"Merdeka Budaya, Merdeka Indonesia" (foto ist.) |
Ungkapan yang dijadikan judul tulisan ini, saya pinjam dari tema kegiatan perlombaan seni tari tradisional para siswa SMAN 1 Komodo dalam rangka memeriahkan Peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia ke-77. Saya berusaha 'membentangkan makna' yang hendak digemakan dalam tema itu, melalui refleksi sederhana ini.
Baca: Indahnya Hidup dalam Komunitas Budaya
Terus terang, rasa ingin tahu saya untuk menangkap 'pesan' di seberang tema itu, cukup besar. Saya coba bertanya pada seorang staf pengajar di lembaga itu, tetapi beliau agak kesulitan untuk menjawabnya. Soalnya adalah tema itu digodok oleh para siswa sendiri.
Kenyataan (tema itu dirumuskan oleh para siswa) itu, membuat rasa bangga dan kagum saya kepada peserta didik umumnya, dan para siswa SMAN 1 Komodo, semakin bertambah. Betapa tidak. Ternyata para siswa kita sudah mampu berpikir abstrak dan merumuskan sebuah tema kegiatan dalam kalimat yang tidak hanya sarat pesan, tetapi juga sangat selaras dengan nafas utama kegiatan tersebut.
Kembali ke tajuk utama tulisan ini. Kuat dugaan saya bahwa kata budaya dalam tema di atas merujuk pada produk dan aktivitas seni (tari) yang dipentaskan para siswa dalam kegiatan perlombaan. Budaya, dengan demikian, sering diasosiasikan dengan 'warisan khas' dalam sebuah latar kebudayaan tertentu yang masih dan akan terus dipraktekkan secara turun temurun.
Tentu saja, kita butuh ruang dan suasana yang bebas dalam mengekspresikan 'khazanah budaya' itu dalam ruang publik. Iklim politik yang otoriter dan represif, sudah pasti bukan iklim ideal untuk mengembangkan potensi budaya tersebut. Kreativitas seni misalnya, akan bertumbuh subur jika dan hanya jika ruang sosial dan politik bersifat inklusif dan demokratis.
Baca: Urgensi “Sopi” dalam Kebudayaan Orang Manggarai
Sekolah adalah lokus ideal dalam merawat dan mengembangkan kemampuan berkreasi dalam pelbagai bidang, termasuk seni (tari) budaya (lokal). Untuk itu, sekolah mesti menciptakan dan memfasilitasi ruang dan kesempatan yang bebas bagi para siswa dalam menyalurkan dan mengekspresikan 'bakat seni' mereka. Dengan itu, para siswa, boleh merasakan situasi yang merdeka dalam memperlihatkan harta budaya dalam bentuk seni tari etnis.
Jadi, frase 'merdeka budaya' dalam tema kegiatan itu, dikaitkan dengan kebebasan atau kemerdekaan dalam berekspresi. Potensi seni para siswa 'tidak boleh ditekan' atau tidak diberi ruang yang proporsional. Pengungkapan secara bebas kreativitas seni, hemat saya merupakan perwujudan 'hak asasi manusia' dalam bidang budaya.
Ketika ruang ekspresi seni dari setiap entitas (lokal) di republik ini, sudah terbuka lebar, maka kita telah 'merasakan' suasana merdeka dalam arti sesungguhnya. Ketika kebebasan setiap komunitas suku dalam mengekspresikan harta budayanya tidak lagi dihambat atau dikekang oleh penguasa, maka pada saat itulah udara kemerdekaan berhembus dalam jiwa kita.
Indonesia merdeka, dengan demikian, terpotret dari suasana bebas berekspresi dalam lingkup komunitas budaya terkecil. Jadi, ketika semua suku di republik ini, termasuk etnis Manggarai 'bisa tampil secara bebas dan kreatif' dalam memperlihatkan potensi seni budayanya, maka itulah makna kemerdekaan yang sesungguhnya.
Baca: Dialog Publik IKAMATRI Tentang Pesona Tenun Manggarai
Untuk hadirnya 'suasana kemerdekaan yang otentik itu', kita perlu mensyukuri dan merayakannya secara pantas. Saya kira, apa yang ditampilkan oleh para siswa SMAN 1Komodo dan para siswa SMK Stella Maris yang terlibat secara penuh dalam kegiatan Festival Golo Koe, bisa ditakar sebagai bentuk pengungkapan 'rasa merdeka' tersebut. Karena itu, sangat tepat jika 'merdeka budaya' dihubungkan dengan 'merdeka Indonesia'. Dengan perkataan lain, tidak akan ada Indonesia merdeka, jika komunitas etnis belum merdeka dalam berkreasi dan berinovasi dalam bidang seni budaya.
Oleh: Sil Joni*
*Penulis adalah penikmat seni. Tinggal di Watu Langkas.