Oleh: Fr Hermanus Ndode, CP
Tari menitihkan air mata. Ia menangis karena tersakiti. Mau dibawa ke mana lagi segala caci maki dan kata-kata umpatan kalau tidak ditangisi. Badannya yang kurus semakin kurus sebab beberapa hari belakangan ini, tak sesendok makanan pun masuk ke mulutnya. Sudah lima tahun Tari dan Antoni berumah tangga. Selama lima tahun juga Tari menahan sakit. Sakit karena penghinaan juga tonjokan dan tamparan Antoni, suaminya. Tari sering kali lari dari rumah, namun kembali ke rumah menjadi jalan akhir pelariannya.
Baca: DemiMasa Depan Anak-anak Stella Maris (Apresiasi untuk Panitia ANBK)
Tari tidak bisa menghindar dari Persoalan yang menimpa dirinya sebab, dirinya masih bagian dari tanggung jawab penuh suaminya. Satu alasan membuat Tari bertahan ialah soal janji nikah yang telah diikat oleh Gereja. Mereka berjanji untuk setia dalam suka dan duka. Terlepas dari alasan itu, Tari ingin memberontak dan melawan. Namun lingkungan tempat tinggal Tari seakan menutup mata dengan masalahnya.
Tari pun bertanya-tanya dalam hati, “Oh... laki-laki, tidak mengertikah engkau akan diriku? Apakah diriku hanya berguna di ranjang dan di dapur? Tidak tahukah engkau atau engkau pura-pura lupa bahwa yang melahirkan engkau adalah seorang wanita? Apakah tangan dan kakimu diajarkan untuk memukul dan menendang wanita? Sebegitu rendahkah diriku di hadapanmu, sehingga kau perlakukanku sesukamu? Aku butuh kasih sayang darimu dan aku mau kamu memberiku rasa nyaman. Nyaman berada di mana pun aku berpijak.”
Di kala mentari mulai menyingsing, Tari sering kali menyembunyikan senyuman. Senyuman seakan mahal untuk dilelangnya. Ia yang dipukul di rumah, kini harus berhadapan dengan masalah lain di tempat ia bekerja sebagai sorang bidan. Tari digoda oleh Miki, Dokter Bedah dan beberapa kali dilecehkan. Tetapi lagi-lagi Tari terjepit dalam keadaan takut bersuara. Ia takut kehilangan pekerjaan sekaligus kehilangan suaminya. Tari Memilih menutup mulut atas kasus pelecehan terhadap dirinya. Namun, pada satu kesempatan tangan Tari yang bertindak. Ia membela diri dan tanpa sengaja menusuk Miki dan akhirnya Miki meninggal dunia.
Tari kini ditangkap polisi dengan tuduhan pembunuhan. Tari yang melawan ketidakadilan memperoleh baju tahanan. Tari pasrah, tertunduk, dan tertekan. Kemudian Tari merasakan rangkulan hangat. Saat ia menengadah, wajah Antoni tergambar jelas di matanya. “Aku minta maaf mas.” Kata Tari.
Antoni membalas, “Aku yang seharusnya minta maaf padamu Tari, aku terlalu egois. Aku selalu menuntut lebih darimu. Aku tidak pernah melindungimu. Aku menganggapmu lemah.” Tari menjawab “Terima kasih mas, untuk pelukan hangatmu. Apakah aku harus membunuh lagi, supaya mendapat pelukan hangat seperti ini?” “Tidak Tari, kamu tidak perlu lakukan itu lagi” Jawab Antoni.
Tari dijatuhi dua tahun hukuman kurungan oleh pengadilan. Di pengadilan, Antoni berteriak, “Ini tidak sesuai Pak, istri saya tidak mendapat keadilan, dia yang harusnya menjadi korban. Dia dilecehkan oleh Miki. Negara ini negara hukum, jadi hukum tidak bisa disalahgunakan.” Tari membatin, “Ah Antoni, tidak sadarkah kau akan kekerasan yang kau lakukan padaku. Kau berbicara keadilan Antoni…seakan-akan kau memperlakukanku dengan adil. Sekarang kau membelaku, lalu selama ini mengapa tangan dan kakimu menampar dan menendangku. Kau berdiri tanpa tahu malu, tanpa melihat keburukan tingkahmu padaku. Bagiku lebih baik menerima dan menjalani hukuman ini ketimbang kembali kepadamu. Aku berjanji dalam hatiku ini Antoni, setelah bebas ku ingin berpisah. Setiap masalah datang, aku memilih untuk diam. Tetapi kali ini pelarianku bukan untuk kembali bersamamu, melainkan untuk keluar dari kekanganmu. Aku tidak mau diam lagi. Aku memutuskan hubungan ini untuk kebaikan kita berdua. Pada saatnya nanti kau akan dengar jeritan hatiku.” Protes Antoni sia-sia belaka, sebab Tari tetap dipenjarakan selama dua tahun. Kata hati Tari terungkap lagi, “Pulang saja sendiri Antoni. Aku merasa ikatan cinta kita tidak perlu diperjuangkan lagi. Apa gunanya kita menjalani aturan perkawinan Gereja yang monogami dan tak terceraikan? Kalau Gereja tidak membimbing kita atau karena kita yang tidak mau dibimbing.”
Antoni mengalah, merelakan, dan membiarkan istrinya menjalani hukuman penjara. Meskipun begitu, Antoni mengomel lagi, “Mengapa kau tidak mengatakan yang sebenarnya Tari? Kamu itu tidak bersalah, ceritakan yang sejujurnya. Kamu pasti bisa mengatakan itu.”
Sahut Tari di dalam hati, “Ingin kuutarakan kata hati ini Antoni. Ku ingin kau berada dan mendukungku seperti ini setiap hari, bukan hanya karena kau membutuhkanku, tetapi juga saat kau tidak membutuhkanku. Aku sudah terbiasa berbicara dalam diam. Aku tidak layak berkata-kata dengan suara keras. Cukup aku berbicara dalam hati seperti ini, lalu meneteskan air mata. Bukankah air mata mengisyaratkan kelemahanku? Bukankah diam begini keinginanmu dariku? Kau mengatakan aku cerewet atau pun wanita pedemo kalau mulai banyak berbicara. Ketika aku menyimpan saja keluhan dan diam tanpa kata, kau menuntutku untuk merangkai kata. Apa sebenarnya maumu Antoni...? Tahukah kau, aku berbicara dalam diam karena mulut dan bibirku terasa kaku. Aku ragu kalau kau benar-benar mendengarkanku.”
Baca: Inisiatif SoalPerbaikan Ruas Jalan Rusak Dari Cabang Menuju Nangka, Begini Kata Warga
Tari kemudian dibawa masuk ke dalam sel. Ruangan kecil itu seperti isi hati Tari yang menyimpan banyak coretan suka dan duka. Pada pojok kanan ruangan terdapat bekas cakaran dan telapak tangan para penghuni sebelumnya. Ada juga bekas kaki, sebesar kaki Antoni. Sehabis memandangi ruangan kecil itu, Tari berkata, “Aku memang bersalah. Aku telah menyebabkan Miki meninggal. Aku layak tinggal di ruangan ini. Aku seorang pembunuh. Aku tidak pantas menuntut keadilan. Bagiku, keadilan sekedar imajinasi tanpa praktik nyata. Mereka yang kuat, yang kaya, yang punya banyak relasi, yang pandai berbicara, dan kedudukannya tinggi boleh meneriaki keadilan. Sedangkan aku yang tak berdaya hanya siap mengangguk, menyetujui, dan mengiyakan setiap pesan yang mereka bicarakan. Lebih aman bagi diriku yang selama ini terpenjara untuk tinggal di penjara. Apa aku harus memberontak? Apa aku harus menerobos sel-sel ruangan ini, dan berlari mencari kebebasan sambil berhati-hati? Aku tersingkir dari kehidupanku sendiri. Aku takut berbicara, takut mengatakan yang sebenarnya. Takut selalu menjadi penghalangku. Aku kini kebingungan, karena di saat bangsa Indonesia merayakan kemerdekaan pada hari Rabu ini, aku masih di tangga keraguan. Aku belum merdeka. Aku belum bebas dari ketakutan. Ketakutan akan hukuman yang kujalani nanti. Takut aku mati dalam ketakutan. Ketakutan menerjang sampai aku kehilangan pegangan.”
Tari duduk dan dia pasrah akan datangnya hari esok. Dia diam dan terus diam sembari memandang tembok sel yang bertuliskan ,”TAMAT".