Bidik Pemimpin dalam Bilik |
Oleh: Sil Joni*
Kedaulatan publik dalam sebuah kontestasi demokrasi terjelma seutuhnya ketika berada dalam 'bilik suara'. Hati nurani kita relatif bekerja otonom dalam menentukan preferensi politik. Sisi kebebasan dalam memilih diartikulasikan dengan baik sebab tidak ada orang yang mengintervensi dan "mengganggu" suara hati kita.
Baca: Menghajar "Tim Serangan Fajar"
Keputusan 'dalam kamar kecil' itu, sangat menentukan perkembangan dan masa depan sebuah Desa. Karena itu, mari kita optimalkan momen kesendirian di bilik itu untuk membidik dengan tepat figur yang bisa memenuhi ekspektasi politik publik.
Sedapat mungkin, pertimbangan yang bersifat primordial seperti agama, suku, keluarga, kampung, dan lain-lain, dihindari. Kita tidak sedang memberi pekerjaan kepada keluarga, anggota kelompok, atau warga kampung kita. Jika pertimbangan primordial menjadi basis dalam memilih, maka rasanya Pilkades relatif tidak berdampak bagi ideal perbaikan tingkat kemaslahatan publik di level Desa.
Saya berpikir, dalam era posmodern seperti sekarang ini, pemimpin desa yang harus diutamakan ialah mereka yang punya kapabilitas yang memadai. Kemajuan dan perubahan bisa kita raih jika dan hanya jika Desa itu dinahkodai oleh pemimpin yang berkompeten, berkapasitas, dan berintegritas.
Jika suatu desa dipimpin oleh sosok yang cacat secara intelektual, moral dan sosial; maka Desa itu berpotensi menjadi Desa gagal atau minimal berjalan stagnan. Pemimpin yang dibutuhkan oleh masyarakat sekarang yakni seseorang memiliki akseptabilitas namun ditunjang oleh moral yang baik, memiliki kemampuan yang cukup untuk memimpin dan membimbing masyarakatnya. Selain itu, kita membutuhkan figur yang memiliki kemampuan dalam melaksanakan tugas-tugas administratif dan perpolitikan, serta memiliki wawasan yang luas dan pandangan yang luas terhadap perbaikan kondisi konkret yang terjadi di tengah masyarakat.
Baca: Pilkades dan Prospek Demokrasi Desa
Hari ini, Kamis (29/9/2022), publik konstituen di 102 Desa dari 164 Desa di Manggarai Barat (Mabar), akan berduyun-duyun ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk memilih pemimpin yang berkualitas. Kita akan segera mengetahui siapa yang mendapat legitimasi publik untuk menjadi Kepala di sebuah Desa.
Kepala Desa (Kades) memiliki kekuasaan yang besar. Dalam prakteknya, banyak yang tampil bak 'raja kecil' yang punya kekuasaan absolut. Efeknya adalah demokrasi Desa masih bersifat elitis. Ketika seorang Kades tidak bisa keluar dari jebakan elitisisme dan absolutisme kekuasaan, maka potensi untuk jatuh ke lembah dosa, semakin besar.
Kekuasaan, demikian Lord Acton, cenderung korup. Alih-alih kekuasaan sebagai 'sarana' mengalirkan kesejahteraan banyak orang, justru dalam praksisnya tendensi penyalahgunaan kekuasaan untuk 'memperkaya diri' begitu vulgar diperlihatkan. Karena itu, kontrol dan kritik publik terhadap mereka yang menggenggam kekuasaan, menjadi sebuah keharusan.
Kontestasi demokrasi di semua level, hemat saya, bisa menjadi kesempatan yang strategis bagi publik untuk mendorong tampilnya figur pemimpin bermutu dan serentak 'mencegah' sosok koruptif masuk dalam medan politik. Karena itu, sudah semestinya dalam bilik suara nanti, publik pemilih (voters) mengendus potensi korupsi dari para kontestan yang sedang berlaga itu.
Hasil 'penciuman' itu bisa menjadi basis dalam mengambil sikap tegas: "Jangan pilih calon Kepala Dosa'. Figur yang berpotensi jatuh dalam dosa (korupsi), sebaiknya tidak boleh diberi ruang.
Dari pengalaman selama ini, status Kepala Desa begitu cepat berubah menjadi 'Kepala Dosa'. Tidak sedikit Kepala Desa di tanah air yang harus mendekam di bilik jeruji bui akibat tersandung kasus korupsi. Predikat sebagai 'Kepala Dosa' jauh lebih memikat ketimbang merawat jabatan sebagai Kepala Desa itu.
Baca: Merindukan 'Sengatan' Legislator (Lokal)
Publik mesti 'menggeledah' motivasi dan intensi para aktor untuk 'mencium' potensi menjadi Kepala Dosa itu. Jika motivasinya adalah 'mendapatkan pekerjaan', maka jabatan sebagai Kepala Desa dilihat sebagai sarana memperkaya diri. Dia melihat jabatan itu sebagai 'peluang' mengais rezeki.
Akhirnya, selamat menggunakan 'hati nurani' dalam bilik suara itu. Pastikan suara kita tidak tercemar oleh rupa-rupa trik dan pertimbangan yang bersifat kerdil. Kita sedang mempertaruhkan masa depan sebuah Desa. Untuk itu, dalam memilih, idealisme memajukan Desa menjadi referensi utama. Gunakan hak pilih secara bijak yang kalau dapat, bisa merepresentasikan harapan akan terbitnya matahari perubahan di Desa tersebut.
*Penulis adalah warga Desa Nggorang. Tinggal di Watu Langkas.