Bermazmurlah dan Bernyanyilah Bagi Tuhan |
Oleh: Sil Joni*
Dalam tulisan sebelumnya yang berjudul "Homo Cantat", saya menjelaskan posisi ontologi manusia sebagai 'makhluk bernyanyi'. Secara khusus, melalui refleksi itu, dibahas juga peranan menyanyi dalam ibadat liturgi agama Katolik. Menyanyi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari tindakan memuji dan menyembah Tuhan.
Implikasi logis dari status manusia sebagai makhluk bernyanyi adalah manusia 'dipanggil' untuk terus 'bernyanyi' bagi Tuhan. Teks Mazmur 96:1 "Nyanyikanlah nyanyian baru bagi Tuhan, menyanyilah bagi Tuhan, hai segenap bumi", bisa menjadi semacam dasar biblis imperasi bernyanyi tersebut.
Baca: Homo Cantat
Namun, dalam gereja Katolik ungkapan 'nyanyian baru' tidak dimaknai sebagai 'mendendangkan' lagu-lagu profan dan bergenre pop rohani dalam setiap ritual liturgi. Ungkapan itu lebih dimengerti dalam 'terang penghayatan iman'. Manusia mesti bersyukur atas hidupnya yang diberikan secara gratis oleh Tuhan. Ekspresi rasa syukur dan pujian itu dinyatakan dalam bentuk nyanyian. Tetapi, tidak semua dan sembarang lagu dipakai untuk menggemakan pujian kepada Tuhan itu. Hanya lagu-lagu liturgi resmi gereja yang dinyanyikan dengan penuh perasaan dan penghayatan yang pantas dilantunkan dalam ibadat keagamaan.
Bernyanyi bagi Tuhan, dengan demikian menjadi semacam 'panggilan primordial' manusia. Rasanya, manusia tidak bisa berpaling dari pancaran sinar kemuliaan Tuhan. Bermazmur dan bernyanyi merupakan 'respons spontan' manusia kala berhadapan dengan keagungan Tuhan itu. Dengan demikian, dalam level tertentu, sebuah lagu adalah manifestasi pujian kepada Yang Maha Tinggi itu.
Bermazmur (Ibrani: zamar) berarti menaikkan nyanyian pujian sambil memainkan alat musik. Nyanyian yang dinyanyikan adalah nyanyian rohani. Sedangkan “bernyanyi” (Ibrani: shiyr) berarti menyanyi sebagai tanda sukacita (I Sam 18:6). Secara umum, menyanyi artinya mengeluarkan suara dengan nada-nada, dengan lirik atau tidak. Jadi, bermazmur bagi Tuhan artinya bernyanyi/menaikkan nyanyian pujian sambil memainkan alat musik kepada Tuhan sebagai tanda sukacita karena perbuatan Tuhan.
Jika manusia adalah 'makhluk bernyanyi', maka logisnya, tidak perlu kelompok kor atau paduan suara khusus di gereja. Dengan kapasitas yang dimilikinya, setiap umat bisa dengan leluasa berpartisipasi dalam setiap ibadat liturgi. Umat tidak seharusnya menjadi 'penonton' sebab menyanyi adalah 'ekspresi iman' kepada Tuhan. Umat yang datang ke gereja memiliki tujuan yang sama yaitu, memuji dan memuliakan Tuhan melalui kata dan lagu, bukan datang menonton 'konser musik pop rohani'.
Baca: "Budaya Komentar" Vs Budaya Literasi
Kreativitas dari pencipta lagi pop rohani, tentu sangat dihargai. Tetapi, tidak dengan itu, kita dengan bebas 'melantunkan lagu-lagu pop rohani dan yang bernuansa profan' dalam memeriahkan sebuah perayaan liturgi. Lagu pop rohani dan yang bernuansa profan tidak untuk didendangkan di gereja. Sebaliknya, di dalam gereja, lagu-lagu liturgi resmi perlu menjadi pusat perhatian. Bukan soal baru atau tidaknya lagu tersebut, tetapi bobot teologis-biblis dan cara menyanyikan lagu-lagu liturgi yang sudah klasik itu, menjadi pertimbangan utama.
Nyanyian adalah 'sarana' untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Dalam dan melalui tindakan 'menyanyi', kisah perjumpaan personal dengan Tuhan menjadi lebih mudah terwujud. Karena itu, keberadaan kelompok kor di dalam gereja, mesti sanggup menolong umat untuk mengalami suasana perjumpaan itu. Jangan sampai ada kesan bahwa umat hanya 'terpesona' dengan penampilan peserta kor, tetapi relatif tidak merasakan kehadiran Tuhan dalam upacara liturgi itu.
Hari ini, Minggu (18/9/2022) komunitas SMK Stella Maris dipercayakan untuk 'menanggung upacara liturgi' di gereja Wae Ksambi. Sebuah kelompok kor yang terdiri dari para guru SMK Stella Maris coba 'menjawab kepercayaan' itu melalui penampilan yang memukau. Tetapi, semua itu dibuat untuk semata-mata memuji dan memuliakan Tuhan, bukan untuk mencari popularitas diri.
Saya senang karena lagu-lagu yang 'dipilih' oleh pemimpin paduan suara ini, umumnya 'lagu-lagu umat' yang sudah memenuhi kualifikasi lagu liturgi resmi gereja. Lagu-lagu itu diambil dari 'buku Dere Serani', sebuah kumpulan lagu liturgi resmi gereja dalam bahasa Manggarai. Dengan itu, umat bisa terlibat aktif dalam menyanyi bersama kelompok Paduan Suara Stella Maris itu.
Latihan yang serius dan melelahkan selama ini (kurang lebih 2 Minggu), membuahkan hasil yang maksimal. Para peserta terlihat begitu semangat dan antusias dalam melantunkan lagu-lagu liturgi lokal tersebut. Berharap umat yang hadir bisa merasakan kehadiran Tuhan dan mengalami kisah perjumpaan yang membahagiakan dalam dan melalui lagi-lagu tersebut.
Baca: Agar Tubuh Tetap Segar
Akhirnya, mari kita memberi diri, terutama bakat kita untuk memuliakan nama Tuhan. Bermazmur bagi Tuhan adalah memberikan keseluruhan hidup kita kepada Allah, untuk memuji dan menyembah Dia sepanjang hidup kita.
Manusia dapat menyembah Sang Pencipta dengan cara yang berkembang dari waktu ke waktu melalui musik, cara beribadah, bahkan juga dengan teknologi. Namun semua itu, harus dilakukan dengan hati yang tulus, dan tertuju kepada Allah. Dengan itu, hidup kita “menjadi berkat bagi sesama” demi kemuliaan Tuhan. Bermazmurlah bagi Tuhan, hai segenap bumi.
*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.