Wae Bobok, Jangan Diobok-obok! |
Di saat sebagian besar warga-net 'memamerkan' aneka foto dalam rangka memeriahkan Hari Kartini, sebagian orang Boleng terkesan 'begitu antusias' memposting foto kegiatan peresmian Wae Bobok sebagai destinasi wisata alam oleh Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat (VBL). Seremoni peresmian sepertinya bertepatan dengan momen peringatan salah satu pahlawan nasional yang dikenal luas sebagai 'tokoh emansipasi', R.A. Kartini.
Gubernur VBL, di tengah kesibukannya sebagai pemimpin politik top di Propinsi ini, masih ada waktu dan begitu bersemangat untuk datang ke Wae Bobok guna meresmikan tempat itu sebagai 'spot wisata' popular di Manggarai Barat (Mabar).
Sebuah pertanyaan nakal muncul dalam benak saya. "Apa pentingnya upacara peresmian itu"? Masalahnya adalah Wae Bobok sudah sejak empat tahun terakhir sudah menjadi salah satu spot wisata alam favorit di Mabar. Lalu, apakah status Wae Bobok sebagai obyek wisata bersifat ilegal sebelum diresmikan oleh pemerintah? Dengan rumusan lain, apakah upacara peresmian itu memengaruhi keberadaan sebuah obyek wisata?
Tentu, hanya VBL dan timnya yang tahu pasti soal urgensi dan signifikansi ritual peresmian itu. Sebagai orang Boleng, saya sangat bangga dan memberikan apresiasi yang tulus kepada sang Gubernur yang mencurahkan perhatian yang besar terhadap eksistensi Wae Bobok sebagai spot wisata alam yang potensial dan menjanjikan.
Ada apa di Wae Bobok sehingga 'tuan gubernur' datang untuk menemuinya dan mengukuhkannya sebagai obyek wisata? Apakah spot-spot wisata lain di Mabar 'kurang seksi' sehingga belum diurapi secara politis sebagai destinasi wisata melalui tangan Gubernur?
Baca: Soal MPP yang Dipimpin Wapres RI, Ma’ruf Amin di Labuan Bajo, Begini Kata Bupati Hery Nabit
Mungkin selama ini, pihak kehutanananlah yang punya andil besar dalam 'menyulap' Wae Bobok sebagai 'tempat rekreasi publik'. Kita tahu bahwa kehutanan sekarang berada di bawah 'komando' Pemerintah Propinsi (Pemprov). Rasanya logis, jika Gubernur yang turun langsung meresmikan tempat itu sebab Wae Bobok dipandang sebagai salah satu mahakarya pemprov dalam bidang kepariwisataan. Pihak Kehutanan yang menemukan sekaligus menata Wae Bobok sebagai spot wisata alternatif di Mabar.
Jika logika ini kita terima, maka sudah sepantasnya seluruh masyarakat Kecamatan Boleng mengucapkan terima kasih kepada Pemprov, khususnya gubernur VBL. Terus terang, bagi orang Boleng, gubernur VBL dinilai 'sangat sukses' menjawab kerinduan masyarakat terkait pembangunan infrastruktur jalan dan listrik di wilayah ini.
Kini, Wae Bobok sudah 'naik kelas'. Dulu, Wae Bobok itu hanya tempat 'istirahat sambil makan siang' bagi warga yang berpergian dari Terang ke Labuan Bajo dan sebaliknya. Setelah lelah menyusuri punggung bukit dan pegunungan, Wae Bobok adalah 'oase' yang menawarkan kesejukan, keindahan, dan kedamaian bagi para pejalan kaki (pelancong).
Ketika Wae Bobok sudah menjadi 'destinasi wisata favorit', maka kolaborasi pelbagai pihak dalam menjaga keberlanjutan aktivitas turisme di sini, menjadi sebuah keharusan. Wae Bobok tidak boleh diobok-obok untuk tujuan yang tidak ada kaitannya dengan pariwisata yang berkelanjutan.
Saya setuju dengan pendapat dari gubernur VBL soal pentingnya spirit kolaboratif ini. Dalam akun facebook pribadinya, Kamis (21/4/2022) beliau menulis: "Perlu kolaborasi baik dari kementerian Lingkungan Hidup, UPTD Kesatuan Pengelolaan Hutan dari Dinas Kehutanan maupun antara Bank NTT dan juga Yayasan Bambu Lestari untuk pengembangan wisata hutan ini. Salah satunya yaitu membangun Homestay yang ramah lingkungan sehingga desa Binaan Bank NTT ini tertata dengan tetap menjaga kelestarian hutan dan kearifan lokal".
Kendati demikian, gubernur VBL agak keliru ketika tidak menyebut peran warga lokal sebagai salah satu stakeholder dalam pengembangan wisata alam itu. Tentu, agak mengherankan ketika skema kerja kolaboratif itu tidak melibatkan masyarakat setempat. Padahal, kontribusi mereka dalam menata dan menjaga keindahan obyek wisata ini, tidak bisa dipandang sebelah mata.
Baca: Literasi dan Pariwisata (Catatan ‘Orasi Literasi’ dari Bunda Baca NTT)
Gubernur VBL hanya menyentil soal kebiasaan merokok di area wisata Wae Bobok itu. "Saya melarang keras ada yang merokok di kawasan wisata alam Wae Bobok", tulis VBL dalam akun facebook pribadinya.
Saya berpikir, peran yang dimainkan oleh masyarakat tidak hanya soal kebiasaan merokok di area wisata. Pemerintah mesti 'mamfasilitasi' aneka pelatihan yang memungkinkan warga bisa memberi arti terhadap keberadaan spot wisata itu. Apa yang semestinya masyarakat bisa buat agar boleh mendulang untung dari gemuruhnya aktivitas kepariwisataan di lokasi itu. Kita tidak ingin masyarakat menjadi 'penonton' atau semacam obyek penderita dari mereka yang diberi otoritas untuk menata kawasan itu.
Bagaimana pun juga, himbauan atau lebih tepat 'larangan untuk tidak merokok di Wae Bobok' yang meluncur dari mulut VBL, sangat penting untuk diperhatikan oleh semua pihak. Seperti yang disinggung oleh VBL sendiri bahwa kita mesti 'menghargai hutan yang telah memberi kita makan. Kita tidak hanya membangun ekonomi dan budaya, tetapi juga alam sehingga tetap lestari untuk generasi penerus'. Wae Bobok, jangan diobok-obok agar keindahan atau pesonanya tidak pudar.
Oleh: Sil Joni*
*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.