Kado Kecil untuk Ibu (Cerpen Yanti Simanjuntak, H.Carm)
Oleh: Yanti Simanjuntak H. Carm
Kado Kecil untuk Ibu-Embun jatuh perlahan seiring fajar
menyapa dedaunan. Dunia kecil bangun perlahan menyambut hari yang indah, namun
bagiku menyambut pagi adalah sesuatu yang menyedihkan. Setiap kali aku membuka
mata belum pernah sekalipun kutemukan sosok pahlawanku didekatku. Semenjak aku
berumur lima tahun sampai sekarang.
Demi sesuap nasi Ibuku harus bekerja
pagi pulang malam. Ibuku tidak ingin aku ketinggalan dari apapun. Setiap pagi
aku bangun, Ibuku sudah pergi bekerja, yang tertinggal hanya selimut yang
terlipat rapi, dan setiap malam pulang sekitar pukul 20.00 wib, sehingga
pertemuanku bersama Ibu hanya sedikit. Bahkan aku merasa bahwa aku tidak jelas
mengenal wajah Ibuku, karena minimnya waktu untuk bertatap muka dengannya. Aku
hanya bisa melihat wajahnya saat Ibuku membangunkanku untuk makan, dan untuk
makan malam Ibu selalu bawakan makanan dari rumah majikannya.
Baca: Golgota dan Cintamu Utuh (Puisi Efrem Danggur)
Aku kadang penasaran dengan
pekerjaan Ibu, mengapa Ibuku sampai sesibuk itu. Namun aku takut bertanya,
karena aku tahu itu akan menyinggung perasaannya. Aku hanya dapat berpikir
positif, bahwa Ibuku bekerja keras untuk menghidupiku dan juga demi masa
depanku. Saat aku sudah menjalani sekolah, Ibuku semakin bekerja keras. Setiap
pagi, Ibu selalu menyempatkan waktu untuk membuat kue kukus untuk bekalku ke sekolah.
Suatu kali aku tanpa sengaja mendengar Ibuku berdoa di dalam kamar. “ya Tuhan
biarkan hanya aku yang mengalami getirnya perjalanan hidup, tetapi Lissa
putriku satu-satunya sebagai tujuan hidupku, janganlah engkau biarkan
kehilangan impiannya”. Katanya sambil bercucuran air mata. Aku sangat terharu
dan ikut menangis. Sejak saat itu aku berkomitmen bahwa aku harus belajar lebih
giat, harus ikut bekerja untuk membantu Ibu. Aku melakukannya dengan diam-diam.
Aku ingin memberi Ibuku kado
terindah. Tanpa terasa waktu terus berputar, kehidupan terus berjalan. Dengan
kerja keras dan doa yang kuat dari Ibuku, serta perjuangan yang aku lakukan
demi masa depan dan harapanku, akhirnya selama 6 tahun aku mendapat beasiswa,
dan bukan beasiswa yatim atau yang tidak mampu, tetapi beasiswa prestasi. Aku
sangat bahagia sebab Tuhan tidak membiarkan usaha dan perjuangan umat-Nya
sia-sia begitu saja. Waktu terus bergulir, hari terus berlalu, namun Ibuku tak
pernah berhenti untuk bekerja dan berdoa untukku.
Baca: Kisah Kasih di Masa Sekolah
“Nak? Kamu sudah mendaftar di
universitas?” Tanya Ibuku tiba-tiba. Aku terdiam sejenak.
“Maaf Bu aku tidak ingin kuliah, aku
mau langsung bekerja”. Jawabku singkat.
“Apakah kamu menyia-nyiakan
perjuangan Ibumu ini?” Tanyanya lebih lanjut. Aku tahu maksud Ibuku baik, tapi
aku tidak ingin membuat Ibuku bekerja keras sendirian.
“Nak, Ibu hanya ingin kamu menjadi
orang yang sukses, sehingga suatu saat Ibu tidak khawatir ketika ibu pergi
meninggalkan kamu”. Katanya lembut. “Ibu tidak selamanya bisa bersama kamu, Ibu
sudah tua. kamu harus bisa hidup lebih baik jika suatu saat Ibu meninggalkan
kamu”. Ucapnya dengan air mata yang tertahan.
Dengan spontan kupeluk Ibuku erat,
“maafkan aku Ibu! Aku janji akan menjadi anak yang sukses”. Ucapku sambil
mengecup keningnya. Ketika matahari memancarkan sinarnya, seperti biasanya Ibu
sudah berangkat kerja, aku pun dengan segera pergi mendaftar di beberapa
Universitas. Namun menunggu hasilnya membutuhkan waktu yang lama. Ketika
melihat prestasiku mulai SD-SMA, akupun mendapat beasiswa di Universitas luar
Negeri. Aku mulai takut dan khawatir, untuk biaya hidup disana, melihat Ibuku
yang sudah tua dan ekonomi keluarga yang sangat miskin.
Akhirnya aku mengurungkan niatku.
Ketika aku tertidur pulas, Ibuku melihat surat yang ada di mejaku, yang mengatakan
bahwa aku mendapat beasiswa di luar Negeri, tiba-tiba aku mendengar suara
tangisan Ibuku sambil berdoa,”Ya Tuhan aku tidak ingin anakku menyerah karena
ketidak mampuanku”. Aku menangis mendengar doa Ibuku yang sangat mengharukan.
Entah dari mana Ibuku mendapatkan uang, yang jelas aku akhirnya bisa sampai ke
Universitas luar Negeri. Dengan semua perjuangan yang aku lalui dan juga kerja
keras dari Ibuku akhirnya aku mendapatkan gelar sebagai sarjana management
bisnis. Ketika aku kembali ke Indonesia, aku tidak menemukan Ibu di rumah. Aku
menangis sambil mencari Ibu di mana-mana, seorang wanita paruh baya, yang
ternyata majikan Ibu di tempat kerjanya, memberitahu bahwa Ibu sudah 1 bulan
berada dirumah sakit.
Baca: Seberkas Cinta Gadis Juita Dengan Seorang Seminaris (Cerpen Efrem Danggur)
Aku menangis sejadi-jadinya, ketika
wanita itu menjelaskan dengan panjang lebar. Tanpa berbicara apa-apa aku
langsung menuju rumah sakit. Mendengar penjelasan dokter tentang penyakit yang
dialami ibuku, dengan segera tanpa basa-basi aku meminta kepada dokter, untuk
segera mengambil ginjalku, supaya didonorkan untuk Ibu. Awalnya dokter menolak
permintaanku, namun dengan segala penjelasan, dan resiko yang akan terjadi
akhirnya dengan terpaksa karena tak ada pilihan lain, dokter menerima
permintaanku. Ibuku kembali tersenyum walau sebenarnya dokter bilang, Ibuku
hanya mampu bertahan selama 2 bulan lagi, karena sudah terlambat penanganannya.
Dengan semua yang Ibu lakukan untukku, aku hanya dapat memberi Ibu sebuah kado
kecil, yaitu ginjalku sendiri, dan kesuksesanku dalam Pendidikan sesuai dengan
apa yang aku dan Ibu harapkan.
Hanya inilah kado yang dapat aku
berikan yang mungkin sekaligus akan menjadi kado pertama dan terakhir untuk
Ibuku, karena melihat kondisi Ibu yang semakin kritis. Mengharapkan usia yang
lama adalah sebuah kemustahilan. Sesuai penjelasan dokter dengan kondisi Ibu
yang semakin kritis, aku menggunakan waktu sebaik-baiknya dengan membuat sebuah
kenangan untuk kebersamaan kami walau dengan waktu yang sangat singkat saat 2
bulan sebelum Ibu meninggal dunia. Tuhan telah mengirim malaikat tanpa sayap di
dunia ini untuk menjagaku dan menjadikanku berarti bagi dunia. Aku mencintaimu
Ibu, tidak ada yang bisa menggantikanmu dihatiku, Ibu akan menjadi nomor satu
di dalam hatiku. Semoga kado kecil yang dapat aku berikan menjamin kelangsungan
kebersamaan kita di sisa akhir waktumu. Walau yang aku berikan tidak sebanding
dengan apa yang ibuku perbuat dalam hidupku, namun dengan melihat senyuman
terakhir ibuku membuatku bangga menjadi anaknya. Dan semakin yakin untuk
melanjutkan perjuanganku di dunia yang fana ini.
Penulis tinggal di Tidar
Utara, Malang-Jawa Timur.