Dalam studi politik kontemporer, term "musuh politik" direvisi. Istilah 'musuh' (enemy) memiliki makna yang sangat negatif. Sebagai gantinya, istilah 'lawan' (adversary), direkomendasikan. Sebuah kontestasi politik, kehadiran "lawan atau kompetitor politik", menjadi sebuah keharusan. Jadi, para aktor yang terlibat dalam sebuah pertandingan politik, hendaknya memperlakukan sesamanya sebagai "lawan" dan bukan sebagai 'musuh'.
Baca: Pemprov Kembali ke Jalan yang Benar?
Jika kita memandang sesama pemain dan para pendukung mereka sebagai 'musuh', maka muncul kecenderungan untuk 'melenyapkan' keberadaannya. Naluri membunuh bakal diperlihatkan secara sempurna. Kita berusaha 'menyingkirkan' yang lain dengan menghalalkan segala cara.
Dengan itu, besar kemungkinan, suasana politik berlansung dalam 'ketegangan yang tinggi'. Komunisasi dan interaksi politik cenderung bersifat kaku dan penuh kehati-hatian. Kita selalu diselimuti oleh 'rasa curiga'. Tegasnya, situasi negativitas yang diwarnai dengan 'kebencian' begitu menguat.
Sebaliknya, jika kita menganggap 'kubu politik yang berbeda' dengan kita sebagai 'lawan yang punya tujuan yang sama', maka rasa curiga, benci, prasangka, pembunuhan karakter dan pelbagai agresi politik yang mematikan, bisa dihindari. Kita memberikan respek yang wajar terhadap sang lawan, sebab tanpa kehadiran mereka, tidak tercipta sebuah iklim pertarungan yang sehat dan berkualitas.
Penghargaan yang wajar terhadap sang lawan memungkinkan lahirnya pola komunikasi yang dinamis dan cair. Kita tidak segan lagi untuk 'berdiskusi' dengan kelompok yang dianggap lawan politik. Dasarnya adalah baik kita maupun lawan politik memiliki tujuan yang sama, yaitu ingin mendapat legitimasi dalam menata dan memperbaiki mutu kehidupan bersama di suatu daerah atau Desa.
Baca: Diutus untuk "Menguduskan" Warga Desa
Kita berharap para calon kepala Desa (Cakades) yang berlaga dalam kontestasi Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) kali ini, boleh memperlakukan kelompok yang berbeda haluan politik sebagai 'lawan yang sepadan' dan bukan sebagai musuh yang harus diperangi habis-habisan.
Para Cakades itu, mesti dengan 'riang gembira' mengunjungi para konstituen untuk memasarkan dan menawarkan gagasan bermutu dalam memperbaiki wajah Desa, termasuk di wilayah yang diklaim sebagai 'basis' dari kandidat tertentu.
Konstituen adalah wajib pilih yang tinggal dan hidup di Desa tersebut. Oleh sebab itu, semua Cakades punya 'hak yang sama' untuk mempromosikan diri dan pelbagai konsep yang diusungnya. Para Cakades adalah pribadi yang punya kemungkinan untuk menjadi 'pemimpin'. Sebagai kandidat pemimpin, semua konstituen 'wajib tahu' soal kompetensi dan kualitas kepemimpinan mereka yang salah satunya tergambar dari 'konsep politik' yang tertuang dalam bentuk visi, misi, dan program prioritas.
Itu berarti, konstituen itu bukan 'musuh', tetapi warga Desa di mana para Cakades itu akan tampil sebagai Kepala Desa. Jadi, pendekatannya tidak lagi berdasarkan 'perbedaan dukungan politik', tetapi semata-mata menggunakan kerangka berpikir sebagai "warga Desa".
Saya kira, sudah menjadi rahasia umum bahwa 'kondisi negativitas', memperlakukan mereka yang bukan kelompok kita sebagi musuh, justru sangat kontraproduktif dalam upaya memanifestasikan idealisme politik, ketika seseorang terpilih. Kita tahu bahwa dalam negativitas politik, aura negatif seperti saling caci, saling menjatuhkan, dan saling mencari keuntungan sendiri, begitu didewakan.
Politik semakin jauh dari fitrah awalnya sebagai polis, tempat yang layak untuk membicarakan kesejahteraan banyak orang (bonum commune).
Mengapa hal ini terjadi? Pada tahun 1980-an, seorang pemikir Chantal Mouffe menulis: politik kehilangan “momen militansi” (Leidenschaft) (2007: 40). Politik yang di dalamnya terdapat pertarungan wacana-wacana tidak menyiapkan pegiat politik yang militan dan punya keberpihakan pada norma-norma demokrasi seperti kejujuran, kebebasan, dan toleransi.
Akibatnya, lanjut Mouffe adalah “pemuliaan demokrasi” (glorification of democracy) tanpa ada semangat militansi dan keberpihakan pada rakyat (2007: 40). Demokrasi tanpa militansi (untuk rakyat) dan keberpihakan pada norma-norma demokrasi akan kehilangan rohnya sendiri. Bahkan, tanpa militansi dan keberpihakan itu, demokrasi akan membunuh dirinya sendiri!
Baca: Prahara di Tanah Wisata (Membaca Rencana Boikot Pegiat Wisata Labuan Bajo)
Benar bahwa demokrasi memang menyediakan gelanggang pertarungan satu sama lain. Dalam demokrasi ada kawan, ada pula lawan. Dalam demokrasi ada sahabat, ada kompetitor. Tetapi pertarungan kawan vs lawa tidak diartikulasikan secara emosional. Kawan vs lawan tidak berarti kita saling membenci.
Kita membutuhkan sosok politik (Cakades) yang punya semangat militansi keberpihakan dan kepedulian terhadap kepentingan publik. Sensitivitas politik Cakades itu bisa terbaca dari cara mereka memperlakukan konstituen dalam kontestasi ini. Cakades yang menghargai dan memperlakukan semua konstituen sebagai wajib pilih yang setara, tentu dengan penuh antusias menyebarkan dan menawarkan gagasannya, tanpa terbebani dengan klaim subyektif soal kubu-kubu politik.
Jadi, dalam kontestasi Pilkades, tidak ada yang disebut 'musuh politik'. Yang ada adalah lawan politik yang punya posisi setara sebagai warga Desa. Para Cakades mesti memperlihatkan spirit militansi keberpihakan melalui tawaran konsep yang berpijak pada permasalahan dan kebutuhan konkret warga Desa. Para Cakades harus dengan berani menjebol tembok prasangka politik untuk menjumpai semua konstituen dan mewartakan secara lantang gagasan politik yang brilian, solutif dan efektif demi menggapai cita-cita meningkatkan kualitas kemaslahatan publik di level Desa.
Oleh: Sil Joni* (Penulis adalah warga Desa Nggorang.)