Jangan 'Terpukau' dengan Dana Desa (Sil Joni) |
Sang Cakades memberikan tanggapan yang brilian. Baginya, tugas seorang Kades itu tidak hanya 'sebagai penelola ADD'. Kades itu bukan petugas pengelola dan pembuat administrasi terkait penggunaan ADD semata-mata. ADD hanya sebagai 'sarana bantu' agar aneka program, kreativitas, dan imajinasi dari seorang Kades bisa termanifestasi secara optimal.
Menurut Boni, kecakapan dan kecerdasan seorang Kades dalam mengelola ADD, memang menjadi sebuah hal yang esensial. Tetapi, tidak dengan itu, fungsi dan peran Kades 'direduksi' hanya sebatas pada sisi kepiwaian memanfaatkan ADD itu. Jika ADD menjadi goal primer, maka besar kemungkinan, seorang Kades menyalahgunakan 'kecakapannya' menjarah ADD untuk memenuhi kepentingan pribadi dan keluarga.
Jika tendensi korupsi menguat, maka idealisme di balik bergulirnya program ADD itu, mustahil terealisasi. Selain kecerdasan dalam menggunakan ADD, seorang Kades diharapkan untuk terampil dan gesit dalam mengoptimalkan potensi Desa sebagai sumber pemasukan untuk Desa itu. Dengan perkataan lain, Seorang Kades tidak hanya 'tahu' untuk menghabiskan ADD, tetapi juga punya kemampuan untuk 'menghasilkan' uang guna memenuhi kebutuhan rutin di Desa tersebut.
Membangun Indonesia dimulai dari 'Desa'. Ketika Desa maju dan sejahtera, maka dengan sendirinya Indonesia pun 'naik kelas' menjadi negara yang makmur dan sejahtera.
Sadar bahwa ada ketimpangan (gap) yang lebar antara kota dan Desa, maka Pemerintah Pusat (Pempus) mendesain sebuah politik anggaran yang pro pada ideal perbaikan level kesejahteraan publik di Desa. Pempus menggelontorkan dana yang fantastis ke Desa untuk mewujudkan ideal 'Desa sejahtera' itu.
Desa yang 'pincang' coba disuntik dengan dana segar melalui skema kebijakan Alokasi Dana Desa (ADD) demi mengakselerasi kemajuan pembangunan di Desa. Dibharapkan agar 'dana' itu dimanfaatkan secara baik dan optimal oleh para pengambil kebijakan di Desa.
Hasil evaluasi penggunaan Dana Desa selama ini menunjukkan bahwa umumnya Kepala Desa lebih cakap dalam merapikan aspek administrasi dan kurang optimal dari sisi pemanfaatan praktis di lapangan. Dengan perkataan lain, program Dana Desa hanya 'berhasil' di atas kertas, tetapi gagal dalam implementasi. Akibatnya, kebanyakan Desa tetap berjalan di tempat. Tidak ada perubahan yang signifikan meski Dana Desa bergulir secara reguler dari tahun ke tahun.
Baca: PPMAN Beberkan Dugaan Pelanggaran Polres Nagekeo
Karena itu, kehadiran Kepala Desa (Kades) yang punya integritas dan kompetensi, menjadi sebuah keharusan. Kita butuh 'Kades' yang cerdas, jujur, kreatif, inovatif, dan dedikatif. ADD itu mesti 'dikelola' sesuai regulasi yang dipadukan dengan pembacaan yang akurat terhadap potensi dan persoalan yang ada di Desa tersebut.
Musim kontestasi Pilkades sedang dihelat saat ini. Pilkades menjadi momen ideal bagi publik untuk memilih figur Kades yang sesuai dengan kualifikasi etis dan intelektual di atas. Publik mesti selektif dalam menentukan pilihan. Calon yang punya motivasi busuk, hanya 'terpukau' dengan ADD, sebaiknya jangan didukung. Figur yang mau 'mengais rezeki' dari ADD itu, memang sepatutnya ditendang keluar gelanggang.
Oleh: Sil Joni*
*Penulis adalah warga Desa Nggorang.