Iklan

Iklan

Iklan

Iklan

Guru dan "Gerakan Literasi Sekolah"

Suara BulirBERNAS
Sunday, September 11, 2022 | 17:17 WIB Last Updated 2023-02-08T08:00:27Z
Guru dan "Gerakan Literasi Sekolah"
Guru dan "Gerakan Literasi Sekolah"



Oleh: Sil Joni*


Umumnya, para guru yang mengabdi di tingkat Taman Kanak-kanak (TK)/Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sampai tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA)/Sekolah Menengan Kejuruan (SMK) merupakan jebolan pendidikan tinggi jenjang strata satu (S1). Jika masa pendidikan dihitung mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD) sampai Perguruan Tinggi (PT), maka sebelum menjadi seorang sarjana, seorang guru menghabiskan sekitar 16-17 tahun di bangku pendidikan formal. 


Baca: Pendapat Sil Joni Terkait "Kultur Literasi dan AKM"


Dalam rentang waktu 16 tahun itu, para calon guru, pasti tak pernah berhenti bergumul dan bergelut dengan dunia kecakapan berbahasa, khusunya Bahasa Indonesia. Setelah belasan tahun 'belajar' dan berbicara Bahasa Indonesia, pertanyaannya adalah mengapa sebagaian besar sarjana umumnya dan guru khusunya 'tidak bisa' menuangkan pikiran dalam bentuk tulisan? Mengapa sebagian besar orang berpendidikan 'tidak bisa menulis' dengan baik dan benar? Hal-hal apa saja yang kita pelajari dari Bahasa Indonesia itu? Apakah kita belajar hanya untuk 'bisa berbicara' atau lancar berkomunikasi secara lisan saja?


Di tengah lesunya budaya menulis itu, pemerintah terus mengkampanyekan pentingnya menghidupkan 'kultur literasi (baca-tulis) di sekolah. Itu berarti, suka tidak suka, guru yang dalam kenyataannya, kurang bergairah menerapkan budaya itu, harus 'paksa diri' agar bisa memberi teladan konkret kepada siswa sehingga gerakan literasi bisa berjalan sesuai harapan. 


Bagaimanapun juga, gerakan literasi tanpa 'pemberian contoh yang nyata dari guru', rasanya sulit mencapai hasil yang optimal. Meski mulut guru 'berbusa-busa' untuk mengajak peserta didik agar mencintai budaya literasi, tetapi ketika tak ada 'contoh' yang bisa ditiru oleh siswa, maka 'teriakan semacam itu', tak punya daya tendang alias tak berdampak.


Literasi, menjadi kata yang begitu populer. Kata itu, dengan enteng meluncur dari mulut para politisi, pemerintah, akademisi, mahasiswa, para guru, para profesional dan para bocah ingusan mulai dari level SD sampai SMA/SMK. Secara sederhana, literasi selalu dihubungkan dengan 'budaya baca tulis'. Menurut kamus Merriam-Webster, literasi ialah suatu kemampuan atau kualitas melek aksara di dalam diri seseorang di mana di dalamnya terdapat kemampuan membaca, menulis, dan juga mengenali serta memahami ide-ide secara visual.


Baca: Tiga Batu Tungku "Kurikulum Merdeka"


Sejalan dengan itu, menurut UNESCO, literasi adalah seperangkat keterampilan nyata, terutama keterampilan dalam membaca dan menulis yang terlepas dari konteks dari mana keterampilan itu diperoleh serta siapa yang memperolehnya. Tetapi, sebetulnya literasi juga berkaitan dengan 'kemampuan mengolah pikiran' berdasarkan hasil pembacaan terhadap sebuah teks. Jadi “literasi” adalah kemampuan seseorang dalam mengolah dan memahami informasi saat melakukan proses membaca dan menulis.


Dalam perkembangannya, definisi literasi berevolusi sesuai dengan tantangan zaman. Jika dulu definisi literasi adalah kemampuan membaca dan menulis. Saat ini, istilah literasi sudah mulai digunakan dalam arti yang lebih luas dan sudah merambah pada praktik kultural yang berkaitan dengan persoalan sosial dan politik. 


Kendati demikian, peradaban 'baca-tulis' masih menjadi poin sentral dari tradisi literasi itu. Sulit membayangkan bagaimana literasi yang berjalan dengan baik, tanpa ditopang atau disokong dengan kemapuan membaca dan menulis yang baik. 


Sayangnya, hasil riset menunjukkan bahwa kultur literasi belum tumbuh atau mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dirumuskan secara tegas, tingkat indeks literasi negara kita, masih sangat rendah. Saya kira, kita tidak perlu bersikap defensif terhadap temuan dan penialain ini. Mungkin yang perlu dikepdepankan adalah tanggapan kritis dan bijak bagaimana mencari solusi yang efektif agar literasi benar-benar menjadi budaya positif yang hidup di tengah masyarakat.


Karena itu, upaya menghidupkan budaya literasi itu, menjadi sebuah 'gerakan' yang melibatkan semua komponen. Secara nasional, gerakan semacam itu, diberi tajuk: Gerakan literasi Nasional (GLN). Poinnya adalah upaya mengakarkan tradisi literasi itu menjadi atensi semua komponen bangsa dalam pelbagai tingkatan. Menghidupkan kultur baca tulis bukan tugas kelompok tertentu saja.


GLN itu diinisiasi dan diperkenalkan sebagai elemen pembangkit spirit berliterasi dari segenap warga negara. GLN merupakan salah satu gerakan yang diharapkan akan membawa masyarakat Indonesia ke masa depan dan peradaban yang lebih baik. Enam kategori literasi dasar yang harus dikuasai masyarakat maju berdasarkan kesepakatan World Economic Forum pada tahun 2015, meliputi (1) literasi baca tulis (berpenalaran tinggi), (2) literasi digital, (3) literasi finansial, (4) literasi numerik atau menghitung, (5) literasi ilmu pengetahuan, dan (6) literasi kewargaan.


Saya kira, sejauh ini, budaya literasi masih menjadi faktor kunci akselerasi kemajuan sebuah peradaban. Tolok ukur kemajuan serta peradaban suatu bangsa adalah budaya membaca yang telah mengakar pada masyarakatnya. Tetapi, rupanya bangsa Indonesia belum menyadari peran strategis budaya literasi itu. Data dari UNESCO menyatakan bahwa dari 1000 orang penduduk Indonesia, ternyata hanya satu orang yang menjadikan kegiatan membaca sebagai kebiasaan atau hobi. 


Padahal, ilmu pengetahuan tidak mungkin berkembang tanpa menerapkan secara konsisten kebiasaan membaca buku. Sejatinya banyak manfaat yang bisa kita petik dari kebiasaan membaca, di antaranya bertambahnya wawasan, kebijaksanaan dalam bersikap dan mengatasi masalah, menjadikan diri kita cerdas, membentuk karakter dan kepribadian yang baik, serta meningkatkan kualitas diri. Tegasnya, impian untuk menjadi pribadi yang cerdas dan berkarakter, bisa terwujud jika kita mempunyai tradisi baca yang teratur.


Lembaga pendidikan atau sekolah, tentu saja berada pada garda terdepan dalam menyukseskan GLN itu. Gerakan nasional itu diterjemahkan secara konkret di sekolah melalui apa yang disebut sebagai Gerakan Literasi Sekolah (GLS).


GLS dikembangkan berdasarkan Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Mendikbud mengatakan, Permendikbud tersebut adalah sebuah upaya untuk menumbuhkan budi pekerti anak. GLS melalui kegiatan membaca buku 15 menit sebelum belajar mulai dilakukan di sekolah di semua jenjang.


Upaya untuk membangun budaya literasi di sekolah melalui GLS tidaklah mudah. Banyak tantangan yang dihadapi guru, di antaranya siswa melakukan kegiatan membaca dengan terpaksa bukan karena kesadaran dari dirinya. Kemampuan siswa untuk membuat kesimpulan dan memaknai isi buku yang dibacanya juga masih rendah. Guru harus perhatian, sabar, telaten, peduli, dan yang paling penting adalah “menjadi teladan” bagi siswanya. Dibutuhkan waktu yang tidak sedikit dan pembiasaan yang terus menerus serta di dukung oleh motivasi dan perhatian orang tua di rumah, agar muncul kesadaran siswa untuk membaca dan menulis. Seperti sebuah kata-kata motivasi, “jika ingin mengenal dunia, membacalah. Jika ingin dikenal dunia, menulislah.”


Beberapa kabupaten/kota bahkan mendeklarasikan diri sebagai kabupaten/kota literasi. Beragam program literasi dilaksanakan dengan melibatkan aparatur pemerintahan, pegiat literasi, komunitas literasi, perpustakaan daerah, taman bacaan masyarakat, LSM, dan dunia industri. Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) masih 'malu-malu' untuk mendaki dirinya sebagai Kabupaten literasi. Aktivitas literasi tak terlalu menggembirakan di sini. Rasanya, kita masih butuh waktu dan energi yang besar untuk menjadikan daerah ini sebagai "kabupaten literasi".


Baca: "Para Filsuf Agama" dalam MGMP Agama Katolik


Semoga gerakan literasi tak sekadar seremonial saja, tapi memang gerakan yang akan membawa masyarakat Indonesia ke masa depan dan peradaban yang lebih baik. Gagasan mendikbud Nadiem Makarim yang mengganti Ujian Nasional sejak 2021 lalu, dengan Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) dan Survei Karakter, menuntut dunia Pendidikan untuk meningkatkan kompetensi literasi anak-anak Indonesia. Literasi dan numerasi adalah dua kompetensi dasar yang mesti dimiliki oleh setiap peserta didik.


Tugas guru adalah membangkitkan potensi literasi dalam diri siswa. Literasi dan numerasi itu bisa diintegrasikan dalam desain dan proses pembelajaran untuk semua mata pelajaran. Itu berarti semua guru mempunyai tanggung jawab yang sama dalam mengasah dan menumbuhkan budaya literasi dalam diri siswa.



*Penulis adalah Staf pengajar SMK Stella Maris Labuan Bajo.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Guru dan "Gerakan Literasi Sekolah"

Trending Now

Iklan