Kisah Cinta di Ujung Savana
Oleh: Fransiskus Ndejeng
Kisah Cinta di Ujung Savana - Era tahun 1985 sampai tahun 1989, suatu masa emas bagi dua biduanita dan biduan, yang sedang mengayuh nasib meraih mimpi untuk menempuh pendidikan di kota Kupang. Ada tragedi yang dialami oleh seorang biduanita, ketika awal masuk sekolah ke suatu pendidikan tinggi di kota ini, antara persoalan menaruh harapan untuk menikah dengan seorang perjaka tamatan suatu sekolah tinggi di Pulau Sulawesi, tepatnya di Sulawesi Selatan, kota Makasar.
Sementara
si biduanita, antara harapan untuk terus melanjutkan kuliah atau menikah dengan
sang kekasih? Rasanya, terjadi perang urat saraf antara persoalan mengayuh
nasib dan atau mengayuh cinta. Ada pertentangan antara ibu muda,
bernama Suci dan dengan seorang lelaki perjaka, bernama
Santun. Tipe pemuda ganteng itu juga santun dan baik hati. Suci adalah seorang
ibu guru muda tamatan sekolah pendidikan guru (SPG) untuk dipersiapkan menjadi seorang
guru sekolah dasar. Sedangkan si Santun, adalah seorang lelaki perjaka tamatan
sekolah bidang ekonomi industri di salah satu perguruan tinggi swasta di kota
Makasar.
Keduanya,
sedang jatuh cinta dalam surat-surat cinta dari ujung
Selatan pulau Makasar dengan seorang calon guru muda cantik menawan hati di
ujung Barat Selatan Tenggara pulau Timor.
Tepatnya di kota kasih Kupang. Terkenal
dengan sebutan familiar adalah kota
Madya Kupang. Juga, Sebuah ibu kota provinsi NTT. Kota yang tersusun dari bekas
binatang bersel Satu disebut Anthozoa. Berevolusi menjadi batu karang, lama
kelamaan membeku menjadi sebuah pulau karang Atol. Pulau yang membentuk batu karang disebut pulau Timor.
Baca: Pena Malam Terakhir (Cerpen Afri Ampur)
Nah,
setelah si ibu guru muda sedang menyelesaikan proses pendidikan tinggi di kota karang,
hubungan di antara mereka semakin dingin ditelan
waktu. Berjalan tanpa ada kabar satu sama lain untuk menuju ke jenjang yang
lebih serius. Surat menyurat juga tidak sesering dulu lagi. Seolah-olah sudah
sirna bersama angin malam. Angin sepoi kota kupang.
Sampai
pada suatu ketika pulang libur, mendengar bahwa si pemuda Santun
sudah menikah dengan seorang gadis pujaan hati yang katanya jatuh cinta karena
keseringan bertemu di suatu kantor tempat mereka berdua kerja. Cinta tumbuh
karena hukum pendekatan.
Di
luar dugaan, pas di ujung selesainya proses pendidikan di Undana dan di Unwira sekitar
akhir bulan Agustus tahun 1989, bertemu untuk pertama kali dengan si ibu guru
muda, Suci dengan seorang perjaka lain, ganteng, baik hati, bernama
Engky. Engky adalah seorang sarjana yang baru selesai ujian akhir
Skripsi di FKIP Unwira Kupang Juli 1989. Sisah menunggu waktu wisuda tahun 1990, tepatnya, hari Sabtu, 26 Mei
1990, alumni angkatan kedua tahun itu diwisuda.
Bertemu
dan jatuh hati di ujung Savana bermakna dua insan sedang jatuh cinta di akhir
sebuah program Studi sebagai sebuah dambaan untuk membawa pulang selembar surat
cinta dan ijasah. Sekali dayung dua buah pulau terlampaui. Artinya hari
terakhir untuk menyelesaikan Studi seia-sekata dalam meraih mimpi dan meraih
cinta. Semuanya di luar perkiraan dan
dugaan sebelumnya. Cinta memang mulanya biasa biasa saja dan akhirnya serius
juga sampai menuju ke pelaminan. Di
ujung Savana di antara keduanya bukan tidak mungkin luput
dari tantangan demi tantangan dalam meraih cita-cita dan cinta. Butuh
perjuangan penuh misteri, kata orang cinta untuk saling jatuh cinta. Kata orang
cinta mesti berkorban. Kata orang cinta itu buta butuh proses yang tidak
semudah membalikkan telapak tangan.
Baca: Perjuangan Seorang Amelia
Cerita
ini diangkat dari sebuah fenomena yang menarik tentang “Jatuh Cinta Dua Insan
di ujung Savana”, kota Kupang, disebut juga kota Madya Kupang, NTT. Kita semua
pasti sudah tahu, bahwa kota Kupang sejak zaman dahulu kala dikenal sebagai
pusat sistem pemerintahan kerajaan Timor, dengan deretan raja- raja Timor,
seperti Sonbait. Mengendarai kuda pacu sebagai seorang pahlawan Timor melawan
dan mengusir penjajah dari tanah Timor, disebut dengan nama kesayangan yaitu
anak Timor (Oan Timor).
Oan
Timor lebih baik dari kepatuhan adat istiadat yang taat
dan tunduk patuh pada orang tua dan adat budaya leluhurnya. Dengan simbol
patung Kuda kenamaan dan kebesaran kerajaan Sonbait, berdiri gagah perkasah di
atas punggung Kuda guna mengusir penjajah penuh keringat darah dan air mata.
Patung yang terletak di depan Katedral Gereja Katolik kota Kupang. Simbol
keperkasaan Raja Timor pada waktu itu.
Kita
semua tahu, bahwa pulau Timor terkenal dengan tanaman khas Cendana wangi, yang
disebut dalam bahasa latin, Santalum
album, Lin. Kota Kupang sejak zaman Portugis, dan
dilanjutkan dengan kedatangan bangsa penjajah Belanda disebut dengan Senapan
bedil, semacam bunyi bedil, yaitu semacam senjata yang mengeluarkan bunyi “Cawpang”,
berarti Sapi yang tertembak. Atau bunyi
menembak Sapi.
Pulau
Timor selain tanaman khas Cendana, sebagai salah satu jenis rempah yang amat
digandrungi oleh VOC, juga penghasil ternak Sapi Timor yang terkenal
sampai saat ini. Kosa kata Kupang diambil dari sebutan bunyi ledakan ujung moncong
peluru penembak Sapi liar di pulau Timor, berbunyi : “pang...pang... pang...”, maka disebut dan diberi nama Cawpang, yang diterjemahkan,
Caw berarti “Sapi” dan pang berarti
“bunyi” senapan yang beresonansi menjadi
sebuah nama kota terkenal di Nusantara, yaitu “Kupang”.
Baca: Dia milik-Mu, Bukan Aku (Puisi Vivinsia Daro)
Seorang
penulis menyampaikan cerita pendek ini, dengan menulis
panjang lebar tentang kisah cinta dua sejoli; yang dari awal masuk sekolah di kota Provinsi itu, sebelum-
sebelumnya, tidak pernah bertemu muka sepanjang 4-5 tahun menggeluti kota
karang dalam meraih impian cita-cita. Sebuah
cerpen berkisah tentang jatuh cinta penuh rahasia di ujung Padang Savana pulau
Timor dengan onggokan batu karang yang bertebaran menggeliat di hampir semua
sudut sudut kota. Membuat sepatu anak sekolah, mahasiswa tertusuk tajamnya akibat
batu karang yang seperti bergerigi
tajam, tidak membuat ciut nyali untuk
menantang dua sejoli memadu cita di ujung cinta Padang Savana pulau Timor; guna
meraih cita cita demi masa depan di atas tebaran dan onggokan batu karang yang kadang tajam
bergerigi dan bahkan memiliki duri menusuk telapak sepatu bahkan bisa menembus bahkan
menusuk telapak kaki, sehingga sepatu anak sekolah mudah aus, robek dan berlobang.
Kendatipun
kerasnya tantangan batu karang dan panasnya suhu udara kota Kupang tidak
mengurungkan niat dua sejoli untuk meraih masa depan sesuai cita-cita
dan pesan ayah bunda yang berasal dari masing-masing kampung halamannya. Kendati
pun demikian, dua sejoli tak pernah bertemu sejak
bersekolah di kota karang sampai tamat dari kampus yang berbeda. Ketika seorang
mahasiswi di Undana Kupang, menjelang wisuda
tanggal 2 September 1989, bertemu dan bersua muka untuk pertama kalinya di
ujung titik perjuangan seorang pemuda gagah perkasa di bulan itu. Membuat hati
ingin menggapai mimpi-mimpi indah untuk
ingin menyampaikan ucapan salam sekadar basa basi ketika pertemuan dan kisah
kasih pada pandangan pertama. Dari suara yang khas dan tiada duanya, membuat si
pemuda ingin memikat hati untuk meraih mimpi di ujung Savana Pulau Karang.
Suatu
jaminan bahwa, si pemuda gagah perkasa itu,
sudah menyelesaikan tugas-tugas akhir dari kampus yang berbeda, yakni Unwira
Kupang. Di tahun 1989 ia
selalu penasaran ingin meraih mimpi-mimpi indah, bergulat dan
berpacu dengan waktu untuk menyampaikan apa isi hati yang sesungguhnya. Kendati pun
pergolakan batin dan perasaan bercampur
baur dengan keinginan hati untuk memiliki cinta tak bertepi, tetap saja selalu
menantang di tengah Savana sampai pada
ujung gapaian kisah cinta dua sejoli di ujung Savana cinta yang penuh harapan.
Baca: Nama Anakmu, Namaku ( Cerpen Afri Ampur)
Cerpenis
melukiskan kembali bagaimana kisah cinta penuh misteri dua sejoli di ujung
Savana itu! Sejak berangkat dari rumah kedua si joli mematuhi disiplin untuk
menggapai cita-cita tanpa krasak-krusuk kuatnya godaan duniawi yang akan
mengganggu perjalanan hidup menempuh cita
cita untuk meraih selembar ijasah sarjana di ujung cita dan cinta di ujung
padang Savana pulau Timor manise. Terbukti,
di tengah gerahnya suhu panasnya kota Kupang, tidak menggoyahkan hati dua
sejoli untuk berjuang untuk meraih cita-cita idaman masing-masing.
Kalau
si gadis bernama Suci berangkat dari kampung halaman sejak tamat sekolah
kejuruan yang kala itu, bernama Sekolah Pendidikan Guru (SPG) di sebuah kota
dingin Ruteng. Ketika hendak naik kelas
tiga SPG tahun pelajaran 1985/1986, minta
mutasi ke salah satu SPG Kristen Kota Kupang mengikuti saudara sulung yang
sedang mengenyam pendidikan di Fakultas Pertanian Undana Kupang.
Juga,
karena alasan dibully oleh seorang guru ilmu mendidik di sekolah
asal sebelumnya, karena ingin mencari cinta dengan kakak kelas yang tak kesampaian karena ketika dia tamat dari sekolah
guru, si kaka kelas memutuskan tali cintanya dengan si guru muda itu. Menuntut pertanggungjawaban untuk berpindah
haluan hati ke ibu calon guru Suci, secara memaksa, sehingga
membuat Suci itu meminta mutasi
pada orang tuanya, yang adalah pasangan suami isteri guru SD di daerah pedesaan
Manggarai Barat.
Setelah
tamat dari sekolah pendidikan guru (SPG)
di kota karang, si ibu guru muda yang cantik jelita itu pulang kampung dan
sedang ditunggu sang pacar idaman seorang laki-laki ganteng tinggi tamatan dari
sekolah tinggi di salah satu perguruan Indonesia Timur di Makasar. Pusat kota
perdagangan Indonesia Timur terkenal kala itu. Nama si pemuda
adalah Santun.
Si
pemuda tadi selalu datang ke rumah si ibu guru muda dan memberi harapan untuk cepat
masuk minta dan segera menikah. Dengan
harapan yang penuh gombal membawa segudang harapan harta benda demi mas kawin dengan
janjian biar bawa serta sekandang kerbau, asal jangan
berangkat kuliah dan memilih segera kawin. Tetapi,
karena kedua orangtua dari ibu guru muda itu, Suci, adalah orang berpengaruh
dan terpandang di desa itu, maka kelihatannya mereka selalu mendorong si ibu
guru muda agar melanjutkan kuliah baru boleh menikah.
Baca: Gadis Kecil, Wahai Sang Penegak (Karya Guidella)
Apalagi yang memperkuat harapan si ibu guru muda cantik
Suci itu adalah lulus tes masuk Sipenmaru (sistem penerimaan mahasiswa baru) di
Undana Kupang, satu satunya universitas negeri di NTT pada waktu itu. Dan,
termasuk langkah bagi kaum perempuan pedesaan yang lulus untuk memilih
melanjutkan kuliah di perguruan tinggi negeri atau pun di perguruan swasta.
Zaman itu, masih dianggap kuat dan kental
dengan budaya paternalistik, bahwa bagi kaum perempuan tidak usah melanjutkan
studi setinggi langit. Cukup kaum lelaki saja. Namun, motivasi dari ibu Suci, yang
adalah juga seorang guru yang berpengaruh di desa itu sering memberi motivasi
kepada kaum perempuan di desa agar sekolah sampai ke tingkat
lebih tinggi.
Ternyata,
gerakan moral dan spirit dari ibu kandung guru Suci tidak sia-sia
juga, dan dapat membuahkan hasil yang berbunga-bunga. Tetapi ada
pertentangan batin yang tak pernah usai. Melalui perjuangan dan doa siang dan malam
mama dan bapa juga dukungan si kakak sulung, tanpa henti bersama kiwi, harapan
menjadi kenyataan. Cinta hanya tepuk sebelah tangan.
Berakhir
di ujung Savana pulau Timor manise. Cinta tidak mesti bersatu. Ada tambatan
hati yang tak pernah layu ditelan waktu dan kerasnya perjuangan batu karang. Tetapi, awal awalnya kisah cinta si ibu guru muda tamatan guru
sekolah dasar, lazim disebut SPG, seperti tertelan bersama dinginnya suasana
hati yang lambat laun menghalau waktu demi
merespons kuatnya harapan di ujung
Savana kota karang Kupang, dengan berat hati meninggalkan kesan-kesan indah
namun enak di kota dingin waktu itu.
Seperti
suasana perang batin yang sulit terobati antara berangkat melanjutkan kuliah
dan melanjutkan urusan ke pelaminan. Antara kakak kandung dan pacar. Antara orang tua
dan pacar. Antara saya dan saudara-saudari, sebuah pilihan yang sungguh-sungguh
sulit.
Namun,
karena dorongan si ibu kandung tak bisa
terbantahkan, antara kehilangan akal dan mencari jalan keluar. Diam seribu bahasa. Dengan secara diam-diam ibu
kandung Suci, mengirim surat telegram ke
saudara kandung ibu Suci di kota karang Kupang agar datang segera menjemput saudarinya
yang sedang galau antara menikah dan kuliah.
Suatu
waktu, pada akhir pekan, biasanya pada hari Sabtu, ibu guru cantik itu dihantar oleh seorang
saudara kandung yang sedang sekolah di SMP Katolik di kecamatan. Menuju ibu
kota Kabupaten Manggarai, ibu guru pergi ke Ruteng untuk memasukkan surat lamaran
menjadi calon pegawai negeri sipil tahun 1986.
Suatu
pagi secara tiba-tiba di luar dugaan ibu guru pagi itu, ada kedatangan saudara
kandung dari Kupang untuk menjemputnya untuk berangkat ke Kupang melanjutkan
kuliah. Tanpa basa-basi si ibu guru sore harinya berangkat ke
Kupang dengan kapal Ratu lewat pelabuhan Kendidi Reo menuju Maumere Sika.
Meninggalkan luka sukma bagi calon pendamping laki-laki
idaman yang seolah-olah melepas genggaman merpati putih di atas tangan yang terbang melayang jauh di udara
tanpa kompromi.
Baca: Duka Gadis Desa (Cerpen Severinus M. Deo)
Sungguh
sakit hati ini! Di Sukmaku ini. Bahkan tidak makan dan minum air seharian dan merasa kenyang saban hari kurang
nafsu makan mungkin lebih dari seminggu. Seperti kerasukan
setan potiwolo ala Manggarai. Di pulau Jawa biasa disebut dengan istilah genderuwo.
Gadis
muda sekitar usia dua puluh tahun itu, adalah
seorang guru muda tamatan SPG tahun 1986, untuk mempersiapkan diri sebagai
seorang guru sekolah dasar; hendak
dipinang oleh seorang pemuda ganteng tambatan hati. Namun,
sibunda, bersih keras, bahwa si anak gadis itu, belum cukup dewasa untuk harus
menikah. Pilihannya, adalah harus berangkat kuliah di Pulau Timor tahun itu.
Sebab dari hasil testing masuk perguruan tinggi negeri dialah salah satu peserta yang dinyatakan lulus sistem
penerimaan mahasiswa baru (sipenmaru)
tahun 1986 itu.
Tentu,
hati siapa tidak galau antara melanjutkan kuliah atau melanjutkan urusan
peminangan cinta yang tak bertepi. Dalam pekan itu, si ibu guru muda itu,
berangkat menuju kota dingin Ruteng untuk mendaftarkan diri ikut testing CPNS, didampingi
oleh salah seorang saudara kandung yang
masih duduk di bangku SMP kelas VII. Juga, si
Abang tambatan hati ikut serta dalam urusan pekerjaan di kota Ruteng, ibu kota
Kabupaten Manggarai. Belum mekar menjadi 3 kabupaten pada waktu itu.
Ketika
pagi hari sekitar hari Senin, di luar dugaan si ibu guru muda dan Abang tadi,
tiba-tiba muncul dari depan pintu depan rumah seorang paman, sekitar pukul
08.35 WITA, saudara kandung ibu guru muda itu, ingin menjemput saudarinya tanpa
kompromi dengan si dia yang sedang gunda gulana di kota Ruteng itu.
Sorenya,
si kakak sulung dan seorang adik laki laki,
berangkat ke Reo, Kedindi, untuk terus ke Maumere dengan
kapal motor Ratu Renya Rosari. Sehari di Wisma mahasiswa Bukit Ledalero, dan keesokan
harinya, 31 Agustus 1986, melanjutkan perjalanan dengan menumpang pesawat Tween Other, merpati Nusantara Air Line,
take of to Kupang, sekitar pukul
14.15 WITA.
Baca: Sosok si Gadis Berbau Mawar
Hati
siapa yang tak galau, hati siapa yang tak sakit, antara
meninggalkan pacar dan melanjutkan kuliah? Ini sebuah pertentangan batin yang tak
mudah, namun suatu ketika pasti memiliki ending
yang sungguh menakjubkan! Tentu, sebuah pilihan yang sama-sama kuat dan sulit.
Kalau
memilih untuk sang pacar, padahal baru dikenal beberapa waktu saja. Lebih
sering komunikasi lewat surat menyurat saja. Itu zamannya agak sulit karena
harus ke kantor pos untuk mengirim surat, dan apalagi guru pembina SPG pada waktu itu sangat ketat. Semua
isi surat harus diketahui oleh suster sebagai pimpinan sekolah. Kalau dapat
surat dari sang pacar biasa dibuka isinya dan kalau kedapatan, biasanya kerah
baju digoyang, dengan suatu umpatan yang barang kali kurang enak. Mau sekolah
atau mau pacaran. Namanya siswa pada waktu itu sungguh patuh. Tidak seperti zaman
ini, serba bebas seolah jauh dari kontrol. zaman itu jarang kita mendengar dan
menyaksikan siswi hamil dibanding zaman ini. zaman itu disebut kuda gigit besi.
Zaman
ini besi gigit kuda. Kuda gigit besi dapat diartikan sebagai jaman yang masih
kuat memegang adat istiadat dari leluhur dan orangtua sebagai pemegang mandat. Sedangkan
zaman besi gigit kuda, berarti jaman sekarang yang lebih longgar terhadap
tatanan budaya dan adat istiadat setempat.
Jadi,
bumerang untuk kelanjutan sekolah bagi siapa pun yang memiliki anak perempuan. Sedangkan
untuk memilih kuliah merupakan suatu
dorongan yang kuat datang dari seorang kakakku yang sulung yang sedang mengeyam
pendidikan di Undana Kupang.
Di
samping itu, dorongan yang lebih kuat pula datang dari bundaku yang adalah
seorang tokoh pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah itu. Beliau lebih
suka anak–anak perempuan dari kampung
dan desa wajib sekolah setinggi langit untuk meraih gelar sarjana. Bahwasannya,
untuk menggapai urusan sekolah setinggi langit bukanlah saja bagi kaum lelaki,
namun, semua kaum perempuan bisa!
Baca: Pesan di Atas Kertas Putih (Cerpen Yakobus Syukur SMM)
Akhirnya,
cintaku hanya bertepuk sebelah tangan saja. Seorang lelaki
gagah perkasa, pacarku itu, dilepas tinggalkan di landasan pacu Bandar Udara Satar
Tacik, Ruteng; sekarang berubah nama menjadi nama babtisan baru, Bandar Udara Frans Sales Lega. Hati siapa tak sakit hati ditinggal pergi sang pacar idaman hati?
Kendatipun
demikian, sebagai seorang perempuan muda awalnya tetap galau dengan pilihan
pilihan itu! Namun, karena alasannya lebih kuat adalah pilihan hidup masa depan
dan saudara, maka saya berani memutuskan untuk meninggalkan si lelaki perjaka
itu. Dengan tidak memberi suatu harapan palsu untuk menungguh sampai selesai
kuliah baru boleh menikah. Diuji ketahanan mental untuk bertahan atau tidak
selama masa penantian itu! Yang tahu adalah hati yang berharap akan gapaian cita
cita dan cinta.
Eh
... rupanya, dari hari ke
hari terus berlalu. Minggu ke Minggu dan
bulan ke bulan dan tahun ke tahun dengan sendirinya
semua harapan sirna bersama waktu jua.
Kesibukan
demi kesibukan membuat semuanya berlalu. Berlalu dalam harapan dan kenyataan.
Gangguan demi gangguan seolah tak pernah berhenti dari ingatan yang membekas di
hati ini. Ada kesan terlintas dalam sanubari sang lelaki idaman adalah “burung
merpati di atas telapak tangan di lepas terbang menjulang tinggi tak pernah
kembali kepangkuanku”. Dia seolah-olah
perlahan menghilang ditelan waktu.
Oh
angin bawalah salamku di tengah kerinduan yang mendesah dalam dadaku ini. Aku
ingin memetik mawar kuning merah merona di dalam pelukan duri yang tajam itu,
namun tanganku tak sampai ke sana
karena aku takut tertusuk jarum tajam dari untaian duri-duri mawar yang indah
itu. Hanya mata yang boleh memandang akan indahnya bunga mawar tapi tangan tak
sampai menyentuhnya.
Ibarat
memandang indahnya seekor ikan mas yang cantik memesona di dalam akuarium yang tembus
transparan di pandang mata. Namun, tak
bisa merabah dan apalagi menangkapnya. Hanya mata yang bisa menikmati indah dan
cantiknya si ikan mas di dalam akuarium itu.
Setelah
tiga tahun berlalu, datanglah seorang pemuda ganteng memesona hati jiwa dan
ragaku, di luar semua perkiraan, dan semua harapan. Datanglah seorang pemuda
harapan tanpa basa-basi di akhir masa sekolahku, untuk melamar aku di ujung
Savana pulau Timor manise.
Baca: Celana Dalam Robek (Cerpen Fransiska Aurelia Susana)
Dia
adalah seorang pemuda sarjana baru selesai studi di salah satu perguruan tinggi
swasta ternama di kota Karang Kupang. Dia tidak pernah bertemu sekadar bertemu
iseng-iseng sebelumnya, selama sekian tahun bergelut di kota karang itu. Seolah
olah rahasia Sang Pencipta menitipkan pesan lewat ayah bunda tercinta dari
kampung halaman;
Nak... Engkau berangkat
sekolah dengan sungguh-sungguh jangan pernah mengecewakan orang tuamu dan dirimu sendiri. Karena ketika
kau selesai sekolah boleh memilih jodoh yang cocok sambil berdoa di pangkuan
bunda Maria sang perawan ilahi.
Benar!
Doa benar-benar terkabul di akhir masa
sekolah. Rahasia cinta ada di ujung Savana. Di ujung Savana artinya cinta
didapat di akhir masa sekolah di pulau karang, Timor.
Dapat berarti pula, bahwa itu datang dengan sendirinya ketika suatu perjuangan
didapat setelah menyelesaikan studi di pendidikan tinggi di pulau Timor itu. Cinta
direstui Tuhan manakala ijazah sudah diraih selama masa perjuangan di ujung
akhir masa studi di pulau Savana Timoriensis.
Di akhir
studi ada dua hal yang dibawa pulang ke rumah, yaitu ijazah dan cinta. Cinta
didapat akibat perjuangan cita-cita dalam
cinta. Cita-cita dan cinta berjalan berbarengan tak
pernah bertemu di kota karang, tidak
mengorbankan cinta sejati. Namun, restu
Sang Ilahi menjadi ukuran sebuah cinta dan cita-cita
yang menyatu dalam kalbu.
Akhirnya,
kedua insan yang bertemu di ujung akhir masa sekolah menemui tambatan hati yang
tidak pernah berpisah untuk selamanya,
bahkan sampai titik darah penghabisan dalam mengarungi lautan bahtera rumah
tangga abadi sampai maut yang boleh memisahkannya!
Selamat
membaca dan merefleksi tentang alunan langkah cita-cita
dan cinta yang mesti bersatu untuk sebuah kedamaian hati dalam hidup ini. Amin.
Kisah ini mau menunjukkan kepada sidang pembaca nan budiman, bahwa cita-cita dan cinta biasanya tidak berjalan sendiri. Namun, adakalanya, berjalan berbarengan dan bisa juga berjalan sendiri. Pada suatu titik perjuangan pasti menemukan jalan terbaik, penuh lika-liku, antara harapan dan kenyataan pasti terwujud apabila butuh dukungan orang lain, seperti orang tua, sanak saudara, sahabat , dan teristimewa adalah Sang Ilahi, penentu pilihan cita-cita hidup dalam cinta yang berakhir sampai maut memisahkan! Cinta tidak kemana-mana, karena cinta selalu indah pada waktunya.
Penulis adalah seorang praktisi pendidikan di Labuan Bajo, Flores.