Oleh: Sil Joni*
Domain
kebudayaan Manggarai menyimpan aneka khazanah kearifan yang berpotensi menjadi
‘sumur kebijaksanaan’ bagi generasi saat ini. Sudah terlalu lama, mata kita
terpukau dengan ‘mutiara ilmu pengetahuan dan kebudayaan’ impor. Globalisasi menjadi ‘pintu masuk’
keterpikatan kita pada pelbagai entitas modern (global) tersebut.
Padahal,
jika ditelisik secara cermat, sistem ilmu pengetahuan dan paradigma kebudayaan
global itu, sudah ada dan hidup dalam tradisi kebudayaan kita. Tetapi, entah
mengapa, kita tidak lagi ‘terpesona’ dengan beragam warisan indah para leluhur
itu. Kita cenderung ‘mengkultuskan’ entitas yang bernuansa modern atau lebih
tepat produk yang dikreasi oleh orang asing.
Beruntung,
di tengah fenomen ‘marjinalisasi kultur lokal’ itu, masih ada pribadi atau
pihak yang berkehendak baik untuk menggali kembali ‘harta budaya’ yang hampir
punah itu. Pemerintah melalui kementerian pendidikan dan kebudayaan
(Kemendikbud) coba menginisiasi ‘gerakan’ menghidupkan yang mati itu.
Baca: Mereguk Dari Sumber Sendiri: Pancasila sebagai Local Wisdom di Tengah Kemelut Modernitas
Penerapan
Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila Berbasis Karakter (P5BK) dalam
kurikulum ‘merdeka belajar’, bisa dibaca sebagai ‘keterjagaan’ pemerintah
terkait dengan factum ketersingkiran
budaya lokal dalam era globalisasi ini. Salah satu item yang dipilih untuk
mengimplementasikan P5BK ini adalah kearifan lokal.
Tetapi,
tentu tidak mudah untuk mendesain dan mengeksekusi sebuah kurikulum di mana
kearifan lokal (local genuine) itu
diakomodasi. Kita tahu bahwa kebudayaan Manggarai itu sangat luas dan beragam.
Kita seakan memasuki hutan belantara ketika berbicara tentang budaya Manggarai.
Situasi
bertambah kompleks ketika disandingkan dengan kenyataan bahwa ‘hanya segelintir
orang saja’ yang benar-benar memahami dan mendalami pernak-pernik budaya
tersebut. Lalu, bagaimana kita bisa mengintegrasikan pelbagai ‘aset kultural’
itu ke dalam praksis pembelajaran untuk bidang P5BK?
Sadar
akan ‘keterbatasan’ semacam itu, SMK Stella Maris Labuan Bajo, pada Sabtu
(9/4/2022) menggelar sebuah lokakarya (workshop)
bertajuk penggalian kekayaan kearifan budaya lokal Manggarai. Pihak SMK ingin
mendapat perspektif yang lebih jernih dan utuh terkait dengan kearifan lokal
apa saja yang bisa dijadikan materi pembelajaran dalam bidang P5BK.
Baca: Internalisasi Keutamaan dalam Aktus Dodo Masyarakat Manggarai
Upaya penggalian ini, dibantu oleh dua orang ‘narasumber’ hebat yaitu Rm. Ino Sutam, Pr seorang budayawan, Ketua Komisi Budaya Keuskupan Ruteng sekaligus dosen di Unika St. Paulus Ruteng dan Adrianus Hamu, seorang pensiunan guru dan tokoh adat di wilayah Kempo. Keduanya dengan sangat elegan dan sistematis mempresentasikan ‘tatanan budaya Manggarai’ di hadapan semua staf pengajar SMK Stella Maris.
Workshop ini juga dihadiri oleh Koordinator
Pengawas SMA/SMK se-Kabupaten Manggarai barat (Mabar), Paulus Hansko dan Kepala
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Mabar, Pius Baut. Kehadiran Pak Paul dan Pak Pius
dalam lokakarya ini, tentu menambah wawasan dan pengetahuan para guru karena
keduanya ‘terlibat aktif’ dalam memberikan pikiran positif terkait dengan
urgensi dan signifikansi ‘penggalian emas tradisi lokal’ untuk dijadikan ‘materi
ajar’ dalam dunia pendidikan.
Sebetulnya,
orang yang punya andil dalam ‘menambang khazanah kearifan’ dalam perut budaya
Manggarai itu adalah kedua narasumber tadi. Mereka telah mendedikasikan
sebagian tenaga dan waktu untuk secara intens ‘masuk’ ke rahim budaya itu dan
menyadap pelbagai nilai yang relevan dan berguna pada masa kini. Bayangkan,
seorang Rm. Ino Sutam sudah mulai melakukan ‘penambangan’ terhadap harta rohani
nenek moyang kita itu, sejak beliau masih duduk di bangku SMA. Sedangkan bapak
Adrianus Hamu, sebagian besar waktunya dihabiskan untuk terlibat dalam urusan
ritual adat dan tampil sebagai ‘gembala budaya’ yang setia.
Baca: Budaya Sebagai Patokan Kehidupan Masyarakat Manggarai
SMK
Stella Maris sangat ‘beruntung’ bisa menghadirkan keduanya dalam panggung workshop itu. Para guru tidak harus
‘mengerahkan energi ekstra’ untuk melakukan penggalian di kedalaman perut
budaya Manggarai. Sebagaian besar dari ‘kearifan lokal’ itu, sudah tersingkap
dalam sesi lokakarya ini.
Kendati
demikian, tidak berarti tugas guru sudah berakhir dan tinggal mentransfer aneka
kearifan itu dalam proses pembelajaran. Apa yang dipaparkan oleh kedua
narasumber hanya berupa bahan mentah. Para guru, khususnya mereka yang
dipercayakan untuk mengajar bidang P5BK mesti mengelaborasi secara lebih jelas
dan dalam ‘materi workshop’ ini untuk
dijadikan ‘bahan ajar’ yang matang.
Kita
tidak ingin sebagian besar generasi muda saat ini menjadi ‘anak yang hilang’.
Mereka mesti ‘dituntun’ untuk berjalan pulang ke pelukan budaya lokal. Lembaga
pendidikan formal dipanggil untuk mengarahkan peserta didik agar semakin
mencintai dan berakar dalam kebudayaan lokal. Proses pembentukan karakter parasiswa, sebaiknya berpijak pada kearifan lokal.
Baca: Ujian Praktek UAS Bergenre Budaya Manggarai Raya
Budaya
(lokal) itu ibarat ‘air’ bagi ikan. Ketika kita ‘keluar atau tinggalkan air’ (kolam, lautan, sungai), maka kita mati, meski raga
kita masih perkasa. Tubuh (badan) akan rapuh ketika kita tidak lagi menghirup
‘roh keutamaan’ dalam tradisi lokal. Hidup kita menjadi pincang sebab berjalan
di atas landasan yang retak.
Manusia,
selain makluk peziarah, juga merupakan makluk menyejarah. Dalam proses perziarahan
itu, kita melintasi tiga alur waktu; masa lampau, masa kini, dan masa depan.
Kita semua dipanggil untuk menggali apa yang bernilai di masa lampau (termasuk warisan budaya leluhur) untuk
disintesiskan secara kreatif dalam praksis di masa kini, dan dijadikan panduan
atau pedoman hidup di masa mendatang. Dengan kata lain, manusia adalah
penggembala tradisi dan nabi untuk masa depan. Para guru mesti berada pada
garda depan dalam ‘menghidupkan dan melestarikan’ pelbagai harta peninggalan
nenek moyang yang dipandang masih sangat berguna untuk masa kini dan masa yang
akan dating.
*Penulis
adalah staf pengajar SMK Stella Maris Labuan Bajo.