Writing is a Habit |
Oleh: Sil Joni*
Manusia adalah makhluk yang kaya ide, konsep, persepsi, rasa, emosi, imajinasi, dan pelbagai fakultas mental lainnya. Semua 'harta rohaniah' itu, tentu tidak untuk 'ditimbun' dan dipajang begitu saja dalam tubuh, tetapi menjadi 'kapital' untuk secara efektif dan kontinyu memanifestasikan hakikat eksistensialnya sebagai entitas yang ada dan hidup bersama dengan yang lain. Dengan lain perkataan, pelbagai 'pusaka batin' itu, merupakan perkakas ideal mempertahankan sisi survivalitas manusia dalam relasinya dengan yang lain.
Baca: Undangan Konferensi Pers WALHI NTT
Secara kodrati, manusia 'terdorong' untuk keluar dari cangkang egonya guna menjumpai yang lain. Untuk itu, manusia butuh sarana agar momen perjumpaan itu berlangsung efektif dan produktif. Pelbagai khazanah batinnya coba diaktualisasikan dalam medan kebersamaan itu. Komunikasi dan interaksi bisa berjalan baik jika dan hanya jika manusia memiliki kecakapan dan kebiasaan untuk 'mengungkapkan' modal personalnya melalui media yang bisa dimengerti oleh sesamanya.
Bahasa dan komunikasi memainkan peran sentral dalam keberlanjutan kondisi ada bersama tersebut. Pola komunikasi verbal dan non verbal bisa dipakai secara bergantian agar tercapai saling pengertian di antara manusia yang berjumpa dalam ruang dan waktu yang spesifik.
Kemampuan berbahasa pada manusia, tidak terjadi begitu saja tanpa sebuah proses pembiasaan, mulai dari pranata sosial terkecil, sampai pada lingkungan sosial yang lebih luas. Tindak wicara misalnya, merupakan buah dari sebuah pola yang rutin yang ditanamkan sejak dalam kandungan, hingga pada fase di mana manusia menemui titik batas hidupnya.
Baca: Jumpa Media Bernasindo" Dihadiri Puluhan Mahasiswa: Simak Hasil Diskusi di Sini
Demikian halnya dengan kemampuan menulis. Jika kita punya kemauan atau komitmen yang kuat untuk mengembangkan keterampilan menulis, maka kegiatan menulis itu mesti menjadi sebuah kebiasaan (writing is a habit).
Itu berarti, menulis menjadi aktivitas rutin dan inheren yang tak bisa dilepaskan dari kehidupan kita setiap hari. Konkretnya, kita mesti menulis setiap hari. Sama seperti tindakan berbicara, menulis bisa menjadi 'alat' mengkomunikasikan dan membagi harta pengetahuan yang kita miliki setiap hari. Jadi, bahasa tulis, sebetulnya tidak hanya menjadi 'opsi alternatif' tetapi, dalam situasi tertentu menjadi instrumen utama dalam membangun kesepahaman di antara manusia.
Karena itu, untuk menghidupkan budaya menulis di sekolah, mau tidak mau, suka tidak suka, para guru mesti "mengkreasi ruang dan peluang" bagi peserta didik agar jatuh cinta pada kegiatan menulis. Dengan itu, menulis menjadi sebuah kebiasaan dan sumber kebahagiaan bagi peserta didik. Mereka boleh merasakan bahwa makna hidup bisa didapat dari seberapa tekun dan serius menggeluti aktivitas menulis tersebut.
Harus diakui bahwa tugas untuk menumbuhkan kebiasaan menulis ini, sebetulnya tidak mudah. Para guru mesti mencurahkan perhatian penuh dengan memberikan contoh menarik bagaimana semestinya memulai sebuah kegiatan menuangkan ide dalam tulisan.
Baca: Jalan-jalan Sore, Saatnya Healing?
Masalah utama kita adalah tidak berani untuk memulai. Pun, jika keberanian itu ada, sifatnya hanya sesaat alias timbul tenggelam. Sangat jarang kita menemukan sosok yang secara konsisten menekuni dunia literasi itu setiap hari. Rupa-rupa alasan pembenaran dikedepankan ketika ditelaah akar solnya. Semua argumentasi itu, tetap dihargai karena bagaimana pun juga, tidak ada unsur paksaan dalam menghidupkan kultur literasi ini.
*Penulis adalah Staf Pengajar SMK Stella Maris Labuan Bajo.