Oleh: Sil Joni*
Hampir semua artikel opini saya, 'diracik'
dalam momen kesendirian. Tampaknya, kondisi kesendirian, memungkinkan kita
untuk berkreasi dan berproduksi. Tetapi, hampir pasti, saya tidak pernah menyusun
sebuah tulisan dalam suasana kesepian.
Kendati demikian, produktivitas dalam momen kesendirian, bisa termanifestasi,
jika dan hanya jika 'kesunyian' merajai hati kita. Hanya 'kesunyianlah' yang
memungkinkan 'dialog batin' bisa terlaksana. Actus kontemplasi (berpikir
reflektif) dapat terwujud di tengah latar kesunyian itu. Jadi, kesunyian itu
ibarat 'pupuk' yang menyuburkan daya bayang atau imajinasi intelektual kita.
Bisa dipastikan bahwa mereka yang 'mencintai
atau akrab' dengan kesunyian, dengan sangat kreatif memaknai momen
kesendiriannya. Tetapi, ketika kita 'takut' dengan kesunyian atau berusaha
menghindari situasi itu dengan memproduksi bunyi (baca: berbicara) sebanyak
mungkin, maka pada saat itu pikirannya menjadi kerdil.
Saya teringat petuah bernas dari pujangga
termasyur Libanon, Khalil Gibran. Dalam bukunya berjudul The Prophet (Sang
Nabi), beliau menulis: “Dari banyaknya kamu berbicara, setengah dari
pemikiranmu terbunuh. Karena pikiran adalah seekor burung angkasa, yang di
dalam sangkar kata-kata mungkin membuka sayapnya tetapi tidak dapat terbang”.
Ketika dirinya diminta untuk membahas tentang
‘berbicara’, dia menjawab: "anda berbicara ketika anda berhenti berdamai
dengan pikiran anda. Dan ketika anda tidak dapat lagi tinggal dalam kesunyian
hati anda, anda tinggal di bibir anda, dan suara adalah pengalihan dan
hiburan".
Tentu, kita boleh saja 'tidak sepakat' dengan
pendapat Gibran ini. Tetapi, rasanya kesunyian itu merupakan 'sebuah
kebutuhan'. Kita bisa melahirkan semacam 'anak rohani' yang termanifestasi
dalam aneka karya kreatif, dalam dan melalui situasi yang sunyi itu.
Sangat disayangkan jika 'burung pemikiran,
ide, gagasan', terkurung dalam sangkar 'nafsu berkata-kata'. Boleh jadi,
kehendak untuk banyak berbicara itu dianggap sebagai 'kompensasi' atas situasi
sepi yang mencekik jiwa seseorang. Kita berusaha menghindari 'kesepian' itu
dengan 'berakting, berlagak' seolah-olah susana batin bertabur rona bahagia.
Padahal, dari pelbagai testimoni para
mistikus, penyair, dan filosof kita mengetahui bahwa sesuatu yang menakjubkan
mulai terjadi ketika seseorang menghabiskan banyak waktu dalam kesendirian di
tengah latar yang sunyi. Akan sangat bagus jika momen kesendirian itu terjadi
di alam bebas. Kita akan merasakan semacam 'mukjizat' dari kesendirian yang
sunyi itu (The miracle of lonliness) itu.
Saya kira, dalam dan melalui momen kesendirian
itu, kita bisa 'menjelajahi' diri kita secara bebas. Proses pengenalan terhadap
potensi diri, akan terjadi dalam momen kesendirian itu. Kesendirian itu semacam
pengulangan kembali pengetahuan diri kita yang terdalam, sebuah pembelajaran
kembali tentang bagaimana menjadi diri sendiri, diri yang paling otentik.
Mungkin pendapat Novelis Amerika Wendell Berry
berikut ini tampak berlebihan. Kita boleh saja tidak setuju dengan pemikirannya
tentang 'tempat ideal' untuk mendengar suara batin kita. Beliau mengamati dan
menyimpulkan bahwa “kesendirian sejati ditemukan di alam liar, di mana
seseorang tanpa kewajiban manusia, tempat di mana suara batin seseorang dapat
didengar.”
Saya berpikir, pendapat sang novelis itu
terlalu berbau romantika. Sebetulnya, suara hati itu bisa didengar di tempat
yang lain juga. Ketika kita berada dalam 'ruang doa atau meditasi' seorang
diri, maka besar kemungkinan 'suara batin' itu bisa didengar. Pun, ketika
berada dalam ruang baca seorang diri, maka percakapan dengan 'hati nurani' itu
bisa berlangsung intens dan efektif.
Poinnya adalah bukan soal 'tempat', tetapi
kemauan atau komitmen untuk 'menggauli' secara intim momen kesendirian yang
sunyi itu. Kerelaan untuk 'tutup mulut'
sejenak, menjadi kunci merasakan keajaiban dari momen kesendirian itu. Ada
ungkapan yang menarik untuk kita renungkan: “Siapa yang tahu tidak
berbicara. Siapa yang berbicara ia tidak tahu". Filsuf Sokrates dengan
sangat indah mengatakan: "Saya tahu bahwa saya tidak tahu".
Ketidaktahuan itulah yang memungkinkan seserang 'mengembara' dalam pencarian
akan kebenaran hakiki dalam batinnya.
Di seminari, ada sebuah 'tradisi' menciptakan
dan menghayati situasi yang sunyi itu. Kebiasaan itu dikenal luas dengan
istilah yang sangat indah 'silentium' (hening). Dalam satu hari, selalu
tersedia waktu untuk menjaga dan menikmati 'situasi hening, silentium' itu.
Itu sebuah 'latihan' yang bagus bagaimana
seorang 'calon pastor' dibiasakan untuk mencintai kesunyian. Silentium itu
bukan sekadar 'tidak berbicara', tetapi membuka diri agar 'Suara Sang Sunyi'
boleh melintas dalam celah jiwa kita. Kita menjalin semacam 'dialog metapersonal'
dengan Yang Transenden.
Seorang 'seminaris' boleh mengalami 'momen
perjumpaan' dengan Sang Sunyi pada masa silentium itu. Namun, terkadang
'kesepian' datang menghadang. Kesepian adalah kondisi patologis yang bisa
menghambat perjumpaan dengan 'Yang Kudus' itu. Mengapa?
Kesepian adalah suasana emosional yang
ditandai dengan 'rasa tidak nyaman dan cemas' dengan situasi kesendirian itu.
Bahkan, di tengah keramaian pun, bisa saja, virus kesepian itu datang menyergap
seseorang. Ada orang yang 'merasa sepi' di tengah orang banyak.
Ketika kesepian itu datang, maka rasanya, kita
sulit mendengarkan suara Sang Sunyi itu. Hati kita 'terganggu' oleh pikiran
negatif yang kita ciptakan sendiri terkait dengan defisit relasi dan komunikasi
dengan pihak lain. Bisa dipastikan bahwa produktivitas dan kreativitas dalam
berkarya 'mustahil' dihasilkan oleh pribadi yang menderita 'kesepian' itu.
Karena itu, tugas kita adalah bukan hanya
mengutuk kesepian itu, tetapi coba 'mengolahnya' menjadi sebuah momen
kesendirian yang produktif. Proses mengelola 'kesepian' menjadi kesendirian di
tengah latar yang sunyi, amat menentukan bagi sebuah kehidupan yang berbuah
lebat.
*Penulis tinggal di Watu Langkas, Labuan Bajo, Flores.