Sil Joni (Foto Ist.) |
Filsafat itu bukan onggokan 'dogma kaku' yang ditempelkan begitu saja pada realitas. Filsafat mesti dilihat sebagai sebuah "latihan serius dan tak terputus dalam menyimak dan menyibak apa yang ada di balik yang tampak".
Baca: Jangan Katakan "Aku Tidak Pandai Bicara" (Refleksi Misa Perutusan Cakades)
Manusia selalu "merasa terganggu" dan serentak terdorong untuk membongkar lapisan nilai dari apa yang dicerap oleh panca inderanya. Proses pengenalan dan pemahaman terhadap 'esensi' dari sesuatu yang tak berkesudahan itu, membuat hidup manusia semakin kaya dan penuh warna.
Fakta dan fenomen alam, bisa menjadi setting lahirnya actus kontemplasi (perenungan) yang berbobot. Itu berarti, filsafat selalu lahir dari konteks ruang dan waktu tertentu.
Panorama senja nan eksotis yang terpotret dari punggung perbukitan Labuan Bajo dan sekitarnya, dalam panggung industri pariwisata, tidak lagi menjadi fenomen alam yang biasa. Lanskap senja yang cantik menjadi barang langka yang tentu bernilai jual tinggi.
Di tangan pegiat wisata alam, pemandangan saat senja menjelang di bibir pantai Labuan Bajo, merupakan aset wisata yang tiada dua nilainya. Senja menjadi "momen penuh berkah", sebab selain memenuhi dahaga estetika, kita juga mendapat rezeki dari kehadiran wisatawan yang terus memburu sensasi keindahan pada pelataran senja itu.
Baca: Agar Tidak Menjadi 'Penulis Gizi Buruk'
Sepotong senja, bagi seorang penyair, bisa menjadi 'sumber ilham' dalam memproduksi teks puisi romantis yang berkualitas. Warna-warni senja dapat dipakai untuk memperkuat imaji dan latar suasana sebuah sajak.
Demikian halnya dengan seorang pelukis. Senja menjadi momen yang ditunggu untuk menghasilkan lulusan naturalis yang tidak hanya estetis, tetapi kaya citra visual. Tegasnya, lanskap senja menjadi sumber inspirasi dan spirit baru dalam berkarya.
Lalu, bagaimana respons seorang "pencinta kebijaksanaan" ketika disapa oleh keindahan senja itu. Apakah seorang filsuf hanya berhenti pada rasa kagum dan heran dengan penampakan senja itu?
Umumnya, ketika berbicara tentang senja, secara spontan banyak orang menganggap bahwa senja diasosiasikan dengan suasana romantis. Namun, sebetulnya, jika kita bergerak ke kedalaman dari 'latar senja' itu, sepercik makna filosofis bakal kita tangkap. Tepatnya, senja ternyata menyimpan pesan bermutu bagi kehidupan manusia.
Nilai apa saja yang bisa kita petik dan renungkan dari factum senja ini? Saya coba menyingkapnya secara perlahan-lahan.
Pertama, sadar akan ketakabadian hidup. Kita tahu bahwa 'senja' itu hanya hadir sesaat. Ia tampil ketika siang hendak pamit dan malam mulai menampakkan diri. Dengan perkataan lain, senja menjadi sebuah momen peralihan antara siang yang cerah ke gelap dan dinginnya malam.
Kenyataan kesementaraan itu bisa menjadi potret yang bagus untuk melihat kehidupan kita sendiri. Tidak ada yang tetap. Semuanya mengalir dan berubah. Tdak ada yang abadi di dunia ini. Jangan sombong dengan prestasi dan harta yang melimpah saat ini. Tidak ada jaminan bahwa semuanya itu melekat abadi dalam tubuh kita.
Kedua, menikmati sebuah proses. Senja itu, tidak hadir secara instan. Ia muncul setelah fajar dan siang undur diri. Kehadiran senja itu, perlu dinikmati dengan tenang. Demikian pun situasi bahagia atau sedih dalam hidup ini, tidak muncul secara tiba-tiba. Selalu ada proses yang kita lewati dan nikmati dengan tenang. Untuk itu, jangan mengeluh dan ingin hal yang instan. Senja saja perlu waktu beralih dari terang menuju gelap.
Baca: "Kidung Syukur" Tambah Umur
Ketiga, pentingnya 'rehat sejenak' untuk penyegaran jiwa. Senja mengajarkan bahwa istirahat itu perlu. Tidak boleh 'larut' dengan tugas rutin dan kesibukan duniawi lainnya. Aktivitas yang berlangsung selama satu hari penuh ditutup dengan kilauan cahaya indah dan ditutup dengan keheningan yang beku. Seandainya senja dapat bercerita, tentunya ia akan mengingatkan para manusia untuk peduli terhadap dirinya. Padatnya aktivitas di siang hari tentunya harus diakhiri dengan istirahat yang cukup di malam hari.
Keempat, romantika kehidupan. Senja yang eksotis mengajarkan kita bahwa hidup ini pasti memiliki sisi indahnya. Sulit membayangkan kehidupan yang tidak diwarnai dengan kisah romantika. Manusia mungkin tampil sangat bringas, buas, dan garang jika aspek romantika absen. Rasanya, kehidupan itu, tidak akan pernah lepas dari yang namanya romantisme makhluk di dalamnya, meski kadarnya berbeda-beda.
Oleh: Sil Joni*
*Penulis adalah warga Desa Nggorang.