Bukan Ajang Pamer Busana Tradisional Semata (Refleksi Hari Kartini)
Oleh: Sil Joni*
“Kepahlawanan Kartini itu terletak dari keberanian dan kecerdasannya menggunakan ‘media literasi’ (baca-tulis) dalam melawan budaya patriarkat yang sangat merugikan kaum perempuan pada zaman itu”.
Bukan Ajang Pamer Busana Tradisional Semata- Setiap tanggal 21 April, umumnya perempuan Indonesia, entah terpimpin dalam sebuah lembaga atau ekspresi spontan individu, mengenakan busana tradisional. Mereka memakai kebaya, kain songke, sanggul (kundai atau konde). Agar terlihat lebih cantik dan feminim, mereka coba didandani sedemikian, seolah-olah sedang mengikuti sebuah ‘festival budaya’.
Saya tidak tahu pasti mengapa kebiasaan memakai kebaya, konde, dan kain tenun tradisional itu menjadi semacam ‘tradisi’ untuk menyemarakkan Hari Kartini yang jatuh pada tanggal 21 April itu. Padahal, kalau kita membaca sejarah, Kartini itu tidak identik dengan ‘pejuang kecantikan’ yang mengkampanyekan pemakaian busana tradisional. Beliau itu bukan ‘tokoh fashion show’ dalam bidang busana adat Jawa. Tetapi, mengapa untuk memaknai Hari Peringatan akan sosok ini, para perempuan entah diminta atau tidak memakai pakaian tradisional Jawa itu?
Baca: Mencicipi Surga di Dunia (Konsep Kebahagian dan Aktualisasinya dalam Kehidupan Sehari-hari)
Padahal, kepahlawanan Kartini itu terletak dari keberanian dan kecerdasannya menggunakan ‘media literasi’ (baca-tulis) dalam melawan budaya patriarkat yang sangat merugikan kaum perempuan pada zaman itu. Itu berarti, Kartini merupakan sosok pemikir pejuang yang dengan gagah menyampaikan pikirannya melalui media tulis (surat-menyurat).
Semestinya, penggunaan media tulis sebagai ‘alat perlawanan atau perjuangan’ inilah yang diteladani oleh para perempuan saat ini. Karena itu, aktivitas yang paling ‘pas’ untuk mengenang dan menghargai ‘perjuangan’ karya Kartini adalah menyuarakan kegelisahan atau problematika yang dihadapi perempuan dewasa ini melalui ‘tulisan’. Kegiatan ‘lomba menulis surat’, mungkin salah satu opsi yang masuk akal untuk meneruskan spirit perjuangan ibu Kartini itu.
Mari kita ‘tengok sebentar’ sejengkal sejarah perihal sosok besar ini. Mungkin Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat atau yang dikenal R.A. Kartini itu tidak akan ‘dikenang sebagai salah satu pahlawan wanita paling fenomenal dalam lintasan sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia, seandainya beliau ‘tidak bisa menulis’.
Sejarah mencatat bahwa ‘buah pena’ R.A. Kartini yang dikirim ke sahabat-sahabatnya di Belanda dikumpulkan oleh Mr. H.J. Abendanon selaku Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan Hindia-Belanda dan diterbitkan dalam bentuk buku yang berjudul: “Door Duisternis tot Licgt” (Dari Kegelapan Menuju Cahaya).
Edisi Bahasa Indonesia dari buku itu baru diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1922 dengan judul: “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Armin Pane adalah orang yang berjasa dalam proyek penerjemahan itu.
Kartini termasuk salah satu wanita paling beruntung pada zamannya sebab diperkenankan mengenyam pendidikan di ELS (Eurepese Legare School), sekolah khusus untuk anak-anak keturunan Hindia-belanda dan para bangsawan. Sayangnya, adat istiadat Jawa telah ‘merampok’ kebebasannya untuk meneruskan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi di Batavia atau di Belanda. Dalam usia 12 tahun ‘karier akademiknya’ harus terhenti. Ia mesti menjalani ‘fase pingitan’ (pengurangan anak gadis di dalam rumah) sebelum menikah.
Kendati demikian, pikirannya tidak terkurung sepenuhnya dalam kultur patriarkat itu. Berbekalkan pengetahuan dan kecakapan dalam berbahasa Belanda, Kartini bisa berkontak dengan dunia luar (budaya Eropa) melaui wadah literasi.
Baca: Inovasi Baru: Ujian Akhir Sekolah (UAS) Berbasis Internet
Dalam usia yang masih sangat muda, beliau bisa berkorespondensi melaui surat dengan sejumlah sahabatnya di Belanda dan bisa membaca surat kabar, majalah, dan buku-buku berbahasa Belanda yang dikirim oleh para sahabat tersebut. Bahkan beberapa tulisan sempat diterbitkan oleh salah satu Majalah Wanita, De Hoallanche Gulie. Tidak berlebihan jika RA Kartini dianggap sebagai ‘penulis hebat’ pada zaman itu.
Melalui berbagai surat dan tulisan itulah Kartini menyuarakan ‘kegelisahan dan ketidakpuasannya’ terhadap situasi diskriminatif yang dialami sesama kaumnya di Indonesia. Roh perjuangan emansipatif eksistensi dan kiprah politik antara perempuan dan laki-laki, begitu menggelora dalam setiap tulisannya.
Tulisan-tulisan Kartini, tentu saja mengguncang budaya Politik di wilayah Hindia-Belanda yang masih terbelenggu tradisi yang bersifat patriarkat. Berkat perjumpaan dan pergumulannya dengan ‘dunia pemikiran Barat’, Kartini bisa membaca dan menggugat realitas ketimpangan yang dialami para perempuan Indonesia. Ia membuat analisis perbandingan antara kultur Eropa yang relatif egaliter dan liberal dengan iklim tradisi di Jawa yang cenderung ‘merugikan martabat’ kaum hawa.
Singkat cerita, talenta menulis dipakai secara optimal oleh Kartini untuk memperjuangkan hadirnya iklim emansipasi, kesederajatan antara laki-laki dan perempuan.
Literasi merupakan ‘senjata andalan’ untuk merobek selubung budaya patriarkat yang sekian lama ‘memarjinalkan’ eksistensi kaum perempuan.
Saya kira, spirit literasi inilah yang perlu mendapat porsi pemaknaan di saat kita mengenang sosok RA. Kartini seperti yang terjadi hari ini. Bahwasannya, perjuangan untuk memperhatikan ‘isu-isu” yang berkaitan dengan hak-hak kaum perempuan di Mabar, tidak harus melaui jalur partai politik dan gerakan demonstrasi secara massif. Para perempuan dan siapa pun yang concern dengan isu-isu perempuan, bisa memaksimalkan media (tulisan) sebagai ‘alat perjuangan’.
Literasi dalam level tertentu berpotensi menjadi senjata yang efektif dalam memperjuangkan kepentingan kaum perempuan yang cenderung diabaikan oleh struktur entah politik, pendidikan, budaya dan agama.
“Hari Kartini” mesti menjadi momentum bagi kaum perempuan untuk menghidupkan tradisi berliterasi. Semangat baca-tulis yang tinggi, saya kira menjadi ‘warisan Kartini’ yang patut diteladani dan dikembangkan oleh semua kaum hawa di Mabar saat ini. Coba kita bayangkan, dalam usia yang tergolong remaja Kartini sudah bisa menulis dan membaca berbagai literatur dalam Bahasa Belanda. Dalam situasi dan kondisi yang serba ‘terkunkung’ buah pikirnya terbang ke negeri Belanda. Tulisannya dibaca oleh publik mancanegara.
Baca: Menambang Kekayaan Kearifan Lokal Manggarai
Lalu, kita yang sekarang bergelar sarjana, semestinya bisa menghasilkan karya kreatif melebihi apa yang ditorehkan Kartini ratusan tahun lampau. Kita sudah dilengkapi dengan pengetahuan dan keterampilan yang memadai serta ditopang dengan teknologi media yang canggih. Kondisi semacam ini semestinya memacu kita untuk semakin kreatif dan produktif dalam berliterasi. Tentu, seperti halnya Kartini, kalau dapat tulisan-tulisan yang kita racik di berbagai media, menyuarakan kegelisahan akan pelbagai fenomena ketidakadilan sosial khususnya yang menimpa kaum perempuan Mabar di kekinian.
Dengan itu, peringatan Hari Lahir RA. Kartini, tidak hanya sebatas seremonial nir-makna. Peringatan semacam itu mesti membawa efek positif sebagai buah dari permenungan akan makna konkret di balik upacara peringatan itu. Saya kira, kesadaran untuk berkanjang pada jalan literasi seperti yang digeluti Kartini semasa hidupnya, menjadi salah satu hikmah yang bisa kita rimba. Mabar membutuhkan ‘sosok Kartini’ masa kini yang bersemangat menyalurkan perjuangan melalui medan literasi.
Akhirnya, selamat merayakan Hari Kartini, 21 April 2020 kepada segenap kaum hawa dan para pegiat feminisme di Mabar ini. Bersama Kartini, kita tingkatkan spirit berliterasi demi masa depan Mabar yang lebih ramah terhadap isu-isu keperempuanan.
*Penulis adalah warga Mabar, Tinggal di Watu Langkas.