Merekalah "Filsuf" yang Sesungguhnya |
Oleh: Sil Joni*
Sadar bahwa kapasitas 'rasio' manusia terbatas, maka bagi Nicolaus Cusanus, pengetahuan tertinggi adalah mengakui bahwa kita tidak mengetahui apa-apa (docta ignorantia). Jauh sebelum Cusanus lahir, Sokrates sudah 'mengendus' soal keterbatasan daya kerja rasio itu. Manusia yang bijak baginya adalah manusia yang tahu bahwa dia tidak tahu.
Baca: "Arisan": Lebih dari Sekadar Kegiatan Kumpul-kumpul
Kesadaran tentang 'ketidaktahuan' itu, mendorong manusia untuk mengajukan banyak pertanyaan. Boleh dibilang, ada semacam 'kerinduan dasariah' untuk mengisi 'bejana ketidaktahuan' itu dengan 'cara bertanya'. Hanya dengan dan melalui pertanyaan, misteri di balik realitas yang tampak, perlahan-lahan bisa tersingkap.
Ilmu pengetahuan berkembang dari pertanyaan. Manusia mempertanyakan pelbagai gejala dan fakta yang ada di sekitarnya. Dirinya tidak menerima begitu saja pelbagai kenyataan yang terhampar di hadapannya.
Filsafat yang dalam sejarah perkembangan ilmu dianggap sebagai 'induk ilmu pengetahuan', pun lahir dan berkembang dari pertanyaan. Rasa heran dan curiga terhadap apa yang tampak mendorong manusia untuk membuat 'penyelidikan dan permenungan' yang dipandu oleh pertanyaan-pertanyaan mendasar dalam hidupnya.
Karena itu, secara sederhana filsafat sebenarnya adalah 'bertanya'. Seorang filsuf adalah dia yang tak pernah lelah dan berhenti mengajukan pertanyaan. Berfilsafat, dengan demikian identik dengan aktivitas bertanya.
Mengacu pada pengertian sederhana di atas, maka saya berpikir, seorang anak kecil yang gemar bertanya pada orangtuanya, bisa dipandang sebagai 'filsuf' yang sebenarnya. Terdorong oleh rasa ingin tahu yang mendalam, seorang bocah biasanya mengajukan pertanyaan yang kadang 'tak selalu mudah dijawab'.
Saya sendiri merasakan secara langsung perihal sulitnya menjawab pertanyaan yang diajukan dua anak saya. Dua 'pangeran' saya ini, selalu 'menggempur' saya dengan rentetan pertanyaan ketika saya pulang sekolah dan setiap ada kesempatan ada bersama baik di rumah, di gereja, di bemo, dan di jalanan.
Baca: "Marina Waterfront City": Ikon Baru Kota Labuan Bajo
Mutu pertanyaan yang mereka ajukan, sepertinya tidak kalah dengan para filsuf profesional. Rumusan pertanyaan seperti "apa itu, mengapa, untuk apa, bagaimana, di mana, kapan, dari mana", kerap terlontar dari mulut keduanya.
Memang, di satu sisi, dengan banyaknya pertanyaan, obrolan semakin enak dan lancar. Tetapi, terkadang saya kewalahan untuk meladeni setiap pertanyaan itu. Sesekali, saya menggunakan 'otoritas sebagai orangtua' untuk menghentikan aliran pertanyaan yang meluncur dari mulut mereka.
Saya sadar, cara seperti itu tidak tepat. Alih-alih mendisiplinkan anak, justru dengan 'melarang' anak bertanya, saya sedang 'membunuh' benih kritis dalam diri mereka dan tentu saja 'mematahkan' rasa percaya diri anak. Namun, dalam kondisi darurat, cara seperti itu, dengan terpaksa dipakai.
Pada sisi yang lain, saya harus 'berterima kasih' kepada kedua 'filsuf cilik' ini. Saya bangga pada mereka sebab sudah sejak dini mereka sudah memperlihatkan potensi yang besar untuk menjadi 'manusia pencinta kebijaksanaan' kelak.
Baca: "Hanya Menunda"?: Kesadaran Telat Rezim yang Panik
Pertanyaan yang mengalir dari mulut mereka, membuat saya 'terpacu' untuk tak pernah berhenti belajar. Kendati, pernah mengenyam pendidikan tinggi dan bergelar sarjana, ternyata berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan kritis dari 'dua buah hati' ini, saya tidak ada apa-apanya.
*Penulis adalah warga Desa Nggorang. Tinggal di Watu Langkas.