Belajar dari Ayam
Saya punya hobi sederhana. Setiap sore duduk di baranda belakang kamar, sambil merokok dan ngopi. Ada hal yg selalu menarik perhatian saya, yaitu kumpulan anak ayam yang sedang lincah-incahnya, lari, lompat, terbang kecil mengikuti gerak induknya. Bahagia mereka adalah mengikuti induk dan berada dalam pengawasan sang induk.
Dulu saat masih bocah, pekerjaan wajib saat senja adalah "iring manuk" yang artinya memasukkan induk dan anak ayam yang belum lepas induk, ke dalam sangkar atau kandang kecil. Itu pekerjaan yang paling sederhana namun bisa berakibat fatal jika dilalaikan: dikotbahi ibu, dicubit kakak nona, dibentak kakak laki-laki sambil disuruh cari ayam malam-malam, dalam kegelapan. Kala itu, senter adalah barang mewah, "barang lux". Ibu janda sembilan anak, tinggal di pedalaman, jauh dari hiruk pikuk kota plus kios serba adanya, tidak akan mampu membeli senter. Ayam hilang, jatah makan malam pun terancam hilang, dan tidur pun diiringi bunyi perut kosong.
Baca: PemantapanKemampuan Profesional Guru Sekolah Penggerak
Namun, jika dikenang kini, pekerjaan kecil berikut hukuman tidak tertulisnya membentuk kharakter kami saat ini, bahwa tanggung jawab dalam tugas adalah penting. Hukuman utama dari kelalaian, bukan pukulan atau siksaan dari luar melainkan rasa bersalah dan beban batin yg rumit dikendalikan. Jika sudah lalai, batin tersiksa, susah tidur dan tidak bersemangat. Maka, cara paling tepat menenangkan batin adalah bertanggungjawab terhadap tugas! Itu tentang pelajaran masa kecil.
Kembali ke kawanan ayam-ayam kecil.
Harus saya akui bahwa saya agak lemah dalam menafsir ide-ide para pemikir, walaupun saya kuliah filsafat dan teologi. Ilmu filsafat dan teologi saya ambil setitik untuk hidup, namun tidak memiliki kemampuan untuk membaca, mengerti apa lagi menafsir dan merangkai pemikiran besar para filsuf dan teolog kenamaan yang saya dengar di bangku kuliah Dulu saya belajar hanya agar luput dari yg namanya "her" atau ujian ulang. Mendapati nama terpampang di papan informasi kampus sebagai orang yg "tidak lulus" adalah satu yg memalukan. Itulah sebabnya saya baca lalu jawab waktu ujian lalu idenya lupa. Namun saya masih membawa pesannya. Karena cara paling tepat menenangkan batin adalah bertanggungjawab, untuk bahagia, anda harus bertanggungjawab. Termasuk tanggung jawab menyelesaikan studi.
Baca: RevolusiPendidikan Dari Death Valley (Studi Kasus di SDI Golo Roke, Lamba Leda,Manggarai Timur, NTT
Saya belajar banyak dari hal yang sederhana. Salah satunya adalah dari: "iring manuk, dan tingkah ayam-ayam kecil".
Dulu di paroki dan kini, saban senja, saya tertarik menyaksikan ayam para tetangga belakang biara. Saya fokus pada ayam-ayam kecil yang sedang melatih terbang.
Kronologi awal hidup ayam di mana saja, hampir sama. Induk ayam mendahului anak-anaknya terbang ke pohon dan mengambil posisi dahan teratas. Dia naik sambil berkokok, bersahut-sahutan dengan kokokan anak-anaknya yang sedang berjuang mencari haluan untuk terbang menggapai dahan terendah.
Bagi saya, pemilik ayam cukup bijaksana; mereka tidak menyiapkan tangga, atau kayu atau alat bantu apa pun yang menjadi jembatan pendekat jarak tanah dengan dahan terendah. Biarkan ayam berjuang terbang dari dasar sambil melatih sayap kecil dan lemah itu agar kuat. Jika mereka menyediakan tangga, maka ayam-ayam akan dimudahkan menggapai si induk, namun sayap mereka tidak dilatih dan akan tetap lemah.
Baca: Wae Bobok, JanganDiobok-obok!
Setelah melalui perjuangan, plus beberapa kali percobaan terbang, satu per satu, ayam-ayam kecil itu akan menggapai dahan terendah. Dan kita tahu, dengan mencapai dahan terendah, sayap mereka sudah cukup kuat untuk terbang ke dahan berikut hingga akhirnya sampai ke tempat sang induk. Di situ sang induk sudah menyambut dengan membuka sayapnya untuk menyelimuti anak-anak yang menang bertarung melampaui kelemahan diri. Sekali lagi, tanggung jawab tetaplah langkah terbaik menuju rasa nyaman. Para ayam sudah bertanggung jawab dengan dirinya lewat latihan terbang tanpa tutorial, learning by doing.
Sepintas, kita mungkin menilai si induk ayam kurang punya rasa, tega, kurang belas kasih dengan membiarkan anak berjuang sendirian. Mungkin ada peternak ayam yang juga bodoh, kurang bijaksana; atas nama rasa belas kasih terhadap anak-anak ayam, lantas dia menurunkan induk ayam dan terus memeliharanya dalam sangkar. Namun kita tidak sadar, kita merampas daya juang dan tidak melatih ayam agar punya daya jusng dan sayap kuat.
Kadang kala kita lupa, bahwa secara diam-diam, induk ayam juga sedangkan menanamkan rasa tanggungjawab kepada anak-anaknya. Dengan membiasakan diri terbang, sayap ayam akan menjadi kuat. Jika sayap sudah kuat, ayam pun akan dengan mudah menghindar dari kemalangan. Ayam yang mampu terbang umumnya akan aman walau tuannya akan menganggap dia liar. Namun kita tetap kembali pada pesan awal: tanggung jawab adalah cara tepat agar hidup aman. Tanggung jawab menguatkan sayap berbuah kekuatan menhauhi ancaman dengan terbang, namun sekaligus mendekati rasa nyaman. Jika dia diancam, maka dia terbang mencari yang aman. Dan kita, pesannya sederhana saja: Belajarlah bertanggung jawab dalam perkara kecil, maka engkau akan kuat menanggung perkara besar.
Berlatilah terbang rendah sambil menguatkan sayapmu, jangan ingin langsung terbang tinggi dengan sayap rapuh. Nanti saya patah, engkau terhempas. Untuk para orang tua dan para guru: Tabamkan rasa tanggug jawab kepada anak dan murid. Ingat, materi pembelajaran bisa dihafal, namun ilmu kehidupan mesti berakar kuat dalam diri.
Cara terbaik agar bahagia adalah bertanggung jawab. Tanamkan rasa tanggung jawab.