Oleh: Martin
Sandy*
Manusia dan
kebudayaan berhubungan sangat erat. Keduanya bagaikan dua sisi mata uang yang
tak terpisahkan. Manusia di satu sisi menciptakan kebudayaan sebagai cara ia
mengada atau bereksistensi di dunia. Sebaliknya, kebudayaan memanusiakan
manusia. Karenanya, relasi budaya dan manusia tentu saja saling mempengaruhi.
Ernest Cassier
menggarisbawahi suatu kesimpulan bahwa kebudayaan tidak bisa lain dari cara
manusia mengada dalam dunianya. Manusia membungkus dirinya dengan berbagai
corak atau berbagai fenomen kebudayaan seperti agama, bahasa, kebiasaan, ritus,
sistem nilai, paradigma, sistem sosial, dan lain sebagainya. Berbagai fenomen
ini tentu tidak datang dengan sendirinya, tetapi harus diakui bahwa semua itu
justru hasil karya dan karsa manusia yang telah dimaklumkan dan mengada
sepanjang sejarah peradaban manusia.
Kebudayaan sebagai
hasil karya manusia dengan segala bentuk dan sifat serta fungsinya merupakan
ekspresi kehidupan dan perkembangan manusia. Semua manusia, baik sekarang
maupun akan datang seturut kodratnya berkembang ke arah kemanusiaan yang lebih
penuh dan sejati melalui dan dalam kebudayaan. Seturut perspektif ini, maka
kebudayaan dari sendirinya memiliki potensi atau fungsi dalam usaha
memanusiakan manusia. Fungsi ini dapat ditelusuri dalam berbagai wujud kebudayaan
itu sendiri salah satunya dalam aktus kerja.
Dalam kebudayaan
Manggarai dikenal suatu aktus kerja yang disebut dodo. Do artinya banyak, dodo (gabung) artinya banyak-banyak.
Berdasarkan isi ungkapan, dodo merujuk
pada aksi gotong royong. Penggunaan kata ini, selalu terkait dalam ranah
pekerjaaan, yaitu sebagai model kerja yang dilakukan secara bergantian dalam
semangat gotong royong.
Baca: Budaya Sebagai Patokan Kehidupan Masyarakat Manggarai
Misalnya, duat uma (kerja kebun), jika hari ini
bekerja di kebun petani yang satu, maka esoknya akan bekerja di kebun petani
yang lain. Karenanya, dalam dodo
tidak berlaku hirarki hubungan buruh-majikan dan sistem upahan atau gaji.
Prinsipnya, dodo bertujuan untuk
meringankan beban pada seorang atau sekelompok orang dan mempererat tali
persaudaraan.
Seperti telah
dijelaskan bahwa fungsi kebudayaan adalah untuk memanusiakan manusia. Hal ini
mengandaikan bahwa suatu wujud kebudayaan dalam hal ini (konteks penulis) aktus
kerja, termaklum nilai-nilai yang mempengaruhi dan menunjang kehidupan manusia.
Aktus dodo dalam kebudayaan Manggarai
tidak hanya dipandang begitu saja sebagai perkejaan biasa.
Dalam aktus dodo, orang
Manggarai justru menginternalisasi berbagai keutamaan dan nilai kehidupan. Keutamaan atau
nilai-nilai apa saja yang diinternalisasi dari aktus dodo?
Sebelum menjawabi pertanyaan ini, terlebih dahulu akan diterangkan konsep yang
mengantar pada pengertian yang lebih dalam terkait aktus dodo.
Dodo bisa dikatakan sebagai
suatu praksis. Praksis itu sendiri adalah tempat dan saat untuk merepresentasikan
segala daya dan kesadaran yang dimiliki seseorang terhadap suatu karya. Seorang
filsuf bernama Macintyre (1929)
mengetengahkan bahwa praksis membuka lapangan bagi penerapan
keutamaan-keutamaan. Dalam praksis itulah keutamaan-keutamaan menjadi bermakna.
Keutamaan dipraktekkan untuk memperoleh kebaikan. Makna kebaikan justru
teridentifikasi melalui pergumulan langsung individu dengan praktek yang
bersangkutan dan dari efek luarannya seperti pujian, hadiah, hasil, dan
lainnya.
Dodo sebagai suatu kultur
karya dan kerja ialah salah satu bentuk praksis. Sebagai suatu praksis, dodo mewujudkan segala daya dan
kesadaran seorang dalam bekerja. Dalam dodo
itu, seorang pekerja dapat menghayati dan memaknai keutamaan luhur suatu
pekerjaan yang dikenalinya dalam pergumulan dengan pekerjaannya. Dalam aktus dodo terkandung keutamaan atau nilai
yang pada gilirannya diinternalisasi orang Manggarai. Menurut saya, ada dua
keutamaan yang teridentifikasi dari praktik dodo.
Pertama, keutamaan transenden.
Mentalitas orang Manggarai menyingkapkan bahwa kehidupan manusia tidak pernah
terpisahkan dari penyelenggaraan yang Ilahi, yang disebut sebagai Mori agu Ngaran, Jari agu dedek. Dari-Nya asal muasal dan sebab
musabab kehidupan di dunia ini. Berhadapan dengan Yang Ilahi itu, manusia
diundang untuk mengucap syukur dan menyembah.
Dari pengertian ini, bagi orang Manggarai kerja tidak pernah berarti
“begitu
saja,”sebaliknya kerja menjadi cara terbaik untuk ambil bagian dalam karya kreatif Yang Ilahi. Melalui dodo orang Manggarai menghayati keutamaan ini di mana mereka bekerja
sama
dengan Tuhan atau Mori agu Ngaran, Jari agu dedek untuk mengolah dan memelihara bumi. Dengan itu, mereka turut memuliakan Tuhan dan memberi sumbangan terhadap kebaikan dan kesejahteraan bersama.
Baca: Pater Tuan Kopong MSF Menyoroti Pawang Hujan Mandalika Dan Wajah Asli Agama
Kedua, keutamaan persahabatan. Ikatan hidup kekerabatan orang Manggarai adalah lahan
yang subur bagi persahabatan. Orang disebut sahabat dimengerti dari kehadirannya
yang mendengarkan, menyapa, saling berdialog, saling membantu, dan bekerja sama. Dalam suasana demikian itu, orang mengalami kepenuhannya sebagai manusia.
Dalam kerja dodo, persahabatan justru menjadi stimulus yang melingkupi
kesadaran dan tindakan
orang Manggarai. Hal
ini
terungkap dalam aktus pra dodo, misalnya, dalam ritus lonto leok, dalam nada persahabatan membicarakan bersama segala sesuatu terkait pelaksanaan dodo. Selain itu, terungkap juga dalam pelaksanaannya yang bersifat manusiawi, karena orang Manggarai sadar bahwa
yang bekerja ialah manusia-sahabatnya, sehingga selalu ada
“momen” untuk beristirahat,
makan
bersama, dan berbagi cerita. Aspek penting dari relasi persahabatan ini ialah menggariskan suatu relasi intersujektif.
Baca: Mereguk Dari Sumber Sendiri: Pancasila sebagai Local Wisdom di Tengah Kemelut Modernitas
Dalam filsafat
yang mengedepankan refleksi eksistensial hidup manusia, persahabatan itu suatu
tindakan “penyeberangan” diri sendiri
kepada sesama yang lain secara terus-menerus. Armada Riyanto dalam bukunya Politik, Sejarah, Identitas, Postmodernitas (2009) mengetengahkan penyeberangan
ini bukan suatu bentuk peleburan atau penghilangan eksistensi sendiri,
melainkan justru pemenuhan diri sebagai
manusia yang secara kodrati tidak mungkin hidup sendiri. Sederhananya, masyarakat Manggarai (pelaku dodo)
menyadari bahwa rekan “kerjanya-sahabatnya” adalah manusia yang sepadan atau sederajat dengannya.
Demikianlah dodo menjadi
seperti guru bagi orang Manggarai dalam belajar dan internalisasi nilai-nilai
atau keutamaan. Melalui contoh kecil ini, saya dapat mengamini bahwa kebudayaan
pada gilirannya berfungsi dalam memanusiakan manusia. Eksistensi manusia tentu
saja dipengaruhi oleh berbagai fenomen yang berada di sekitarnya di mana
fenomen-fenomen itu ialah kebudayaan itu sendiri.
Melalui dan dalam
interaksi dengan berbagai fenomen kebudayaan manusia mengalami internalisasi
berbagai meaningyang kemudian
mempengaruhi aspek kognitif dan afektif serta menghantar manusia pada
tranformasi diri menuju kepada kepenuhan hidupnya. Dodo a la
masyarakat Manggarai telah membantu mereka dalam membentuk kerangka berpikir
dan mentalitas dalam memandang dunia, alam, sesama, dan Tuhan.
*Penulis adalah mahasiswa STFT
Widya Sasana Malang.