Oleh: Fr. Damas Kelore, SMM
Penggunaan sarana media komunikasi saat ini telah berkembang begitu pesat seiring dengan kemajuan teknologi komunikasi, di mana kita dihadapkan kepada banyak pilihan untuk dapat menyampaikan/mengakses informasi baik melalui media konvensional seperti media cetak maupun media elektronik dan yang paling berkembang adalah media sosial. Penyebab dari terjadinya dampak negatif penggunaan media sosial adalah karena manusia tidak bersikap kritis dan selektif. Kritis dan dan selektif ini muncul dari suatu konsep pikiran. Bagi Rene Descartes segala sesuatu harus dimulai dari sikap keraguan. Keraguan akan mengantar orang pada sikap kritis dan selektif. Descartes mengatakan tentang berpikir artinya (menyadari), maka dari itu cogito ergo sum harus berperan menjadi fundamentum certum et inconcussum veritatis (dasar yang pasti dan tak tergoyahkan untuk kebenaran).
Inti metode Descartes adalah keraguan yang mendasar. Dia meragukan segala sesuatu yang dapat diragukan-semua pengetahuan tradisional, kesan inderawinya, dan bahkan juga kenyataan bahwa dia mempunyai tubuh sekalipun-hingga dia mencapai satu hal yang tidak dapat diragukan, keberadaan dirinya sebagai pemikir. Oleh karena itu, dia sampai pada pertanyaan yang terkenal Cogito ergo sum. Sehingga dalam berhubungan dengan realitas, Descartes mencoba untuk meragukan segala apa yang diterima oleh inderanya dan dia berusaha untuk menguak realitas dengan menggunakan akalnya. Karena menurutnya hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akal yang dapat disebut sebagai pengetahuan yang ilmiah. Kebenaran yang diperoleh melalui indera mempunyai tingkat kesalahan yang lebih tinggi.
Baca: Tradisi Teing Hangdalam Kebudayaan Masyarakat Manggarai
Dalam hal penggunaan media sosial, kita pun bisa menggunakan motode Descartes ini yakni meragukan segala sesuatu yang ditampilkan pada media sosial. kita perlu mencoba untuk meragukan segala apa yang diterima oleh indera kita melalui media sosial. kita pun berusaha untuk menguak realitas atau kebenaran yang ditampilkan dalam media sosial. Seperti yang disampaikan Descartes, pengetahuan inderawi, di mana mungkin secara inderawi, media sosial menampilkan tontonan atau berita yang berada pada tataran kesenangan belaka, akan tetapi belum menyentuh kebenaran yang mendalam.
Descartes dalam membangun filsafatnya membuat pertanyaan-pertanyaan sebagai patokan dalam menentukan kebenaran dan keluar dari keraguan yang ada. Adapun persoalan persoalan yang dilontarkan oleh Descartes untuk membangun filsafat baru antara lain: Apakah kita bisa menggapai suatu pengetahuan yang benar? Metode apa yang digunakan mencapai pengetahuan pertama? Bagaimana meraih pengetahuan-pengetahuan selanjutnya? Apa tolok ukur kebenaran pengetahuan? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Descartes menawarkan metode-metode untuk menjawabnya. Yang mana metode-metode tersebut harus dipegang untuk sampai pada pengetahuan yang benar: Seorang filosof harus hanya menerima suatu pengetahuan yang terang dan jelas. Atau jika masalah itu masih berupa pernyataan: maka pernyataan tersebut harus diurai menjadi pernyataan-pernyataan yang sederhana.
Baca: Perjumpaan Terakhir DiBawah Pohon Ara
Begitupun dengan realitas media sosial, apabila media sosial tidak menampilkan pengetahuan yang benar dan jelas, maka kita bisa mengurai hal itu menjadi pernyataan-pernyataan yang sederhana. Penguraian ini penting, agar kita dapat mengenali secara lebih mendalam kebutuhan kita dalam menggunakan media sosial. atau juga penguraian ini bisa menemukan persoalan kita mengenai tampilan-tampilan dalam media sosial. Misalnya salah satu media menampilkan berita. berita tersebut kurang terlalu jelas bagi kita. Dari hal ini, kita bisa menguraikan berita itu dengan cara mencari sumber lain mengenai kejelasan berita itu. Sehingga kita bisa menangkap secara keseluruhan berita dan bisa menilai berita tersebut secara lebih menyeluruh.
Metode yang kedua ini disebut sebagai pola analisis. Jika kita menemukan suatu gagasan sederhana yang kita anggap Clear and Distinct, kita harus merangkainya untuk menemukan kemungkinan luas dari gagasan tersebut. Pola analisis ini bisa kita gunakan dalam menggunakan media sosial. Apabila tampilan dalam media sosial kita anggap jelas, maka kitapun bisa meragukan hal itu dan mencoba untuk menemukan kemungkinan luas dari tampilan tersebut. Clear and Distinct sebagai norma dari kepastian. Metode yang ketiga ini disebut dengan pola kerja sintesa atau perangkaian.
Pada metode yang keempat dilakukan pemeriksaan kembali terhadap pengetahuan yang telah diperoleh, agar dapat dibuktikan secara pasti bahwa pengetahuan tersebut adalah pengetahuan yang Clear and Distinct yang benar-benar tak memuat satu keraguan pun. Metode yang keempat ini disebut dengan verifikasi. Jadi dengan keempat metode tersebut Descartes mengungkap kebenaran dan membangun filsafatnya untuk keluar dari keraguan bersyarat yang diperoleh dari pengalaman inderawinya. Dalam hal penggunaan media sosial, kita pun bisa melakukan verifikasi terhadap tampilan dalam media sosial. verifikasi ini bertujuan untuk menemukan hal yang bermutu dari tampilan media sosial.
Pernyataan “aku kritis maka aku ada” merupakan sebuah pernyataan filosofis sebagai upaya untuk menemukan benang merah terhadap alasan setiap subyek menggunakan media sosial secara negatif. Pertama, “aku kritis maka aku ada” mengandaikan bahwa setiap pengguna media sosial menggunakan media sosial secara kritis. Kritis dimulai dengan sikap ragu-ragu. Bagi Descartes, sikap ragu-ragu mengantar manusia pada kebenaran yang lebih mendalam. Berkaitan dengan media sosial, pertama-tama, orang perlu meragukan segala sesuatu yang ditampilkan dalam media sosial. “Saya meragukan apakah berita atau tampilan ini bermanfaat bagi saya atau justru menghancurkan saya”.
Baca: Wakil BupatiManggarai, Heribertus Ngabut: Ada 4 alasan Soal KLHS revisi RDTR PerkotaanLangke Rembong
Kritis mempunyai arti tidak cepat percaya, tajam pada menganalisis dan bersifat selalu berusaha meraih celah kesalahan atau kekeliruan. Descartes secara eksplisit mengklaim bahwa berpikir kritis adalah berpikir yang memungkinkan penilaian, didasarkan pada kriteria, mengoreksi dan sensitif terhadap konteks. Berpikir kritis saat menggunakan media sosial berarti berpikir evaluatif yang menyertakan penggunaan kriteria yang relevan pada menilai informasi, keakuratan, relevansi, reliabilitas, konsistensi dan biasnya. Berpikir kritis tidak hanya berpikir saja, tetapi diikuti mengunakan kemampuan memecahkan masalah atau kasus, mengenali konsistensi, dan memilih kesimpulan, tampilan apa yang perlu ditonton dan atau dikonsumsi sang subyek.
Seseorang bisa dinyatakan berpikir kritis jika bisa mengidentifikasi perkara yang dihadapi dan mengambil keputusan, memprioritaskan dan memilih gagasan ide, artinya aktivitas berpikir guna menangkap pengertian berdasarkan info yang diketahui. Ciri-ciri seseorang sudah berpikir kritis saat menggunakan media sosial adalah (1) dapat berpikir rasional pada menyikapi suatu masalah; (2) dapat menciptakan keputusan yang sempurna dalam menuntaskan masalah; (3) bisa melakukan analisis dan menggali informasi menurut fakta yang ada; (4) bisa menarik konsklusi dan menciptakan argumen dengan benar dalam menyelesaikan masalah. Kemampuan berpikir kritis ini tentu saja bisa diukur menggunakan kemampuan pengguna media sosial dalam mengidentifikasi apa yang dibahas dan diketahui pada materi yang diberikan dan juga dapat menggunakan strategi yang tepat, melakukan perhitungan dengan benar, mampu menjelaskan dengan tepat serta dapat menarik kesimpulan.