IHT Implementasi 'Kurikulum Merdeka' dalam Program SMK PK dan Visi Menjadi 'Guru Hebat' |
Oleh: Sil Joni*
Sejak tahun 2021, SMK Stella Maris mulai menerapkan 'roh dan konten' Kurikulum Merdeka (KM) dalam praksis pembelajaran di kelas X. Itu berarti, pelaksanaan KM, sudah memasuki tahun ke-2 di lembaga ini.
Meski demikian, tetap disadari bahwa level pemahaman dan kecakapan guru dalam 'menjabarkan' KM itu, masih terbatas. Masalah menjadi semakin kompleks jika dihubungkan dengan pelaksanaan program SMK Pusat Keunggulan (PK). Pertanyaannya adalah bagaimana 'mengintegrasikan atau menyelaraskan' KM dengan program SMK PK?
Baca: "Bona Culina Bona Disciplina"
Status sebagai SMK PK, memang di satu sisi, dilihat sebagai 'rahmat (prestasi), tetapi pada sisi yang lain, predikat itu menuntut sebuah tugas atau tanggung jawab yang tidak ringan. Pihak lembaga, terutama para guru mesti 'membuktikan' kapasitas atau kompetensinya bahwa memang sekolah itu 'sangat layak' mengemban amanat sebagai SMK PK itu.
Setidaknya, SMK PK 'mesti tampil beda' dari SMK yang belum mendapat kepercayaan untuk melaksanakan program itu. SMK PK diharapkan bisa menjadi 'inspirasi' bagi SMK yang lain untuk mencapai standar yang diinginkan bersama.
Ibu Hortensia Herima, Kepala SMKN 3 Komodo (Kaper) sekaligus ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMK tingkat Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) menyinggung empat aspek 'keunggulan' yang dimaksud ketika membawakan sambutan dalam Opening Ceremony pelaksanaan In House Training (IHT) implemenasi Kurikulum Merdeka pada SMK PK lanjutan di SMK Stella Maris Hari ini, Kamis (25/8/2022). Para guru di SMK PK, demikian ibu Hortensia, 'harus inovatif, kreatif, berbagi, dan kolaborasi'. Keunggulan itu, boleh dibilang merupakan resultante dari kesetiaan menerapkan 4 etos positif itu.
Dengan demikian, guru, tentu saja berada pada garda terdepan dalam mewujudkan visi SMK PK. Kecerdasan guru dalam mengimplentasikan kurikulum formal yang diselaraskan dengan visi SMK PK, menjadi conditio sine qua non, prasyarat utama. Oleh sebab itu, peningkatan kompetensi profesional guru dalam meramu dan menjabarkan KM saat ini, tidak hanya relevan, tetapi sangat urgen.
Saya kira, IHT bisa menjadi salah satu 'wahana' dalam meningkatkan kompetensi guru tersebut. IHT adalah sebuah program pelatihan, di mana materi, waktu, tempat disesuaikan dengan keadaan konkret peserta. Dasarnya adalah upaya untuk meninkatkan kemampuan profesional dan karier guru, termasuk dalam 'menguasai seluk-beluk' penerapan KM, tidak harus dijalankan 'di luar lembaga', tetapi bisa juga dibuat di sekolah itu sendiri (in house training).
Menarik untuk mendiskusikan secara lebih serius salah satu poin yang disampaikan Plt. Kadis Pendidikan, Kebudayaan dan Olahraga (PKO) Mabar, Pak Yohanes Hani ketika membawakan sambutan sekaligus 'membuka secara resmi kegiatan IHT' di SMK Stella Maris. Beliau menyitir pendapat dari William Arthur Ward soal empat tipe guru.
Keempat tipe guru versi William Arthur Ward itu adalah sebagai berikut. Pertama, mediocre teacher (tells). Guru tipe medioker ini adalah guru yang biasa-biasa saja, untuk tidak dibilang 'guru yang jelek'. Kata “medioker” ini, biasanya diasosiasikan dengan tingkat kemampuan guru yang sangat rendah. Inilah kategori guru yang sangat menjengkelkan bagi sebagian besar siswa. Mengapa?
Soalnya adalah guru semacam ini terlalu monoton dalam mengajar, terpaku pada buku, selalu duduk atau berdiri di depan ruang kelas, dan bersikap otoriter. Mereka cenderung menggunakan 'otoritas' ketika berdebat dengan siswa dalam kelas. Guru medioker pun biasanya susah menerima hal baru dan sulit untuk menerima kritik.
Kedua, good teacher (explains). Guru yang baik. Tipe ini dianggap lebih baik dibanding guru medioker. Bedanya adalah guru dengan tipe ini, selain mampu berceramah berdasarkan buku, mereka juga bisa menjelaskan materi dengan analisa yang baik dari latar belakang ilmu yang dimilikinya. Tetapi, gaya mengajarnya masih bersifat gurusentris (teacher center). Tendensi untuk mengabaikan dan mendiskriminasi pendapat siswa, masih terjadi.
Baca: Posisi Guru dalam 'Mendisiplinkan Siswa'
Ketiga, superior teacher (demonstrates). Guru ulung. Guru dengan tipe ini cenderung unggul dalam mengelola kelas. Mereka cukup piawai dalam membuat suasana kelas menjadi lebih interaktif dan kreatif. Tidak ada lagi diskriminasi terhadap pendapat peserta didik. Artinya, semua siswa berhak menyatakan pendapat, sanggahan, kritik dan saran baik terhadap materi, guru mapun siswa lain. Pola pembelajaran berubah dari teacher centered ke pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered).
Keempat, great teacher (inspires). Guru hebat yang bisa meinginspirasi siswa. Tentu saja tipe guru semacam inilah yang paling diidamkan saat ini. Dengan segala kelebihannya, guru hebat pasti dinantikan oleh semua peserta didik. Apa saja kelebihannya?
Guru hebat itu tidak hanya bangga dan puas dengan kecakapan dalam mentransfer pengetahuan, tetapi juga ditopang dengan prinsip yang luhur dalam menjalankan tugas. Bahwasannya pekerjaan sebagai guru itu adalah ibadah. Dirinya merasa berdosa jika tidak bisa menginspirasi peserta didiknya, dalam arti mampu menentukan dan menemukan arah dan masa depan peserta didik.
Dengan demikian, dampaknya adalah secara otomatis guru itu akan menjadi "teladan" siswa dalam menjalani kehidupannya baik di sekolah, rumah, lingkungan, dan masa depannya kelak. Tegasnya guru hebat adalah guru yang mampu menemukan dan melejitkan potensi anak didiknya.
Saya berpikir, IHT impelementasi KM pada program SMK PK di SMK Stella Maris, bisa dibaca sebagai ikhtiar untuk menggapai cita-cita menjadi 'guru hebat' itu. Kecerdasan dan keterampilan dalam menerpakan Kurikulum Merdeka dalam program SMK PK menjadi 'syarat mutlak' untuk menjadi 'great teacher' itu.
Kurikulum Merdeka didesain sedemikian agar guru tampil sebagai pribadi yang bisa 'menginspirasi peserta didik'. Seluruh muatan, arah, tujuan, dan praksis pembelajaran dalam Kurikulum Merdeka bermuara pada upaya 'peningkatan potensi peserta didik'. Pembelajaran yang berpusat pada peserta didik sepertiyang ditekankan dalam Kurikulum Merdeka, sangat sejalan dengan tipe ideal yang mesti dimainkan guru di sekolah.
Baca: Mahasiswa STP St. Petrus Atambua menyelenggarakan Kerja Bakti
Sangat bagus jika gagasan William Arthur ini direfleksikan oleh para guru umumnya dan guru-guru di SMK Stella Maris khususnya. Pertanyaannya adalah kita berada pada tipe atau posisi guru yang mana? Jika selama ini, kita masih berada pada tipe 1,2, dan 3, maka IHT menjadi 'momentum strategis' untuk bertransformasi ke tipe 4, menjadi guru hebat yang menginspirasi peserta didik.
Untuk bisa menginpirasi siswa, seorang guru harus 'mengenal lebih dalam kepribadian masing-masing peserta didik'. Guru mesti tahu tingkat kemampuan dan bakat masing-masing siswa sehingga bisa menggunakan aneka metode dalam melaksanakan proses pembelajaran di kelas.
Jika guru hanya terfokus pada upaya 'menuangkan ilmu' ke bejana kognitif siswa, tanpa peduli dengan karakterisktik mereka, maka kita sedang membawa bencana dalam kehidupan anak itu. Anthony Robbins benar ketika berkata: “Tragedi terbesar dalam dunia pendidikan adalah, sebagian besar guru kita memahami mata pelajaran, namun tidak memahami murid-murid mereka”.
Pada akhir sambutannya, pak Yohanes Hani, menegaskan bahwa pendidik yang baik adalah 'pendidik yang selalu gelisah' ketika materi ajarnya tidak dimengerti oleh sebagian siswa. Pendidik yang baik adalah pendidik yang merasa 'tidak nyaman' ketika kehadirannya tidak bisa menginspirasi siswa. Saya rasa, berangkat dari 'kegelisahan pedagogis dan kerinduan untuk menjadi guru hebat' itulah, sehingga IHT implementasi Kurikulum Merdeka pada program SMK PK ini digelar di SMK Stella Maris.
*Penulis adalah Staf Pengajar SMK Stella Maris Labuan Bajo.