18 Puisi Terbaik Karya Yuliana Ida |
18 puisi terbaik karya Yuliana Ida memiliki makna filosofis yang dapat memberikan inspirasi bagi para pembaca.
Buah permenungan ini muncul dari pengalaman-pengalaman keseharian penulis. Untuk mengetahui isinya, baca puisi-puisi berikut ini dengan hati yang hening.
Bermuka Dua
Kau seperti angin kenjang
Menyusut di berbagai celah ruang
Kau pun kuibaratkan besar bagaikan gajah
Namun kau tetap bersemayan di gua sempit
Baca: TENTANG ANAK
Kau pandang titik celah sesamamu
Tuk kau jadikan pilar permusuhan
Kau selalu bernyanyi riang
Tuk merajut tentang sekitarmu
Elok awan yang ku pikir tulus
Air terjun yang ku pikir sejuk
Buah apel yang ku pikir mulus
Sayang semua itu suara mataku
Aku salah, sungguh tak kusadari
Betapa kau membunuh kebaikanku
Ketika ku tahu kau hanyalah
Makhluk bermuka dua.
Harapan
Hatiku ingin menjalani
Dengan tumbuh rasa
Sinar seperti matahari
Tuk menerangi jagat raya ini
Dan tinggi seperti langit
Tuk memetik bintang-bintang
Masa itu akan ku gapai
Akan kupeluk, ku simpan
Dalam gubuk jiwaku
Kekuatan mengalir di darahku
Berharap satu zaman
Membawaku sebuah kebahagian
Suara Roh
Suara gemuruh berkata
Keringkan air matamu
Karena rohku ada di setiap nafasmu
Rangkulkan tubuhku
Dengan sebongka iman jiwamu
Hiasi wajahmu
Senyuman tuk menghapal doa
Dan nyanyian-nyanyian indah
Sinar kasihku akan menghebus
Perkara-perkara dalam kalbumu
Yakinlah semuanya baik-baik saja
Kami Tak Biasa Menatapmu
Dahulu negeri tercinta ini
Negeri yang elok rupa
Negeri yang memancarkan keindahan dan kesejukan
Kesederhanaan, kesantunan, kesetiakawanan, keimanan
Tampak dalam setiap jiwa manusiaanya
Baca: Antologi Puisi Venansius Alfando Satrio
Tapi,
Kini begitu banyak tingkah laku kotor
Dari kemunafikan, keegoisan, kesombongan, pemerasan, dan kebencian
Semuanya itu dibangga-banggakan
Citra bangsa diinjak-injakan
Kewibawaan bangsa sudah tercemar hanyalah untuk kepuasan diri semata
Wahai orang-orang berkepentingan dimana mata hati kalian?
Begitu banyak pengorbanan, semangat juang mempertahankan kemerdekaan
Namun itu semua hanyalah cerita belaka bagi mereka
Mengumbar-umbar kebencian, menjadi suatu kepentingan
Itulah kini jiwa negeri kita
Kami tak bisa menatap
Sungguh tak bisa
Kesedihan di wajah megahmu.
Tak Tahu Malu
Engkau sengguh menyakitkanku
Tubuh dan mata hati ini terasa perih
Ke sana ke mari tetap engkau
Menyelimuti rasa itu
Engkau sungguh membunuh jiwaku
Sungguh dan menyiksaku
Setiap malam berganti siang
Tak berhenti juga
Kini, ku benci, bosan, dan muak
Menatap semuanya itu
Waktu berganti waktu selalu kau hadir
Menyusik setiap mimpi mimpi indah
Kau tak tahu malu.
Permadani Cinta
Dingin angin malam ini
Menyapa jiwaku
Namun tak mendinginkan hatiku
Yang kau hangatkan
Merasa terhempas kelakianmu
Dengan setiap tindakanmu
Betapa diriku sang kekurangan
Bahagianya kau memainkan
Siapa diriku meminta buih menjadi permadani
Seperti cerita dalam novel cinta
Juga mustahil bagiku menggapai bintang di langit
Untuk menjadikan bongka harta
Memilikimu sungguh tak mampu
Diriku telah jatuh cinta pada insan
Sepertimu seanggun bidadari
Seharus mencerminkan diriku
Sebelum tirai hati ku buka
Untuk mengintaimu.
Jeritan Hati
Aku berjalan menuju di tepi danau
Menyaksikan rumput-rumput hijau nan elok
Namun kehidupan berkata tak ada rumput mekar
Tuk kau jadikan sanding harapan
Aku ingin bernyanyi di pentas ramai
Menuangkan biji-biji permata nan cahaya
Namun takdir berbisik tak ada tempat istimewa
Tuk kau jalankan nafas kehidupan
Oh sang pelagi, warnailah hari-hariku
Tuntunlah secercha cahaya
Tunjukanlah pada semesta
Jika aku ini pemulung jalan
Biarkan burung-burung berkicau riang
Kupu-kupu menebarkan sayap
Angin mengebus celah raga ini
Biarkanlah tersisa jangan kau merenggut lagi
Jasa Ibu
Air susu bagaikan aliran sungai di dalam surga
Yang membesarkan kita sehingga mengenal arti kehidupan
Agunglah jasa ibumu
Setitik air mata yang tumpah dari perbuatanmu
Samalah pedihnya seperti peluru menembus dadamu
Baca: Perjumpaan Terakhir Di Bawah Pohon Ara
Seseorang ibu sanggup memelihara sepuluh orang anak
Namun sepuluh anak belum tentu memelihara seorang ibu
Hargailah kedua ibu dan bapak
Sehingga akhir hayat mereka
Ibu maafkan aku
Sahabat Sejati
Saat kau dihadapanku
Langsung menunduk
Aku tahu hatimu gelisah
Itulah penyebabnya
Bagaimana malam-malam kita dapat lalui
Bagaimana aku mampu bertahan
Sang malam hanya dirimu aku kenang
Serahkan hatiku dengan mencintaimu
Telah lama hatiku jalan dengan janji setia
Tengah perjalanani jangan ditinggalkan
Kutunjukan apa yang kurasakan
Meskipun berbicara pelan-pela
Lama ku menantikanmu
Bahwa diriku sedang jatuh cinta
Cinta Berkhayal
Sembunyikanlah aku di kelopak matamu
Sehingga selalu bersemayam dibayanganku
Kuberbisik pada angin di ruang hatimu
Tuk menebarkan selendang merahku
Dalam kesulitan pun hati tetap senang
Karena aku mulai tergila-gila, tenggelam dalam senyumanmu
Dalam kesetiaan ada kedamaian
Seperti terbakar api berlampis salju
Namun dalam kegalauan
Bagaikan lagu yang tidak dinyanyikan
Rasa dan lihatlah
Seperti musim kemarau dan musim hujan
Sungguh aku terjebak dalam kisah malam.
Banyak yang menikah karenamu
Banyak perselingkuhan karenamu
Juga banyak bercerai karenamu
Apa itu kemauanmu semata?
Kami akui banyak teman karenamu
Banyak permusuhan karenamu
Juga banyak cemburu karenamu
Apakah mungkin itu takdirmu?
Ada yang bodoh jadi pintar karenamu
Juga yang pintar jadi bodoh karenamu
Kau memadam pelita hidup kami
Sungguh menyesatkan
Waktu
Mengayunkan kaki
Berjalan, berlari
Namun tak mampu lakukan waktu yang sama
Biarlah kuberdiri saja di sini
Berseru pada detik
Biar sejenak dia berhenti
Tuk temukan kita di penghujung hari
MIMPI
Aku membayangkan embun
Adalah mata Tuhan
Menyiratkan keteduhan
Bagi jiwa terantuk keletihan
Aku merapal doa tentangmu di bibir pagi
Ketika sepi memanggut mimpi
Aku masih mengemas mimpi semalam
Berharap embun tak bergebas pergi
Kutatap indah pagi ini
Setetes embun jatuh di dedaunan
Kudekati tuk basahi raga ini
Kesejukan terasa mengalir seluruh tubuh ini
Tak Sempat
Tak banyak bisa ku lakukan untukmu
Saat ku menyadari, ku mulai merapu
Dan mungkin tak akan pernah sempat
Menyakinimu bahwa nafas terakhir
Dalam hidupku adalah kebahagian dalam dirimu.
Ketenangan
Melangkah hari tepik sepi
Merenda cipta, lenyapkan segala putus asa
Menjalankan waktu, hembuskan segala semu
Jelang fajar ceriah, merakit angin cerah
Berharap selangit angin biru
Dirinya
Kedatanganmu sungguh tak ku sadari
Bagaikan jiwa mengalir darah
Ku pandang dibalik tirai kelambu
Keindahan malam menyelimuti
Penuh bintang sinar di awan
Ku terpaku dirimu lintas dalam hening sepi
Ku sapa dan kau pun menoleh
Dengan senyuman membuat dahaga jiwa
Mengikuti jejak langkahmu
Berusaha bangun dan berkata
Siapakah dirimu?
Kehilangan
Cerah beralih cepat ke mendung
Begitu juga kicau burung mulai meredup
Suaranya indah di pagi hari
Angin yang begitu cepat menyapa
Kini jadi bertiup semakin lambat
Jika tersenyum itu mulai terbungkam
Berarti alampun mulai tak peduli lagi
Hari berganti hari, malam pun berganti siang
Tak kunjung ada petanda
Juga sosok itu ikut pergi jauh dari hidupnya.
Membunuh Jiwa
Semenjak bulan dekat memandangku
Raga pun kian memanas
Seakan membunuh jiwa ini
Aku lelah dan ingin menjauhnya
Hidup tak berarti saat kau dekap diriku
Seakan kau hampaskan begitu saja
Kau dinjak seperti pasir tak punya nyawa
Kau tak menginginkanku hidup dalam tujuan
Hati perih, luka dan kecewa, berantakan
Seakan kau sengaja
Apa salahku, coba kau siratkan
Sikap keanehanmu mengingtkan aku
Pada seorang penjundang
kau seperti keong, menjilat saat mencari makanan
Sosok dirimu sebenarnya tak pantaskan kusebut binatang
Namun belagakmu sungguh sempurna
Membuat penglihatanku seakan buta dalam kelicikan lidahmu.
Bulan Tak Bercahaya
Kujalan dipinggir setapak gelap
Mengusap keheningan malam
Dalam memeluk kesedirian
Seakan rapu tak bisa melangkah
Oleh: Yuliana Ida