Oleh: Adryan Naja
Nietzsche adalah seorang filsuf besar pada abad ke 19, dengan daya pemikirannya merombak dan mengguncang segala kenyamanan homo (makhluk) religiositas. Hal itu dapat kita kenal dalam gagasannya bahwa “Allah sudah mati”. Kematian Allah dalam pemikiran Nietzsche mengindikasikan identitas Nietzsche sebagai seorang ateistis. Nietzsche memproklamirkan kematian Allah dalam diri homo religiositas sebagai bentuk kritikan Nietzsche atas ketiadaan Tuhan dalam diri umat beragama.
Nietzsche melihat kekosongan kehadiran Allah dalam setiap pengalaman hidup umat beragama. Sebagai seorang filsuf, Nietzsche mengembangkan dan menyorotkan ide-ide eksistensialisme dalam dunia filsafat. Dia adalah seorang eksistensialis ateistis yang mencabut keyakinan akan adanya Allah dalam diri umat beriman. Bagi dia, Allah telah mati, dan kita telah membunuhnya.
Baca: Revolusi Pendidikan Dari Death Valley (StudiKasus di SDI Golo Roke, Lamba Leda, Manggarai Timur, NTT
Antara Agama dan Kematian Allah
Di tengah luasnya pengaruh keyakinan Nietzsche atas kematian Allah, yang diproklamirkannya dalam tulisannya, dapat kita bayangkan dalam beberapa pertanyaan berikut ini, jika Allah mati, ke manakah agama menuju? Kepada siapakah homo religiositas menaruh kepercayaannya? Dan apa yang terjadi pada alam ciptaan setelah Allah mati? Lalu, bagaimana iman mengada dirinya jika substansinya telah mati? Masih bernafas-kah iman umat beriman? Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi pertanyaan gugatan dan juga sebagai pertanyaan pembuka bagi kita dalam mengenal dan mengetahui maksud Nietzsche mengenai gagasannya bahwa Allah telah mati.
Baca: Agama, Dosa dan Ketawa
Nietzsche mengilustrasikan kematian Allah dalam sebuah cerita mengenai orang gila yang berteriak mencari Allah di pasar. Dalam cerita tersebut, Nietzsche melakoni keadaan diri orang gila secara dramatis dan intuitif. Seperti yang dikutip oleh Budi Hardiman, Nietzsche menceritakan bahwa;
“Ada seorang gila yang membawa lentera menyala ke tengah-tengah pasar dan berseru terus menerus: “Aku mencari Allah! Aku mencari Allah!” Orang-orang di pasar itu menertawakannya. Tetapi si gila itu malah melompat ke tengah-tengah mereka dan menatap mereka sambil berteriak: Ke manakah Allah? Aku memberitahu kalian. Kita sudah membunuhnya-kalian dan aku. Kita semua pembunuh… Allah sudah mati. Dan kita telah membunuhnya….Sesudah itu si gila diam, menatap para pendengarnya….” (Budi Hardiman, Pemikir-Pemikir Yang Membentuk Dunia Modern, 2011).
Dalam ilustrasi tersebut, Nietzsche hendak melukiskan keadaan dirinya yang mengalami kekosongan akan pengalaman bersama Allah. Bagi Dia, Allah sudah mati. Allah telah mati, dan dia sendirilah pembunuhnya. Nietzsche sama sekali tidak menemukan Allah dalam hidupnya. Entah Allah yang mengasingkan Nietzsche dari diri-Nya, sehingga Nietzsche tidak mengenal dan mengakui ada-Nya, atau justru sebaliknya, Nietzsche sendiri yang mengalienasikan dirinya dari Allah atau mengasingkan Allah dari dirinya. Akan tetapi, dari cerita tersebut dapat kita simpulkan bahwa Nietzsche sendirilah yang sengaja tidak mau mengakui ada Allah. Mungkin juga Nietzsche ingin membebaskan kebebasan dirinya dari ketidakbebasan yang dibuat agama.
Baca: Wae Bobok, Jangan Diobok-obok!
Agama secara substansial merupakan “tempat” atau sebuah sarana yang menghadirkan Allah kepada manusia dan membawa manusia kepada Allah. Pengertian tersebut tidak menegasikan kebenaran lainnya tentang agama, melainkan menggambarkan agama dari sudut fungsional. Secara fungsional, agama menjadi sarana pewartaan tentang Allah, dan mempromulgasikan ke-ada-an Allah kepada manusia.
Pada awalnya, manusia mengenal Allah secara benar dan jelas dalam agama. Agama merepresentasikan wajah Allah melalui ajaran-ajaran yang menunjukkan identitas Allah. Dalam agama diajarkan bahwa Allah itu baik, Allah itu Maha adil, Maha kasih, Maha cinta, Maha benar, Mahakuasa dan lainnya sebagainya. Agama sesungguhnya memberi fondasi dan referensi dalam hidup bahwa hiduplah dalam Allah dan hiduplah “Allah” dalam kehidupan setiap hari. Tujuannya ialah agar umat beragama hidup baik, benar, adil, damai, bahagia, dan saling mencintai dan menyayangi satu sama lain. Akan tetapi, kembali pada pergumulan keyakinan Nietzsche bahwa Allah telah mati. Nietzsche tidak secara langsung menggugat kenyataan hidup umat beragama zaman sekarang yang tidak lagi menampilkan bahwa Allah itu ada dalam agama dan dalam diri umat beragama.
Keadaan yang dialami oleh Nietzsche ini seakan-akan menyadarkan homo religius (kita semua yang beragama) akan eksistensi Allah dalam diri dan pengalaman hidup setiap hari. Apakah Allah benar-benar ada dalam kehidupan umat beriman yang percaya kepada Allah? Apakah ada saat Allah tidak hadir dalam kehidupan umat beragama? Dan bagaimana keadaan umat beriman dalam Allah? Agama tampaknya hanya membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang disediakan dalam misteri dan hanya membayangkan kebenaran yang pasti dalam ketidakpastian yang ditentukan sendiri untuk mengatakan tentang Allah. Misteri terbesar dalam agama adalah percaya bahwa Allah itu selalu ada dan hadir, walaupun kehadiran-Nya masih ada dalam kemungkinan-kemungkinan yang diciptakan sendiri.
Nietzsche hendak mengkritik homo religius atau kaum beragama yang mengakui diri sebagai umat Allah dan mengenal Allah, tetapi kualitas hidup sama sekali tidak menampilkan wajah Allah. Di manakah Allah? Allah menurut Nietzsche telah mati, dan umat-Nya yang membunuh-Nya. Kita bayangkan saja dalam berbagai kejadian atau peristiwa-peristiwa yang marak terjadi saat ini di dunia, terlebih khusus di Indonesia ini. Pemboman Gereja, larangan untuk membangun rumah ibadat agama lain, mencap umat beragama lain kafir, musuh, dan lain sebagainya. Secara konkret juga dapat kita saksikan dalam tindakan hidup umat beragama setiap hari, sering kali tidak menampakkan wajah Allah. Memusuhi saudara yang lain, membenci, menggosip, memfitnah, mencuri, merampok, menista, aksi pembunuhan, aborsi, pelecehan seksual, dan lain sebagainya. Pertanyaan Nietzsche, di manakah Allah dalam diri umat beragama, jika tindakan dan sikap hidup seperti demikian?
Kematian Allah: di Antara Nietzsche dan Homo Religius
Nietzsche lebih memilih untuk menjadi seorang ateis dari pada mengakui diri sebagai umat Allah. Sebab, Allah telah mati. Kritikan Nietzsche ini tidak bermaksud bahwa Allah mati ke-ada-annya, melainkan kematian Allah dalam pandangan Nietzsche ialah kematian Allah dalam diri umat beragama atau makhluk religius yang tendensi menghayati dan mempraktikkan imannya secara salah dan ekstrem. Nietzsche meyakini bahwa Allah telah mati dalam diri umat beragama. Sebaliknya pun, Allah juga telah mati dalam diri Nietzsche.
Baca: Bukan Ajang Pamer Busana Tradisional Semata(Refleksi Hari Kartini)
Terlepas dari fenomena tersebut, kritikan Nietzsche terhadap umat beragama menandakan adanya kepedulian Nietzsche terhadap cara dan corak hidup umat beragama, baik, umat Kristiani, Islam, Hindu, Buddha dan agama lainnya. Nietzsche tidak secara langsung menuntut semua umat beragama supaya mengubah tampilan hidup. Secara positif, Nietzsche membuka pintu kesadaran umat beragama, agar beragama secara rasional dan relasional.
Beragama secara rasional maksudnya ialah memahami seluruh ajaran dan doktrin agama dengan menggunakan nalar kritis dan sehat. Sehingga, pada gilirannya akan menuntun ke jalan yang benar dan baik serta mampu membedakan antara perbuatan yang baik dan jahat. Karena itu, kesesatan dan kejahatan atas nama agama sering kali datang dari kesalahan umat beragama menghayati ajaran agama secara tekstual dan harafiah. Agama yang belum tuntas mendeskripsikan ajaran agama secara rasional, berkonsekuensi pada penghayatan agama secara radikal dan ekstrem. Pada ujungnya, akan membentuk suatu sistem agama konservatif, inklusif, eksklusif, dan destruktif.
Baca: Allah; Seorang Petani dan Pekerja yang BerbelasKasih
Pada sisi lain, beragama itu harus relasional. Beragama secara relasional berarti agama harus membangun sebuah sistem relasi dengan kehidupan umat atau penganutnya. Singkatnya, beragama itu harus kontekstual. Agama kontekstual merupakan suatu cerminan sikap transparansi dan adaptif dari suatu agama. Keterbukaan terhadap konteks dan kondisi hidup umat tidak hanya sekedar membangun sebuah jalinan relasi antara agama dan konteks kehidupan umat, melainkan juga menyederhanakan dan menyesuaikan ajaran agama dengan situasi hidup umat. Hal ini berimbas pada pemahaman umat tentang agama. Umat akan mudah memahami ajaran agama dengan jelas dan bijak. Sehingga, memungkinkan umat memfilterkan antara apa yang baik dan buruk.
Pada aspek lainnya, sikap adaptif dengan fenomena lingkungan hidup umat dapat membangkitkan semangat perubahan dalam diri agama. Agama tidak menjadi konservatif dan primitif, inklusif dan destruktif, melainkan agama menjadi sarana komunikatif antara Allah dan manusia dan manusia dengan sesamanya.
Baca: Menambang Kekayaan Kearifan Lokal Manggarai
Iklim perubahan ini akan menghasilkan manusia produktif, konstruktif dan kolaboratif. Jika demikian yang terjadi, maka pola berpikir umat secara bersamaan akan berubah seturut citra makna agama itu sendiri. Dalam hal ini, Nietzsche hendak melukiskan bahwa kehidupan umat beragama semestinya memiliki cita rasa yang sama dengan makna dan arti dari agama. Agama itu membahagiakan, agama itu mendamaikan, agama itu membebaskan umat manusia, agama itu menghidupkan rasa cinta, kasih dan sayang, agama itu menyelamatkan semua orang, bukan menghancurkan hidup orang lain.
Oleh sebab itu, kritikan Nietzsche terhadap umat beragama pada akhirnya diakui bahwa Nietzsche ingin membebaskan manusia dari dosa dan kesalahan yang sering kali dilakukan atas nama agama dan Tuhan. Tuhan itu baik. Maka, ekspresikan wajah baik Tuhan dalam keseharian hidup.