakak yang baik. Aku menyuruh adikku kembali ke rumah. Pihak bandara tidak percaya dengan swab test antigen karena hasilnya kurang valid. Test PCR adalah kebijakan yang baru. Harga test PCR dua kali lipat dari harga tiket ke Surabaya. Manurut informasi, hasil test PCR baru bisa diambil setelah dua hari diswab. Hal ini dikarenakan keterbatasan laboratorium di daerahku. Melihat persoalanku, Pak Heri memamerkan senyum kemenangannya.
“Pak Heri, terima kasih untuk tawaran anda, minta maaf aku tidak bisa menerimanya. Hati nuraniku masih berfungsi. Aku dan keluargaku lebih memilih hidup menderita dari pada hdup bahagia dari uang haram.” Kataku dengan tegas. Mendengar itu, Pak Heri pulang tanpa pamit. Ia belum menghabiskan kopinya. “Aku bangga padamu nak.” Kata ibu dari belakangku. Ternyata ibu memperhatikan perbincangan kami sejak minggu lalu.
Aku menenangkan pikiranku dengan menonton TV. Aku terkejut, ketika semua stasiun TV menyiarkan berita tentang kehilangan kontak pesawat tujuan Surabaya. Jenis pesawat itulah yang dipesan adikku kemarin sore. Nama adikku tercatat sebagai korban pesawat itu. Pesawat itu hilang kontak setelah satu jam take off dari bandara di kotaku. Aku langsung menelepon adikku. “kakak sepuluh menit lagi aku sampai rumah”. Mendengar suara itu seperti ada energi positif yang masuk ke dalam diriku. Aku langsung teringat akan tawaran Pak Heri minggu lalu. Seandainya aku langsung menerima tawaran itu ,baerarti adikku… ah …sudahlah… Tuhan memiliki cara kerja tersendiri untuk menyelamatkan umat-Nya.
Setelah makan malam, Hp-ku berdering. Aku mendapat telepon dari nomor yang tidak kukenal. Nomor itu tidak terdaftar pada kontakku. “Halo eks frater, masih kenal suara aku to?” kata seorang perempuan dari seberang sana. Suara itu tidak asing bagiku. Pemilik suara itu pernah menjadi pemeran utama dalam khayalanku beberapa tahun lalu. “Apa kabar ibu Mirand”, jawabku dengan semangat. Saluran telepon keburu terputus, sebelum kami melanjutkan obrolan. Sepuluh menit setelah itu HP-ku berdering lagi. Ada sebuah pesan masuk dari nomor yang sama. “Selamat malam eks frater, perusahan kami membutuhkan seorang manager yang jujur dan tegas seperti kamu. Kalau eks frater ingin bergabung silahkan datang ke kantor esok. Atau aku akan menjemputmu?”
Baca: Refleksi Minggu Palma: "Tuhan Memerlukannya"
Aku tersenyum membaca pesan itu. Iya, ia selalu memanggilku eks Frater. “Eks Frater ingin dijemput oleh anak gadis dari pemilik perusahaan”. Balasku. Lima menit setelah itu, HP-ku berdering lagi. Aku mendapat pesan dari nomor yang sama, “Eks frater harus melamar anak pemilik perusahan dulu, setelah itu baru bisa dijemput olehnya”. Hatiku berbunga-bunga membaca pesan itu. aku menyimpan kontak itu dengan nama “Pantat ayam”. Iya, pemilik nomor itu mulutnya seperti pantat ayam.
Aku duduk di teras rumah sambil memperhatikan ibu yang sedang menyiram bunga. Hatiku berbunga-bunga melihat ibu beraktivitas lagi setelah operasi ginjal dua bulan yang lalu. Ekonomi keluarga kami meningkat setelah aku bergabung dengan perusahan si pantat ayam. Sore ini, aku ditemani secangkir kopi dan sebuah koran. Mataku langsung tertuju pada berita utama. Direktur Rumah Sakit di kotaku ditahan polisi.
*Penulis adalah Mahasiswa STFT Widya Sasana Malang