Oleh: Sil Joni*
Refleksi Minggu Palma: "Tuhan Memerlukannya". Hari ini, Minggu (10/4/2022), Gereja sejagat mengenang dan merayakan peristiwa Yesus memasuki kota Yerusalem sebelum diri-Nya menderita dan mati di salib. Seturut narasi biblis, dalam peristiwa itu Yesus disambut dan dielu-elukan sebagai seorang 'Raja'. Secara spontan umat yang melihat atau menyaksikan kedatangan Yesus itu, membentangkan pakaian, ranting dan dedaunan di jalan. Mereka bersorak riang dan berteriak lantang: "Hosana Putera Daud. Terpujilah Dia yang datang atas nama Tuhan. Hosana di tempat tinggi".
Ranting palem (palma) merupakan atribut dominan dalam peristiwa penyambutan itu. Mungkin atas dasar itu, hari (Minggu) yang ditetapkan Gereja untuk mengenang peristiwa itu disebut Hari Minggu Palma (Palm Sunday). Dengan demikian, sesuai dengan kalender liturgi Gereja Katolik, hari ini umat Katolik merayakan pesta Minggu Palma itu.
Baca: Pengaruh Keanekaragaman Budaya Terhadap Hidup Bakti di Indonesia
Selain mengacu pada 'fakta historis' dalam teks Kitab Injil, penggunaan daun palma dalam perayaan Ekaristi dalam setiap Hari Minggu Palma, memiliki nilai simbolis. Daun palma dilihat sebagai 'tanda kemenangan'. Ini semacam isyarat awal perihal kemenagan Yesus atas maut.
Selain itu, warna hijau pada daun palma itu, merupakan simbol 'kesuburan', terutama ketika musim semi tiba. Kita tahu bahwa pada musim kering, banyak tanaman mengalami penderitaan bahkan kematian. Singkatnya, musim kering itu identik dengan situasi yang serba susah. Tetapi, pelbagai kesusahan itu pasti lenyap ketika musim semi tiba. Yesus dipandang sebagai musim semi yang menghadirkan kehidupan penuh warna dalam sejarah hidup manusia.
Dalam tradisi Gereja Katolik, pasca perayaan Minggu Palma, kita memasuki 'masa pekan suci' yang puncaknya adalah Hari Minggu Paskah atau Hari Raya Kebangkitan Tuhan Yesus. Dengan demikian, saat ini umat Katolik sedang menikmati 'momen sakral dan berahmat' tersebut.
Baca: Mengapa Masih Tetap Sebagai Seorang Kristen Katolik?
Teks Injil (Luk, 19:23-45) yang dipakai dalam upacara 'pemberkatan daun palma' dan perarakan hari ini, cukup menarik untuk direfleksikan. Fokus permenungan saya adalah pernyataan Yesus dalam meyakinkan siapa saja yang melihat seekor keledai dilepaskan untuk ditunggangi-Nya dalam perjalanan ke Yerusalem itu.
Yesus menyuruh dua orang murid-Nya pergi ke sebuah kampung untuk melepaskan dan membawa seekor keledai muda yang sedang tertambat. Saya kira, boleh jadi dua murid itu, agak bingung sebelum mendengar penjelasan lanjutan dari Yesus. Bagaimana mungkin mereka 'harus melepaskan dan mengambil' keledai milik orang lain itu.
Tetapi, Yesus berusaha meyakinkan mereka. Bahwasannya, jika ada orang yang melihat dan bertanya mengapa keledai itu diambil, mereka mesti menjawab: "Tuhan memerlukannya". Tak ada lagi keraguan setelah mendengar kata-kata Yesus itu.
Kedua murid itu segera pergi ke kampung. Mereka mendapati keledai itu sedang tertambat. Pemiliknya sempat melihat dan bertanya kepada dua murid itu. Dengan enteng, mereka menjawab: "Tuhan memerlukannya".
Hanya dengan jawaban sederhana itu, perkara selesai. Tidak terjadi keributan dan konflik antara kedua murid dengan pemilik keledai. Keduanya berhasil melepaskan dan membawa keledai itu untuk ditunggangi oleh Yesus.
Saya kira, entah disadari atau tidak, dalam hidup ini, ada saatnya Tuhan memerlukan kita untuk memanifestasikan rencana-Nya. Artinya, kita menjadi 'sarana' agar sesama dapat mengenal dan memuliakan Tuhan. Kita menjadi seperti 'keledai' yang ditunggangi oleh sesama untuk tiba pada satu tujuan.
Baca: Pesan Paus Fransiskus Untuk Orang Muda Katolik: Jangan Menjadi “Tahanan” Ponsel”
Dengan segenap potensi dan bakat yang kita miliki, tentu menjadi 'sarana ideal' agar orang lain sampai pada Tuhan. Itu berarti setiap bakat yang kita kembangkan, sebenarnya bukan untuk membesarkan diri kita sendiri, tetap untuk memuliakan keagungan Tuhan par excellence.
Kita tahu bahwa bukan keledai yang disoraki atau dielu-elukan oleh warga Yerusalem kala itu, tetapi Yesus yang menunggangi keledai itu. Fokus perhatian orang adalah Tuhan, Penunggang keledai. Demikian pun kita, dalam terang iman, mesti tetap tampil sebagai 'keledai sederhana', yang memungkinkan orang lain melihat kebesaran karya Tuhan dalam diri kita.
Sebagai contoh, kemampuan menulis yang ada dalam diri seseorang, hendaknya dimaknai sebagai 'sarana mewartakan kebenaran, yang tidak lain adalah Tuhan sendiri. Itu berarti, bakat menulis itu merupakan sarana agar nama Tuhan semakin dikenal oleh banyak orang dan hidup sesuai dengan kehendak-Nya.
Baca: 10 Cara Menulis Artikel Lengkap dan Lansung Nomor Satu Di Google
Menarik bahwa Yesus tidak menggunakan kuda perkasa yang biasa dipakai dalam peperangan, sebagai 'kendaraan' menuju Yerusalem itu. Beliau justru memilih keledai, binatang yang relatif lemah, lugu, dan hina untuk menjadi tunggangan-Nya. Saya kira, ini sebuah indikasi bahwa Tuhan tidak memerlukan orang sombong, congkak, angkuh, pandai berperang, kuat dan liar dalam memperlihatkan diri-Nya di dunia ini. Sebaliknya, Tuhan memerlukan orang yang rendah hati, sopan, jujur, dan tulus dalam menuntaskan misi-Nya di tengah dunia.
*Penulis adalah umat KBG St. Matilda Watu Langkas.