Sapu Tangan Tuhan (Cerpen Efrem Danggur)
Oleh: Efrem Danggur
Sapu Tangan Tuhan-Akhir-akhir ini warga resah dengan kabar baru, seorang pemuda yang sudah mengobrak-abrik barang-barang jualan di pasar beberapa hari lalu. Tidak hanya itu, bahkan kabarnya ia juga getol mengkritisi tetua adat dan bahkan ia berusaha meyakinkan semua orang bahwa Tuhan yang kami nantikan sebagaimana dikatakan dalam buku suci kami adalah dia.
Banyak yang menganggap dia itu orang gila dan harus disingkirkan. Dari desas-desus tua-tua adat kampung pelaku tersebut harus diberi ganjaran setimpal, agar jangan ada peristiwa yang lebih buruk lagi apalagi banyak orang menyanjungi dan percaya pada apa yang dikatakannya. Ketua wilayah kami menghimbau agar hati-hati dan menganjurkan agar jangan cepat percaya dengan omongan si pemuda tersebut.
“Bapak, ibu, kakak dan adik-adiku sekalian, di wilayah kita saat ini sudah masuk suatu ajaran baru dan bisa jadi itu akan merusak kebudayaan kita yang sudah lama kita jaga, sejak nenek moyang kita.” Ketua wilayah kami dengan tegas penuh wibawa berceramah di hadapan warga kampung. Semua yang hadir serius menyimak, masing-masing mengekspresikan himbauan tersebut dengan gayanya. Ada yang menggeleng, ada yang mengangguk, ada yang saling menoleh berbincang dengan yang di samping kiri dan kanan, dan ada juga yang hanya diam sambil menatap ketua wilayah yang serius mensosialisasi himbauan untuk berjaga-jaga.
Baca: Golgota dan Cintamu Utuh (Puisi Efrem Danggur)
“Agar kalian ketahui, di wilayah kita ada seorang yang entah dirasuki oleh roh apa sedang berusaha mengindoktrinasi kita semua, parahnya itu dapat berimplikasi pada pelepasan kebudayaan dan adat-istiadat asli kita dan segera mengikuti ajaran baru yang ia tawarkan.” Ia melanjutkan dengan ekspresi seakan sudah naik pitam.
****
“Ibu kemana saja? Makanan sudah disajikan sejak tadi di meja, kami hanya tunggu Ibu untuk makan.” Sapa ku saat membukaan pintu untuk Ibu yang baru tiba di rumah setelah sepanjang sore tidak ada di rumah. Ekspresi Ibu sedikit mencurigakan, dia tidak memberikan penjelasan panjang lebar mengenai aktivitas apa dan sebenarnya ia pulang dari mana. Ia hanya bilang bahwa ia baru pulang arisan dari rumah teman. Anehnya Ibu hanya banyak senyum dan agak tenang tidak seperti biasanya.
Beberapa kesempatan belakangan ini aku melihat Ibu cukup sering berkumpul dengan beberapa orang dan sepertinya sibuk mendiskusikan hal-hal yang serius. Meski pun setiap hari harus ke ladang mengelola hasil tanah Ibu masih menyempatkan diri untuk bergabung dengan beberapa orang lain yang ia anggap perkumpulan itu merupakan sebuah komunitas sakral.
Baca: Menggugat Sunyi, Doa Persembahan (Antologi Puisi Anno Rebon)
Setiap kali aku menanyakan kejelasan maksud dari perkumpulan mereka, Ibu selalu mencegat ku dengan memberikan alasan sekedar meredakan rasa ingin tahuku. “Nak, akan tiba saat kamu mengetahui semuanya dan belum saatnya aku memberitahumu hari ini.” Kata-kata Ibu memang betul, lagian mengapa aku harus kepo dengan urusan orang tua. Apalagi hari-hari ini sejak Ibu aktif berkumpul dengan teman-temannya perhatiannya dalam hidup keluarga kami berbeda, ia juga semakin saleh. Bahkan ia selalu menasihati agar aku bisa tumbuh menjadi anak yang baik, mengutamakan kejujuran, mencintai semua orang dengan tulus.
“Nak, setiap orang yang kamu jumpai adalah sesamamu, sama seperti kamu ingin dicintai, dikasihi, dan diampuni, mereka (sesamamu) juga membutuhkan hal yang sama, maka lakukanlah hal bajik itu kepada sesamamu.”
Ibu menasihatiku seusai makan malam. Aku tersentuh dengan kata-kata Ibu. Aku juga sedikit menaruh curiga, kenapa berbeda dengan yang aku ketahui selama ini ‘gigi ganti gigi, mata ganti mata’. “Bukankah sebuah hasil diupahkan setimpal dengan tindakan? Bahwa pembunuh harus diakhiri dengan dibunuh. Mengapa ibu mengajarkan yang sebaliknya, tentang cinta, keikhlasan dan pengampunan. Dari mana hikmah yang ia peroleh?” Aku hanyut dalam nalar kristisku.
****
Riuh suara riak menggelegar di sepanjang bukit tengkorak. Tubuh-tubuh berdiri berjejeran, ada yang menangis, ada yang tertawa sinis dan ada juga yang tersenyum puas. Sepintas lalu aku menyimak desas-desus para pemuda yang tampangnya bringas. “huff,, akhirnya kita berhasil menuntaskan manusia itu, dan hari ini kita juga membuktikan kepada orang-orang bahwa ia bukanlah siapa-siapa selain manusia biasa, seorang sederhana yang hanya ingin mencari popularitas di daerah ini dan dia bukan Tuhan sebagaimana telah dikatakannya”.
Baca: Genesis Soul In A Box: Penyedia Katering di Jakarta dan Dasar Filosofis
Di puncak bukit itu tiga kayu palang berbentuk salib tertancap kokoh. Teramat jelas aku melihat itu bukan sekedar kayu yang tertancap, tapi tiga orang ikut dipaku di atasnya. Sesosok tubuh yang bergantung di salib bagian tengah tampak bermandikan darah, tubuhnya penuh bekas-bekas cambuk dan luka robek duri memenuhi dahi dan punggungnya. Tragis.
“Wah, ketidakadilan apakah ini. Kesalahan apakah yang dibuat orang itu sehingga seharusnya ia disiksa dengan cara demikian?” Batinku. Perlahan aku mendekat ke arah salib itu berdiri. Seorang yang dipakukan di salib bagian tengah menggerakkan kepalanya lalu menengadah ke langit sepertinya memaksimalkan posisinya agar bisa bersuara. Bibirnya bergetar hebat, air mata tumpah meleleh. “Eli, Eli lama sabakhtani?” Dalam sekejap bunyi guntur menyambar, bumi berguncang hebat. Di sampingku seorang berpakaian prajurut Romawi mengakui “sungguh Dia ini adalah Anak Allah. Dia ini Tuhan”.
****
Hari ini pikiranku sudah dikacaukan pemandangan penyiksaan keji di bukit tengkorak. Aku protes pada kecerobohan manusia yang tidak punya rasa empati. Menghukum yang salah tidak seharusnya melalui cara itu. Menyiksa, mencambuki, disalibkan. Itu keji. Naif. Itu tidak pantas diperlakukan bagi manusia. Terlalu sadis. Kali ini aku sepakat dengan nasihat Ibu tentang pengampunan. Kita ini manusia yang tak luput dari salah.
Baca: Appropriate Digitaly: Digitalisasi yang Kontekstual
Belum sempat aku masuk ke dalam rumah, aku melihat Ibu menangis meraung di beranda. “Bu, apa yang terjadi? Mengapa Ibu bisa menangis?” Tanyaku. “Nak, satu dari ketiga orang yang mati disalibkan tadi itu Yesus. Dia itu bukan manusia biasa nak, Dia itu Tuhan. Dialah yang mengajarkan hal ikhwal kebajikan kepada Ibu dan beberapa orang lainnya. Dialah orang yang memelekkan mata orang buta waktu itu, membangkitkan Lazarus, menyembuhkan perempuan yang pendarahan dan mengusir setan dari yang kerasukan. Mengampuni orang berdosa. Mengajarkan bahwa Allah kita adalah Allah yang Maha Rahim. Dia itulah orangnya nak. Dialah Tuhan.”
Isak tangis ibu semakin menjadi-jadi. Sepotong sapu tangan Ibu sodorkan kepadaku. “Nak, Tuhan menghadiahkan aku dengan gambar wajah-Nya di sapu tangan ini saat ia jatuh tersungkur di dekat gerbang depan kota siang tadi”. Spontan aku tersungkur di depan Ibu dan menangis.