Agar Tidak Menjadi 'Penulis Gizi Buruk' |
Oleh: Sil Joni*
Ide dalam sebuah tulisan tidak harus mewah. Peristiwa atau pengalaman sederhana setiap hari bisa menjadi 'sumber ilham' dalam menulis. Sebagai contoh, artikel ini terinspirasi dari kegiatan sederhana membaca sebuah buku di Perpustakaan SMK Stella Maris pagi ini, Senin, (25/7/2027).
Yang hendak ditampilkan di sini, bukan 'isi buku' yang saya baca, tetapi membaca sebagai strategi menghasilkan tulisan yang berbobot. Tentu, isi dari buku yang saya baca, sudah mengendap dalam alam bawah sadar dan pada saatnya nanti diolah kembali untuk menghasilkan ide yang lebih segar dan bermutu.
Baca: "Kidung Syukur" Tambah Umur
Menulis, dalam banyak kasus, bukan bakat bawaan yang jatuh dari langit, tetapi resultante dari sebuah ketekunan dan keseriusan dalam berlatih. Dengan perkataan lain, alih-alih dilihat sebagai bakat, menulis sebetulnya sebuah 'keterampilan'.
Sebagai sebuah skill praktis, maka semua makhluk akademik atau anggota komunitas institusi pendidikan dalam pelbagai level 'berpotensi' menjadi penulis. Mengapa? Dalam sebuah lembaga pendidikan, menulis menjadi salah satu kultur yang mendapat porsi perhatian dan latihan yang intensif. Para peserta didik dan para staf pengajar didorong untuk 'mengembangkan' keterampilan menulis itu secara kreatif, produktif, dan berkesinambungan.
Kecakapan menulis itu, sejatinya tidak hanya berurusan dengan penataan perangkat kebahasaan, tetapi juga seberapa kaya kandungan nutrisi rohaniah yang tersaji dalam tulisan kita. Itu berarti seorang penulis harus memiliki khazanah ilmu atau minimal sejumlah strategi untuk menambah stok pengetahuan bergizi yang bakal dihidangkannya kepada khalayak pembaca melalui tulisan yang ditenunnya.
Ada banyak metode dan sarana untuk 'mendapatkan ide berkualitas' dalam menulis. Salah satunya adalah habitus membaca, baik dalam arti sempit (membaca buku), maupun membaca dalam pengertian yang lebih luas (membaca realitas dan fenomena sosial, politik, ekonomi, budaya, hukum, dll).
Baca: Tuhan, Agama-Mu Apa? (Membongkar Fenomena Kekerasan Atas Nama Agama)
Kita tidak mungkin melompat menjadi 'penulis hebat' jika tidak memiliki kebiasaan membaca yang baik. Pun, rasanya mustahil, kita memproduksi tulisan berkualitas atau berkelas, jika tidak ditopang dengan budaya baca yang mengagumkan. Keengganan untuk bergaul dengan buku atau teks natural, membuat tulisan kita kurang bertenaga.
Dengan itu, tulisan kita kemungkinan menderita 'malnutrisi'. Status sebagai 'penulis gizi buruk' bakal kita sabet. Soalnya, ide yang mengalir dalam tulisan begitu kering dan membosankan sebab diracik dengan 'bahan baku seadanya'.
Untuk itu, sebelum peserta didik 'diprovokasi' untuk menulis, maka pertama-tama guru atau orang tua menginjeksi virus membaca ke dalam tubuh mereka. Jika aktivitas membaca sudah menjadi semacam budaya dan menyatu dengan 'darah daging' peserta didik, maka kegiatan menulis pasti tidak menemui kendala yang berarti.
Pada awal tahun pelajaran ini, SMK Stella Maris dan mungkin semua lembaga pendidikan coba merevitalisasi Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Salah satu poin yang dibenahi adalah bagaimana menumbuhkan minat baca dalam diri setiap siswa. SMK Stella Maris bertekad menerapkan program membaca secara mandiri selama 15 menit sebelum aktivitas pembelajaran resmi dimulai.
Program baca selama 15 menit ini, sebetulnya bukan hal baru. Gong pelaksanaan program itu, sudah lama ditabuh. Tetapi, harus diakui, dalam praksisnya, tidak selalu seindah yang diidealkan. Oleh sebab itu, pihak lembaga dan para pemangku kepentingan dalam bidang pendidikan perlu 'disadarkan' bahwa kultur literasi itu membutuhkan perjuangan dan kerja keras. Konsistensi dalam 'membumikan' budaya baca menjadi sebuah keharusan.
Baca: Mitos “Orang Sakti, Kaki, dan Mego” dalam Perspektif Feminitas-Kosmologis Suku Sara, Ngada
Menulis adalah Medan ideal untuk berbagi ilmu, pengetahuan, pandangan, keterampilan, inovasi dan sikap hidup kepada orang lain. Kita tidak mungkin bisa 'membagi kekayaan intelektual', jika tak ada upaya untuk mengais dan memasak aneka harta itu. Sebelum menulis, sudah barang tentu, kita mempunyai sesuatu untuk 'disuguhkan' ke sidang pembaca. 'Sesuatu' itu, tidak diperoleh dengan berpangku tangan atau mengobral retorika verbal, tetapi melalui kegiatan konkret yang bersifat konstruktif, seperti membaca buku.
Berkunjung (duduk, membaca, dan menulis) di perpustakaan, kalau dapat menjadi semacam 'habitus ilmiah' yang dihayati oleh semua warga sekolah. Merasakan sensasi 'roh ilmiah' dalam gedung itu dan berusaha mengisap sebanyak mungkin susu dan madu ilmu, mesti menjadi obsesi. Saya kira, buku, belum pudar pesonanya sebagai 'denyut nadi' perkembangan dan kemajuan peradaban.
*Penulis adalah Staf Pengajar SMK Stella Maris Labuan Bajo.