Oleh: Sil Joni*
Pariwisata Mabar Pasca "Festival Golo Koe" |
Secara etimologis, kata festival diadopsi dari bahasa Latin. Kata dasarnya adalah "festa" yang berarti "pesta". Tetapi, umumnya kata itu mengacu ke aktivitas pesta besar atau acara meriah yang diadakan dalam rangka memperingati sesuatu. Festival juga bisa diartikan dengan hari atau pekan gembira dalam rangka peringatan peristiwa penting, bersejarah. Selain itu, festival itu identik dengan pesta rakyat.
Baca: Mahasiswa KKN di Desa Golo Ndoal, Bangun Gapura Menjelang HUT RI Ke-77
Kegiatan festival ini, sebetulnya sudah sangat 'akrab' di telinga kita. Setidaknya, melalui pemberitaan media, kita sering mendengar dan menonton soal pergelaran pelbagai jenis festival; seperti festival film, musik, seni, religi, dan budaya.
Festival Golo Koe yang digelar selama sepekan (8-15 Agustus 2022), hemat saya masuk dalam kategori festival seni religi dan kultural. Mengapa? Dalam festival itu, unsur seni, agama (Katolik) dan budaya begitu dominan. Pelbagai item acara yang ditampilkan selama satu pekan ini, umumnya dibalut dalam busana seni religio-kultural yang kental.
Mengacu pada definisi di atas, maka rasanya tidak salah jika Uskup Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat, Pr dalam acara pembukaan festival itu menegaskan bahwa festival Golo Koe adalah 'pesta rakyat', bukan pesta kaum berduit saja. Pernyataan Uskup Ruteng itu, terbukti kebenarannya, ketika mayoritas yang 'terlibat dalam festival' itu adalah rakyat jelata dengan beragam profesi. Mereka dengan antusias dan penuh kegembiraan berpartisipasi dalam hampir semua mata acara yang ditampilkan dalam festival itu.
'Pesta rakyat' itu sudah dihelat. Misa akbar yang dipimpin oleh Uskup Ruteng, dan dilanjutkan dengan 'konser tunggal' dari artis nasional, Citra Skolastika menjadi 'acara pemungkas' dari pekan Festival Golo Koe (FGK) itu. Berbagai kisah seputar pergelaran Festival itu, tentu masih dan terus terpatri dalam kitab kenangan publik Mabar.
Baca: "Festival Golo Koe", Pariwisata, dan Gereja yang Terlibat
Pertanyaan kita adalah bagaimana 'wajah pariwisata Mabar' pasca pelaksanaan FGK? Sulit rasanya untuk tidak menghubungkan kegiatan festival itu dengan maraknya aktivitas turisme di Mabar saat ini. Boleh dibilang, FGK merupakan salah satu 'atraksi' untuk menghidupkan kultur pariwisata yang berkualitas.
Menarik bahwa dalam sambutan pada acara penutupan itu, Mgr. Siprianus Hormat memberi sinyal bahwa FGK bakal menjadi 'agenda tahunan' dari Keuskupan Ruteng. Itu berarti FGK akan digelar setiap tahun. Kegiatan itu tidak bersifat sesaat (momental) saja.
Jika FGK ini dilaksanakan secara konsisten setiap tahun, maka tentu menambah opsi atau alternatif dari beragam obyek wisata yang dipasarkan kepada wisatawan selama ini. FGK berpotensi menjadi salah satu 'atraksi wisata' yang menjanjikan di masa mendatang. Bukan tidak mungkin, grafik kunjungan wisatawan bisa meningkat drastis berkat pelaksanaan festival itu. Artinya, FGK menjadi 'magnet wisata' baru bagi Labuan Bajo khususnya dan Mabar umumnya.
Kendati demikian, pertanyaan lanjutannya adalah apakah ada 'korelasi' yang kuat antara perkembangan industri pariwisata dengan tingkat kemasalhatan publik? Apakah FGK dan obyek wisata lainnya, sanggup dikonversi sebagai 'sarana' menghadirkan berkat berlimpah bagi publik Mabar?
Dalam FGK kali ini, pihak Kesukupan begitu tegas 'menyuarakan' urgensi implementasi konsep pariwisata holistik di wilayah ini. Tiga indikator yang mesti diperhatikan dalam desain pariwisata holistik itu adalah berpartisipasi, berbudaya, dan berkelanjutan.
Sesuai dengan pertanyaan di atas, maka aspek partisipasi menjadi sorotan utama. Kita tahu bahwa Labuan Bajo sudah ditetapkan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sebagai salah satu destinasi 'super-prioritas' yang berlabel super-premium. Itu berarti konsep pariwisata super-premium, sedang diterapkan di Labuan Bajo.
Secara sederhana, term super-premium itu identik dengan pariwisata yang 'mahal, mewah'. Mahal karena obyek wisata itu sangat unik, tidak ada duanya di dunia ini. Untuk itu, sesuatu yang langka harus bersifat eksklusif. Barang itu hanya dinikmati oleh orang kaya. Sebuah pariwisata yang berisfat elitis dan eksklusif sedang dikembangkan di Labuan Bajo melalui 'label super-premium' itu.
Pengelolaan dan penataan pariwisata, dengan demikian mesti mengikuti 'standar' super-premium itu. Sementara kita tahu bahwa kualitas sumber daya kita belum sepenuhnya mencapai standar itu, Besar kemungkinang, masyarakat lokal 'gagal berkompetisi' untuk menjadi pemain utama dalam lapangan pariwisata super-premium itu. Ruang partisipasi masyarakat dalam 'mengambil untung' dari keberadaan pelbagai obyek wisata, menjadi terbatas.
Selain itu, akses publik menuju spot-spot wisata, terutama yang masuk kategori 'super-premium', menjadi tertutup. Pariwisata super-premium cenderung 'menyingkirkan' masyarakat lokal.
Jadi, jelas ada perbedaan antara konsep pariwisata holistik yang disuarakan Gereja dengan konsep pariwisata super-premium yang digagas pihak pengambil kebijakan. Tentu, ini menjadi tantangan dan tugas Gereja bagaimana 'menjembatani' jurang yang lebar antara pariwisata holistik dengan pariwisata super-premium.
Baca: Festival Golo Koe, Magnet Wisata Baru Labuan Bajo
Jika dalam pariwisata holistik, unsur partisipasi publik, sangat ditekankan. Pariwisata mesti menghadirkan kesejahteraan yang besar bagi banyak warga lokal. Tetapi, dalam pariwisata super-premium, justru partisipasi itu dibatasi. Mereka yang berduit dan punya keterampilan mumpuni yang 'eksis' dalam pasar pariwisata. Dengan perkataan lain, pariwisata super-premium hanya menguntungkan segelintir orang, umumnya para pemilik modal dan yang punya jaringan dengan pihak penguasa dan pengusaha.
*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.