WALHI NTT Gelar Diskusi Publik: “Menakar Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan Di NTT (1 Tahun Seroja) ” |
Mendorong pemerintah melakukan kajian risiko bencana dan pasca bencana di NTT
Membangun system penaggulangan bencana yang adaptif, antisipatif melalui penguatan kapasitas masyaraakat berbasis komunitas.
Melakukan kajian peta rentan bencana dan mempercepat pemulihan pasca badai Seroja dan memperkuat sistem peringatan dini
Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Nusa Tenggara Timur melaksanakan diskusi publik dengan tema “Menakar Kebijakan Pembangunan Berkalanjutan di NTT (1 Tahun Seroja)” yang dilakukan secara daring, Kupang, 19 April 2022.
Kegiatan diskusi publik ini melibatkan pemateri dari BPBD Provinsi NTT, Forum PRB NTT, Yayasan PIKUL NTT dan perwakilan DPRD Provinsi NTT serta organisasi masyarakat sipil (OMS) dan perwakilan warga yang terdampak bencana dari kelurahan Oebufu.
Dalam sambutan Direktur WALHI NTT yang diwakili Umbu Tamu Ridi menyatakan bahwa diskusi ini diharapkan melahirkan rekomendasi kepada pemerintah dalam kerja-kerja penanggulangan bencana di NTT di masa mendatang. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah rumusan dan startegi yang baik dalam penaggulangan risiko bencana.
Baca: Sopi Kobok dan Kearifan Lokal
Senada dengan itu Deddy Febrianto Holo selaku Koordinator Divisi Perubahan Iklim dan Kebencanaan WALHI menjabarkan perubahan iklim dalam konteks kebencanaan di NTT. Sejauh ini kebijakan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah di NTT masih sangat jauh dari konteks Undang-undang Nomsor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup dalam isu kebencanaan di NTT.
Data investigasi WALHI NTT menunjukan adanya tren kebijakan yang berorientasi pada poros utama ekonomi dan mengesampingkan lingkungan hidup. Potret krisis lingkungan ini menjadi indikator bahwa selama ini pemerintah di NTT mengabaikan keselamatan warga dan lingkungan. Hal inilah yang menimbulkan pertanyaan; mengapa perlu adanya desain kebijakan pembangunan yang benar-benar berjalan dan mengutamakan daya dukung lingkungan.
Bencana lingkungan hidup dapat diartikan sebagai bencana yang terjadi akibat intervensi manusia terhadap alam. Tindakan manusia yang merusak keseimbangan alam dapat berdampak langsung dalam menciptakan bencana lingkungan hidup yang pada akhirnya akan merugikan manusia itu sendiri.
Bencana yang sering melanda NTT terjadi akibat akumulasi krisis ekologi yang disebabkan oleh ketidakadilan dan gagalnya pengurusan alam yang mengakibatkan kolapsnya tata kehidupan manusia. Kondisi ini juga di percepat dengan dampak yang dilakukan oleh kegiatan manusia dalam mengelola lingkungan sehingga mempengaruhi pemanasan global.
Seperti yang terjadi hari ini di NTT di mana antara kebijakan pembangunan dan implementasi perlindungan lingkungan hidup masih jauh dari konsep pembangunan yang berkeadilan.
Bencana seroja di NTT merupakan salah satu akibat dari kebijakan-kebijakan pembangunan yang tidak ramah lingkungan. Oleh karena itu, perlu adanya konsep pembangunan yang berkelanjutan.
Selain itu, kebijakan pembangunan di NTT perlu memerhatikan daya dukung dan tampung lingkungan hidup khususnya di wilayah-wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang rentan terhadap ancaman bencana. Kita harus mulai memikirkan kembali bagaimana konsep pembangunan yang ramah dalam konteks pembangunan.
“Para pemangku kepentingan harus melakukan upaya pemulihan di mulai dari hulu yaitu kebijakan pembangunan yang mengedepankan prinsip pembangunan yang berkeadilan iklim, memementingkan keselamatan warga dan lingkungannya.”
Baca: Genesis Soul In A Box: Penyedia Katering di Jakarta dan Dasar Filosofis
Lebih lanjut Yuvensius Stefanus Nongga selaku koordinator divis Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kampanye WALHI NTT menuturkan bahwa sejauh ini pemerintah provinsi masih belum serius mengurusi urusan penaggulangan bencana pasca badai seroja di NTT.
Yuvensius juga menjelaskan hasil survey terbuka yang dilakukan WALHI NTT sejak 29 Maret 2022 sampai 10 April 2022 dengan mengambil sample di kota Kupang dan kabupaten Sumba Timur ditemukan fakta bahwa penanaganan pasca bencana terhadap kerusakan fisik terutama pada rumah tinggal mayoritas ditangani secara mandiri oleh masyarakat dengan dana pribadi dan pinjaman.
Selain itu, informasi peringatan dini yang didapat masyarakat sebesar 65% bersumber dari BMKG lewat media sosial, media masaa dan online. Namun data lain menunjukan bahwa 56,9 % responden menyatakan bahwa pemerintah provinsi NTT tidak siap menghadapi bencana pasca badai seroja di NTT.
“Meskipun peringatan dini dianggap sudah cukup baik, dampak kerusakan fisik dan psikis tidak terhindarkan. Hal ini dikarenakan tempat tinggal masyarakat masuk dalam wilayah rentan bencana.”
Lebih lanjut dalam diskusi publik, Ambros Kodo S.Sos selaku Kalak BPBD Provinsi NTT menjelaskan Stretagi penaggulangan Bencana Seroja di NTT bahwa ini kejadian insidentil, BPBD NTT sudah melakukan upaya-upaya penangulangan bencana sesuai dengan tupoksinya saat ini.
Kesan masyarakat bahwa pemerinta di NTT tidak siap menghadapi badai seroja pada April 2021 silam Menurut Ambros bahwa 56 bibit siklon seroja yang kemudian pecah di sekitar NTT dan masuk pada 5 April 2022, ini merupakan anomoli cuaca. Ini bukan pertama kalinya pada tahun 1973 terjadi siklon Flores yang menelan 1.500 lebih jiwa. Oleh karena itu, kita perlu melakukan upaya-upaya penaggulangan bencana di masa depan.
Ambros Kodo menyatakan peringatan dini merupakan faktor kunci dalam pengurangan risiko bencana di NTT. Oleh karena itu, kami mendorong koordinasi yang harmonis dengan BMKG dan tim teknis lainnya untuk bersatupadu memastikan informasi peringatan dini tersampaikan ke warga masyarakat melalui media-media komunikasi yang berkembang di masyarakat. Kami juga menyampaikan ke seluruh BPBD kabupaten/kota untuk melakukan koordinasi di semua stakeholder. Ujar Ambros
Di kota Kupang sudah ada 3 kelurahan yang anggrannya telah direalisasikan kemudian di kabupaten Rote Ndao sedang dalam proses dan di 14 kabupaten lainya di NTT sementara berproses, karena dana yang masuk di rekening BBPD di 16 kabupaten/kota terjadi pada 31 Desember 2021 ketika proses pengaangaran di kabupaten kota sudah berlangsung.
Menurut Ambros, yang menjadi kesulitan di daerah yaitu melakukan verifikasi dan validasi sebagai mekanisme yang di tentukan BNPB untuk kembali memastikan data-data calon pemulihan pasca bencana seroja dan saat ini masih sedang berproses. Namun, kesulitannya lainnya adalah dana pendamping belum juga teralokasi di kabupaten/kota.
Saat ini BPBD sementara menyusun rencana kontinjensi penaganan bencana cuaca ekstrem dengan dukungan mitra siap siaga kita melakukan uji rencana kontinjensi dan simulasi, galdi ruang dan gladi posko sampai dengan pelaksanaan apel siaga. Selain itu, kita Mmenodorong menajemen penaggulangan bencana berbasis personal dan mendorong kepedualian warga untuk penaggulangan risiko bencana. Saat ini pemerintah sedang melakukan menajemen data dan informasi kebencanaan sebagai asupan dasar dalam pengamsbilan kebijakan dan keputusan pimpinan daerah dalam penaganan bencana.
Selanjutnya Buce Ga selaku Forum Pengurangan Risiko Bencana (PRB) NTT mengemukakan indek bencana dari tahun 2015- 2021 dimana ancaman bencana seperti gempa bumi, tsunami, gunung api, banjir, tanah longsor, kekeringan, gelombang ekstrem/abrasi, kebakaran hutan, dan lahan serta cuaca ekstrem mencapai nilai IRB 142,52 dalam kategori sedang.
Menurut Forum PRB dalam konteks kebijakan pembangunan berkelanjutan di NTT ada beberapa poin penting yang perlu disiapkan oleh pemerintah diantaranya penguatan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim berbasis masyarakat.
Pembeajaran dari bencana Seroja menjadi penting bagi kita untuk merumuskan strategi penaggulangan yang tepat di masa mendatang, dimana kita perlu memperkuat fungsi koordinasi dan komando BPBD, koordinasi regular lintas sektor, selain itu memastikan proses rehab/rekon pasca seroja memenuhi kebutuhan masyarakat.
Selain itu untuk mendorong pengetahuan, inovasi, dan Pendidikan untuk membangun kapasitas dan budaya aman dari bencana di semua tingkat. Seperti tersedianya informasi yang relevan mengenai bencana dan dapat diakses oleh seluruh pemangku kepentingan, pengembangan system untuk berbagi informasi.
Baca: Analisis Perencanaan Audit Laporan Keuangan Pada Kap Thoufan dan Rasyid
Buce juga menegaskan agar pemerintah memperkuat kesipasiagaan terhadap bencana demi respon yang efektif di semua tingkat diantaranya tersedianya kebijakan, kapasitas teknis kelembagaan serta mekanisme penanganan darurat bencana yang kuat dengan prespektif pengurangan risiko bencana dalam pelaksanaannya.
Tidak lupa juga Buce menegaskan dalam arahan PERKA BNPB No. 3 Tahun 2012 tentang panduan penilaian kapasitas daerah dalam penangguangan bencana perlu adanya kajian risiko bencana daerah berdasarkan data bahaya dan kerentanan untuk meliputi risiko-risiko sektor utama daerah salah satunya dengan menyediakan system yang siap untuk memantau, mengarsipkan, dan menyebarluaskan data potensi bencana dan kerentanan-kerentanan utama, selain itu tersedianya system peringatan dini yang siap beroperasi untuk skala besar dengan jangkauan yang luas ske seluruh lapisan masyarakat. Ujar Buce
Senada dengan pernyataan di atas Tori Kuswardono selaku direktur PIKUL NTT juga mengingatkan pemerintah di NTT agar lebih siap lagi dalam adptasi, mitigasi penanggulanagn risiko bencana dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat.
Tory menjelaskan bahwa perlu dibangunnya system penaggulangan bencana dan pasca penaggulangan bencana yang sistematis. Saat ini kita menghadapi tekanan dinamis dimana system sosial yang buruk dibarengi dengan tidak adanya informasi, skill dan pengetahuan, pelayanan publik yang buruk, tata kelola pemerintahan yang buruk ditambah lagi dengan kondisi tidak aman seperti minimnya air bersih, lingkungan yang rusak, pembangunan yang tidak memenuhi standar serta kemiskinan menciptakan risiko bencana di NTT. Ini merupakan satu rangkaian utuh dalam konteks pengelolaan dan penaggulangan risiko bencan di NTT.
Untuk memastikan warga masyarakat aman dari bencana maka perlu dirancang sebuah metode yang tepat untuk mengurangi dampak bencana tersebut. Kita tidak bisa hanya bicara konteks menyelamatkan nyawa namun perlu juga menyelamatkan ruang-ruang penghidupan lainnya yang mendukung keselamatan warga.
Oleh karena itu, WALHI NTT memberikan rekomendasi kepada pemerintah di NTT dalam rangka penaggulangan risiko bencana;
Memperkuat sistem informasi dan peringatan dini di level masyarakat dan pemerintah
Memastikan proses rahab/rekon pasca seroja agar memenuhi kebutuhan masyarakat
Pemerintah harus melibatkan kelompok rentan perempuan dalam proses perencanaan, implementasi dan evaluasi penyelengaraaan penaggulangan bencana
Memberikan pelatihan, pengetahuan, ketrampilan dan penguatan kapasitas kepada masyarakat terkait dengan adptasi, mitigasi, dan pengurangan risiko bencana
Menalaah kembali berbagai kebijakan pembangunan yang mengabaikan keselamatan warga dan lingkungan
Pemerintah harus menyiapkan peta rentan bencana di NTT untuk memastikan upaya penaggulangan risiko bencana secara tepat dan cepat
Penulis: Deddy F. Holo
Koordinator Divivi Perubahan Iklim dan kebencanaan WALHI NTT
Kontak person : 0821 4518 3780
Email : deddyfebriantoholo@gmail.com