Pemprov Kembali ke Jalan yang Benar? |
Pemerintah Propinsi (Pemprov) NTT melalui Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Zet Sony Libbing memberikan dispensasi penundaan pemberlakuan kebijakan menaikan tarif ke Pulau Komodo dan Pulau Padar. Dispensasi itu mulai berlaku, Senin (8/8/2022) sampai tanggal 31 Desember 2022. Itu berarti selama kurang lebih 5 bulan ke depan, tarif masuk ke dua lokasi wisata itu, mengikuti kebiasaan sebelumnya, yaitu 150 ribu per individu.
Baca: Diutus untuk "Menguduskan" Warga Desa
Pemberian dispensasi itu, tentu memantik beragam tanggapan dan interpretasi dari publik. Pertanyaan kritisnya adalah mengapa setelah tidak ada lagi gerakan protes dan para demonstran 'dipaksa' untuk menyetujui kebijakan kenaikan tarif itu, Pemvrov berubah sikap? Bukankan pada saat suara protes bergemuruh di ruang publik, Pemprov tetap 'ngotot' memberlakukan kebijakan baru itu per 1 Agustus kemarin? Ada apa dengan Pemprov?
Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) partai Perindo Manggarai Barat (Mabar), Stanislaus Stan mengapresiasi perubahan sikap Pemprov itu. Melalui kanal Youtube Jon Kadis, beliau bahkan dengan lantang mengucapkan selamat kepada Pemvrov karena telah kembali ke jalan yang benar. Bagi Stanis, pemaksaan pemberlakuan kebijakan menaikan tarif masuk ke Pulau Komodo dan Padar sebelumnya, merupakan sebuah indikasi bahwa Pemprov berada pada jalan yang sesat.
Namun, dalam media yang sama juga, Stanis tetap konsisten 'menolak' pemberlakuan kebijakan kenaikan tarif masuk ke Komodo dan Padar itu. Bagi Stanis, kebijakan itu 'sangat merugikan' banyak pihak, tidak hanya pelaku wisata, tetapi semua sektor yang menjadi penopang aktivitas turisme. Jadi, bukan soal tepat atau tidak tepat waktunya (timing), tetapi kebijakan itu, dalam dirinya sendiri berpotensi menghadirkan dampak buruk bagi perkembangan kegiatan kepariwisataan di Labuan Bajo dan sekitarnya.
Baca: Prahara di Tanah Wisata (Membaca Rencana Boikot Pegiat Wisata Labuan Bajo)
Mengacu pada pendapat terakhir ini, saya berpikir ucapan selamat kepada Pemprov karena dinilai telah kembali ke jalur yang benar, rasanya agak kepagian. Masalahnya adalah Pemprov hanya 'menunda' pelaksanaan dari kebijakan itu. Aspirasi dan tuntutan masyarakat agar kebijakan itu 'dirombak' dan atau ditiadakan, tidak direspons dengan baik. Kelihatannya Pemprov coba berusaha menetralisasi suasana melalui kebijakan pemberian dispensasi itu.
Potensi munculnya sisi negatif dari kebijakan itu, tidak dikaji dengan baik. Sebaliknya, Pemprov secara taktis memberikan dispensasi sehingga 'ruang dialog' dan pendekatan yang lebih intensif dengan para pemangku kepentingan, semakin terbuka lebar. Dengan itu, kesan otoritarianisme yang 'tertancap' dalam tubuh rezim ini, perlahan-lahan dikikis sebab nyatanya Pemprov membuka ruang partisipasi bagi publik dalam mendesain dan mengeksekusi sebuah kebijakan publik.
Karena itu, jika kita mengamini bahwa kebijakan kenaikan tarif itu lebih banyak menghadirkan sisi mudarat ketimbang sisi maslahatnya, maka menunda atau memberikan dispensasi ke harga semula, tidak bisa dijadikan dasar untuk mengatakan Pemprov sudah 'bertobat'. Tidak ada niat untuk kembali ke jalan yang benar sebab 'melewati jalan sesat' hanya soal waktu. Pada saatnya nanti, jalan yang sesat itu akan dibuka dan kita dipaksa untuk melewati jalur yang salah itu.
Idealnya, sisi partisipasi publik tidak boleh absen, dalam merumuskan sebuah kebijakan publik, mulai dari tahap penggodokan ide, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Sayangnya, dalam mendesain kebijakan kenaikan tarif, Pemprov lebih mendengar 'suara cendekiawan fachidiot', ketimbang aspirasi publik. Hasil kajian para pakar dijadikan referensi absolut untuk menjustifikasi tingkat kemendesakan pemberlakuan kebijakan itu.
Sebuah kebijakan yang tidak ditopang dengan dukungan publik, berpotensi melahirkan kegaduhan yang kontraproduktif bagi pemanifestasian kebijakan tersebut pada level praksis. Itulah yang terjadi dengan Pemprov NTT melalui pemaksaan pemberlakuan 'kebijakan kenaikan tarif ke Komodo dan Padar'. Sampai detik ini, Pemvrov dinilai 'sangat suskses' menciptakan kegaduhan di Labuan Bajo yang berpuncak pada status 'siaga satu' selama beberapa jam bagi kota wisata nan cantik ini.
Pemprov NTT 'terjaga' pasca menguatnya gelombang aksi protes di Mabar. Jika sebelumnya, mereka mengabaikan begitu saja sisi dialogis dan partisipatif publik, dalam merancang kebijakan kenaikan tarif itu, kali ini, setelah mendapat 'arahan teknis dari presiden' dan masukan dari para tokoh masyarakat dan agama, Pemprov berniat membuka ruang dialog dan sosialisasi dengan segenap pemangku kepentingan di Labuan Bajo.
Baca: Ketika "Para Sarjana" Bertarung dalam Pilkades (Nggorang)
Kesadaran politis ini, meski datang 'telat', patut diapresiasi. Setidaknya, ini menjadi sebuah teks pembelajaran yang berarti bagi pemerintah agar tidak gegabah dan penuh arogansi dalam merumuskan dan mengimplementasikan sebuah kebijakan publik. Mengingat penerima manfaat dari sebuah kebijakan adalah publik, maka sudah menjadi sebuah keharusan, pemerintah selalu mempertimbangkan aspirasi dan tuntutan warga dalam memberlakukan kebijakan tersebut.
Oleh: Sil Joni*
*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.