Pilkades (Nggorang) dan Politik Uang |
Pilkades (Nggorang) dan Politik Uang - Saya pernah 'mengorek' isi hati salah seorang Calon Kepala Desa (Kades) Nggorang, Boni Manshur terkait penggunaan 'Politik Uang' dalam sebuah diskusi informal di beranda rumah saya. Sangat menarik untuk merenungkan jawaban beliau perihal isu itu.
Boni tidak menampik bahwa modal finansial sangat dibutuhkan dalam kontestasi politik. Tetapi, uang itu hanya sebagai 'sarana' untuk memfasilitasi aneka kegiatan politik, bukan untuk 'membeli' suara konstituen. Karena itu, sang kandidat Kades ini, mengambil sikap tegas 'menolak' menjadikan uang sebagai alat barter politik.
Bagi Boni, mutu demokrasi akan mengalami dekadensi dan kerdil, ketika para aktor menjadikan uang sebagai 'senjata' dalam merebut simpati publik. Boni lebih tertarik 'memamerkan' politik konsep, gagasan, ide brilian dalam menata Desa Nggorang ketimbang mendemonstrasikan 'harta dan uang' kepada konstituen.
Baca: PPMAN Beberkan Dugaan Pelanggaran Polres Nagekeo
Kita berharap semua calon Kades di Desa Nggorang khususnya dan semua Desa di Manggarai Barat memiliki komitmen yang sama: Say no to Money politic. Dengan itu, kontestasi Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) tidak hanya sebagai ajang perebutan kekuasaan, tetapi juga momen penerapan edukasi politik kepada publik.
Benar bahwa Pilkades adalah sebuah pertarungan politik di level Desa untuk 'merebut' legitimasi publik menjadi pemimpin politik di desa tersebut. Sebagai sebuah 'kontestasi', maka para kontestan tentu membutuhkan sejumlah kapital sebagai 'senjata efektif' dalam memenangkan pertandingan itu. Tetapi, tidak dengan itu (obsesi pada kekuasaan) lantas kita menghalalkan segala cara, termasuk menjadikan Pilkades sebagai ajang transaksi jual beli suara.
Salah satu modal utama untuk bisa 'bermain' dalam kompetisi itu adalah 'uang'. Kapasitas finansial, bahkan dianggap sebagai 'prasyarat mutlak' untuk berlaga dalam gelanggang politik. Ada semacam kredo baru yang diterima begitu saja yaitu 'seseorang mesti punya cukup uang' untuk menjadi pemain politik. Seorang politisi mesti ditopang dengan sisi finansial yang fantastis agar tetap eksis dalam panggung politik.
Baca: WALHI NTT Mendorong Pemerintah di NTT Selamatkan Lingkungan dan Wilayah Pesisir
Anggapan di atas, tidak sepenuhnya salah. Bagaimana pun juga, uang sangat dibutuhkan oleh seorang 'kandidat Kepala Desa' dalam membiayai serangkaian aktivitas politik ketika kontestasi dihelat. Dengan formulasi lain, uang dipakai sebagai 'political cost' yang memang cukup urgen dalam musim pertarungan itu.
Namun, penggunaan uang dalam Pilkades menjadi problematis (katastrofi politik) ketika uang dipakai sebagai 'alat barter politik'. Prinsip demokrasi langsung, one man one vote, memungkinkan transaksi jual beli suara dalam rupa-rupa modus. Tegasnya, dengan uang yang melimpah, seorang kandidat akan dengan gampang 'membeli suara' para voters.
Masalahnya adalah uang menjadi 'alasan' dalam menjatuhkan pilihan politik. Publik pemilih tidak lagi menjadikan kapasitas sosial, intelektual dan teknis sebagai 'kriteria', tetapi seberapa besar nominal uang sebagai imbalan atas pilihannya.
Politik uang (money politic) dengan demikian, mencederai esensi demokrasi di mana unsur kedaulatan rakyat menjadi parameter primer. Kedaulatan itu pasti 'tergerus' sebab pemilih tidak lagi menggunakan hati nurani dan rasionalitas yang jernih dalam menentukan preferensi politik.
Oleh: Sil Joni*
*Penulis adalah warga Desa Nggorang.