Poro Duka yang Malang, dan Duka yang Terlupakan |
Poro Duka yang Malang, dan Duka yang Terlupakan - Kehilangan memang menyesakkan, terlebih harus merelakan orang yang dicinta pergi mendahului untuk selama-lamanya, Apa lagi sebuah kehilangan “yang tidak wajar”.
Tentu membutuhkan waktu yang tidak dapat dikira, kapan untuk benar-benar rela dan mengiklaskan.
Peristiwa naas merundung mereka (Istri almarhum Poro Duka dan kedua anak Yati dan Risal), Mereka kehilangan sosok ayah dan pelindung mereka untuk selamanya, Ayah mereka terbunuh demi tanah dan kehormatan.
Baca: Mencicipi Surga di Dunia (Konsep Kebahagian dan Aktualisasinya dalam Kehidupan Sehari-hari)
4 (empat) tahun lalu, persis pada tanggal 25 April 2018, sebuah kejadian kelam terjadi di pesisir Marosi, Lamboya, Kabupaten Sumba Barat.
Peristiwa itu bermula dari sebuah kegiatan pengukuran tanah oleh PT. Sutera Marosi Kharisma (SMK) bersama Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumba Barat yang diklaim sebagai tanah terindikasi terlantar.
Pengukuran tersebut tidak berdasarkan alat bukti yang sah, dan bagi masyarakat BPN dan perusahan telah mencaplok tanah hak milik dan tanah-tanah ulayat serta tempat ritual kepercayaan Marapu.
Poro Duka, seorang petani yang tidak rela tanah suku dan ulayatnya diklaim perusahan, berani secara bersama-sama keluarga dan kerabat menolak sepakat pada kegiatan pengukuran tanah tersebut, ia berdiri melawan, bertahan dan menolak dilanjutkan pengukuran lahan tersebut.
Nasip naas menimpa Poro Duka, Ia tertembak pada bagian dadanya dan meninggal dunia, Poro Duka dianggap menghalangi program pemerintah dan melakukan tindakan yang dapat merugikan orang lain.
Bahwa diduga kuat yang melakukan penembakan adalah “oknum” kepolisian yang mengamankan kegiatan pengukuran lahan perusahan untuk membangun hotel bintang lima di atas tanah suku orang Patiala bawa, Lamboya.
Sesaat setelah kejadian, kepolisian menyatakan, tidak ada penembakan, dan pengamanan yang dilakukan oleh kepolisian sudah sesuai prosedur hukum yang berlaku.
Baca: Menyambut Tahun 2022 sebagai Tahun Toleransi
Sedangkan hasil otopsi jenasah yang dilakukan di RSUD Waikabubak yang disaksikan keluarga, terbukti ada peluru dalam tubuh almarhum, oleh dokter forensik Bidokkes Polda NTT Kompol dr.Ni Luh Putu Eni Astuti saat gelar perkara di Mapolda NTT 15 Mei 2018 dalam (Jpnn.com), “ada luka berbentuk bulat dengan diameter 0,5 cm, dengan klem lecet di sisi kanan ukuran 2,4 cm, dan kiri bawah dan atas 0,2 cm yang menembus jantung hingga bilik kanan jantung almarhum.
Protes dan perlawanan publik sangat besar, aksi massa di mana-mana hingga ke Mabes Polri, Rapat Dengar Pendapat di Polda NTT dan di Pemerintah Daerah, Laporan ke Komnas HAM, Kompolnas, hingga Mabes Polri, namun semuanya berakhir diam, Kepolisian mengaku kesulitan “Tidak dapat mengetahui siapa penembak, dan juga tidak terdeteksi siapa pemilik peluru yang bersarang di jantung alm. Poro Duka”.
25 April 2022 ia berulang tahun keempat, harapan keluarga dan publik yang meminta tanggung jawab Polri sejak dulu, hanya berujung dimutasinya Kapolres Sumba Barat, AKBP Gusty Maychandra Lesmana, S.ik, MH, yang diputus bersalah dalam sidang etik yang dipimpin Divisi Propam Polda NTT pada tanggal 24 Mei 2018 di Mapolda NTT, Ia dianggap melanggar disiplin karena tidak mampu mengontrol bawahannya.
Dalam kesempatan sidang etik saat itu, turut hadir sebagai saksi, para perwira menengah, Kasat intel, Kabag Ops, dan Kasat Sabhara. Propam Polda NTT sebagai pemimpin sidang etik menegaskan bahwa pengamanan kegiatan pengukuran lahan pada tanggal 25 April 2018 di pesisir Marosi dianggap tidak sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP) pengamanan yang berlaku, lebih lengkap, (Baca Radar NTT-24 Mei 2018).
Jika serius mengkaji peristiwa berdarah itu secara hukum, Pengamanan massa yang mengakibatkan Poro Duka meninggal dunia, sangat jelas menyalahi hukum yang berlaku, secara khusus dalam Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa, Pasal 21 Ayat (1) huruf b dan h penegasan mengenai tidak boleh melakukan kekerasan yang tidak sesuai SOP, dan larangan tidak boleh melakukan perbuatan yang melanggar Undang-undang, dan ayat (2) huruf f mengenai kepatuhan dan ketaatan Polisi terhadap kesatuan lapangan yang bertanggung jawab.
Sedangkan apa bila aktivitas perlawanan massa saat itu dianggap bagian dari tindakan huru-hara maka rujukannya harus Peraturan Kapolri Nomor 8 tahun 2010 tentang Tata cara lintas ganti dan cara bertindak dalam penanggulangan huru-hara, terhadap tindakan massa yang dapat menimbulkan kerugian jiwa dan harta benda serta menimbulkan keresahan masyarakat, penegasan lain bahwa bagaimanapun tindakan tersebut harus menghormati Hak Asasi Manusia (HAM) dari setiap orang yang melakukan tindakan huru-hara.
Lebih jelas, jika secara khusus dilihat dalam Pasal 14 soal persiapan untuk penanggulangan huru-hara dalam jumlah besar harus atas perintah Kapolda, itu untuk massa yang berjumlah besar dan mengakibatkan ancaman korban jiwa dan harta benda.
Warga yang melakukan protes pengukuran lahan di Marosi tidak dalam jumlah yang besar, mereka bertindak seadanya bagaimana mempertahankan hak milik dan ulayat mereka.
PT.Sutera Marosi Kharisma merasa memiliki tanah dengan rujukan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB), sedangkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) tidak mampu menunjukan mana tanah terindikasi terlantar dan mana tanah yang bagi PT.Sutera Marosi Kharisma yang masuk dalam peta sertifikat Hak Guna Bagunan (HGB) tersebut, misalkan mengenai batas-batas dan keabsahan jual beli.
Baca: Mitos “Orang Sakti, Kaki, dan Mego” dalam Perspektif Feminitas-Kosmologis Suku Sara, Ngada
Penerbitan Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) PT.Sutera Marosi Kharisma sangat tidak berdasar hukum, perusahan berdalih telah membeli dari pemilik tanah pada tahun 1994-1995 namun tidak menunjukan bukti keabsahan jual beli, dan bidang-bidang mana yang telah diperjualbelikan.
Perihal transaksi jual beli tanah yang dilakukan oleh Alm.Umbu Samapati (Umbu Kupang) bersama beberapa pemilik tanah di Desa Patiala Bawa diakui warga setempat, namun saat itu tidak pernah dilakukan peninjauan tanah-tanah yang akan diperjualbelikan beserta ukuran dan batas-batasnya, mereka menjual tanah-tanah yang bagi mereka tidak dapat dimanfaatkan menjadi sawah/kebun, bukan seluruh 7 (Tujuh) bidang yang luasnya lebih dari 200 Ha tersebut dijual, termasuk tempat-tempat ritual kepercayaan Marapu.
Silang sengkarut kasus tanah Marosi hingga saat ini belum usai, masyarakat terus melakukan protes, sedangkan pemerintah sibuk membujuk pemilik tanah untuk memilih legowo.
Pada posisi ini, pemerintah daerah Sumba Barat menjadi semakin tidak berkomitmen untuk mengkawal persoalan yang merugikan rakyat Marosi secara ekonomi, dan bahkan nyawa.
Salah satu point tidak komitmennya pemerintah daerah adalah, tidak menyelesaikan kasus penerbitan sertifikat yang diakui timpang di Marosi, yang mana lewat pengakuan kepala Badan Pertanahan Nasioanal (BPN) Sumba Barat, Edward Simatupang pada tanggal 18 Mei 2018, yang mengaku bahwa terdapat sebuah sertifikat ganda di Marosi yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumba Barat.
Perihal ini sebuah catatan dan sekaligus bukti petunjuk bahwa kepemilikan sertifikat HGB perusahan PT.Sutera Marosi Kharisma adalah cacat administrasi, dan perlu ada proses pengkajian kembali sesuai hukum dan undang-undang yang berlaku, dan mengkaji secara utuh mengenai keabsahan jual beli, lokasi tanah yang dijual, dan sebagainya.
Ulasan di atas adalah sebuah refleksi, Bahwa sebenarnya secara hukum Alm.Poro Duka “Tidak salah”.
Refleksi 4 tahun kematian almarhum Poro Duka adalah upaya melawan lupa, upaya menegaskan bahwa rakyat akan tetap berdiri untuk kedaulatan hidup, Kematian Poro Duka menjadi pengingat, bahwa nasip rakyat tidak sedang baik-baik saja.
Kita tidak pernah tahu, apakah Poro Duka menjadi yang terakhir di pulau Sumba, pulau yang cantik eksotik dan beresiko ini, atau masih ada yang lain, seiring ada banyak kasus-kasus pengukuran lahan yang diduga sepihak dan arogan di pesisir pantai Dassang, Mambang dan Gaura di Lamboya Barat, Pantai Rua, Ngihiwatu, A’a Lamaluku, Umakalarung, Praimareda, Mori tana bakul, dan Katoda Teri di Kecamatan Wanukaka Sumba Barat, di tempat-tempat lain, seperti di Pantai Kambaru dan pantai Kalonjar, Tanjung Sasar dan Larawali di Sumba Timur, dan banyak tempat-tempat lain dengan karakteristik kasus yang beragam.
Tentu kita tidak ingin ada Poro Duka Lain, dan kepada pemimpin di daerah, elit-elit yang memiliki kuasa, agar tidak membiarkan pasar gelap jual beli tanah dengan berbagai modus janji, hadiah, dan iming-iming lain yang menggiurkan rakyat pemilik tanah terjadi secara bebas, Makelar (baca perantara) dan investor dengan berbagai macam latar belakang dan sumber daya ekonomi yang besar juga kekuasaan secara sosial bernegosiasi langsung dengan masyarakat pemilik tanah yang minim semua sumber daya, tentu ini timpang, dan banyak ditemui transaksi jual beli tanah yang timpang dan permainan harga yang tidak adil.
Pada titik ini, sangat cukup beralasan pemerintah di daerah menyiapkan skema evaluasi, peraturan daerah atau sejenisnya yang secara khusus mengatur mengenai standar pembatasan luasan tanah yang akan dijual, dan harga yang berkeadilan. Selain itu, perlu langkah antisipasi, oleh rakyat dan tentu semua pihak yang berkepentingan, terkait berbagai modus perampasan tanah.
Sebagai masyarakat sipil harus tetap resisten atas upaya-upaya kriminalisasi, hingga upaya-upaya pelemahan gerakan perlawanan rakyat terhadap perampasan tanah, apa lagi dengan menguatnya konsolidasi kepentingan ekonomi melalui pembentukan (Omnibus Law) Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020, yang minim elemen perlindungan sosial dan mengedepankan pendapatan dan kemudahan investasi, dibanding keberlanjutan hidup manusia dan wilayah kelolanya.
Poro Duka adalah korban dari pembiaran pemerintah, cacatnya adminstrasi, dan rapuhnya hukum, Menjadi pengingat untuk daerah-daerah tujuan wisata lainnya di Nusa Tenggara Timur.
Penulis : Umbu Tamu Ridi
Nomor Kontak : 0821 4694 1505